"Saya mendapat kabar ada perusakan patung Yesus dan patung Bunda Maria di gereja Katolik Gondangwinangun. Mohon konfirmasi dari teman-teman Katolik. Selama belum terkonfirmasi, jangan sebarkan dulu."Â
Demikian kabar dari sebuah grup Whatsapp (WA) Forum Kebersamaan Umat Beriman (FKUB) di Klaten, 9 Agustus 2016. Grup ini berisi para pemimpin agama dan penghayat kepercayaan. Anggota yang berasal dari Katolik kemudian menghubungi pihak gereja Katolik Santo Yusuf Pekerja di Gondangwinangun, Klaten. Kabar itu ternyata benar.
Malam itu juga kemudian diadakan koordinasi untuk mengantisipasi dampak dari perusakan itu. Beberapa tokoh agama merapat ke Tempat Kejadian Perkara. Keesokan harinya, kabar perusakan itu sudah beredar luas melalui media sosial. Sayangnya mulai terjadi bias informasi. Jika tidak diantisipasi, maka dikhawatirkan insiden di Tanjung Balai beberapa minggu sebelumnya dapat terulang. Yaitu provokasi lewat media sosial telah memantik amuk massa.Â
Pagi-pagi itu, di grup WA yang sama dikabarkan bahwa kapolres Klaten mengundang para tokoh agama untuk membahas insiden perusakan ini. Karena bersifat darurat, maka undangan cukup dikirim melalui WA. Tidak ada waktu lagi untuk mencetak dan mengedarkan undangan secara hard-copy.Â
Utusan dari gereja Katolik St. Yusuf Pekerja memberikan apresiasi atas tindakan cepat oleh polisi. Selanjutnya mereka menyerahkan urusan penyelidikan ini kepada polisi. Sementara itu para pemimpin agama yang hadir meresahkan informasi simpang-siur yang beredar di media sosial. Untuk itu, hadirin yang hadir pada pertemuan tersebut sepakat untuk menahan diri dalam memberi komentar lewat media massa dan media sosial.
Pergeseran Peran Gatekeeper
Pada era digital ini, terjadi perubahan pola komunikasi secara signifikas. Era sebelumnya, yang disebut era analog, arus informasi disebarkan melalui media massa. Informasi, sebelum disebarkan, telah mengalami seleksi dan verifikasi lebih dulu.Â
Seorang psikolog bernama Kurt Lewin menciptakan model komunikasi. Dia menyebut pelaku seleksi ini sebagai gatekeeper atau penjaga pintu gerbang. Ibarat pintu gerbang benteng kerajaan, ada seorang penjaga pintu gerbang. Tugasnya adalah memeriksa setiap orang yang akan masuk melalui pintu gerbang itu. Orang yang tidak berkepentingan atau pihak musuh yang  pasti ditolak masuk. Hanya orang-orang yang tidak membahayakan yang boleh lewat pintu gerbang itu.
Akan tetapi tidak semua informasi yang datang ini serta merta diberitakan. Ada proses seleksi. Informasi dipilih dan dipilah berdasarkan kebijaksanaan redaksional dan kepentingan masyarakat. Informasi yang tidak relevan dengan kebijaksanaan redaksi akan disingkirkan.Â