Mungkin bagi kebanyak orang atau setidaknya bagi para pendukung calon yang bertanding dengan kotak/kolom kosong pada Pemilihan Kepala Daerah, dianggap sebagai sebuah kehebatan dan kelihaian politik dengan kelasnya para Dewa. Bagaimana tidak, kompetisi demokrasi yang ketat dan penuh keterbatasan partai politik pengusung, semua partai politik diborong hanya oleh satu pasangan calon dan yang tersisa hanyalah pasangan melalui jalur independen.
Pada beberapa Pemilihan Kepala Daerah bahkan ada satu pasangan calon yang bertanding dengan kotak/kolom kosong, ini bukan kelebihan yang biasa. Tetapi dengan cara memborong semua partai politik dan ketiadaan pasangan calon independen adalah sebuah kelebihan yang luar biasa.
Memborong partai politik oleh satu pasangan calon kepala daerah, bukanlah sebuah pelanggaran atas regulasi Pilkada, sebagaimana yang tertuang dalam UU Pilkada no 10 tahun 2016 maupun UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, atau pertauran perundang-undangan.
Pada Peraturan KPU yang dituangkan dalam PKPU no 3 tahun 2017, bahwa syarat pengusulan pencacolan kepala daerah yang menghruskan dukungan partai politik atau gabungan partai politik sebesar 20% kursi atau 25% suara pemilih menjadi masalah bagi kemunculan calon kepala daerah.
Ada beberapa faktor, setidaknya mendorong lahirnya satu pasangan calon melawan kotak/kolom kosong dalam Pemilukada/Pilkada, yaitu:
Pertama, pengusulan pencalonan kepala daerah yang dilakukan partai politik dengan cara berkoalisi untuk memenuhi persyaratan pengusulan calon, maka munculah pasangan calon kepala daerah hasil "upeti" kepentingan pragmatis partai politik melawan kotak/kolom kosong.
Kedua, Faktor dominasi elit-elit partai politik. Dalam berbagai praktek politik, untuk mendapatkan Partai Politik pengusung dan memenuhu persyaratan pencalonan. Praktek politik semacam ini disebut sebagai oligarki-partai politik.
Ketiga, Bersekutunya para saudagar-saudagar dan menjadi bandar bagi salah satu kandidat, menjadi salah satu sumber bencana bagi perkembangan Pilkada yang demokratis.
Proses politik semacam ketiga faktor di atas, menghilangkan hak-hak politik rakyat untuk memilih pasangan calon yang akan berkompetisi pada Pilkada, karena hanya ada sepasang calon kepala daerah yang disandingkan dengan kotak kosong atau kolom kosong.
Pemilihan kepala daerah seperti ini, merusak akal sehat, karena tak memberikan pilihan pada pemilih untuk memilih pasangan calon berjenis manusia. Inilah proses legalisasi pembodohan akal sehat dari demokrasi itu sendiri, yaitu memilih salah satu pasangan calon kepala daerah atau memilih kotak/kolom kosong.
Kotak Kosong!