Saya tertarik dengan deklarasi yang disampaikan oleh Paus Leo XIV. Paus terpilih dengan tegas menyatakan sikapnya terhadap pernikahan dan aborsi. Pernikahan adalah antara pria dan wanita untuk menanggapi isu pernikahan sesama jenis serta menentang aborsi. Deklarasi ini sontak menuai berbagai komentar pro dan kontra. Namun sebagai seminarian, saya secara pribadi bersyukur karena dengan tegas gereja menyuarakan kebenaran terkait hal ini karena sikap gereja dapat menjadi salah satu dasar jemaat bagi pengambilan keputusan etis.
Ketika membaca berbagai artikel media tentang berita ini saya teringat pada tulisan yang pernah saya buat semasa kuliah di semester dua tentang masalah etika Kristen yakni transgender. Pada waktu itu saya menyimpulkan pentingnya gereja sebagai penjaga kebenaran. Jika gereja tidak tegas terhadap hal ini, atau berada di area abu-abu terhadap suatu kebenaran maka akan membuat umat Kristen menoleransi berbagai bentuk penyimpangan gender dengan dasar keputusan etis yang tidak kokoh. Di bawah ini adalah tulisan saya saat itu, pada bagian kebijakan gereja sudah sedikit saya sesuaikan dengan deklarasi yang dibuat oleh Paus Leo XIV terkait dengan pernikahan dan aborsi.
Faktor Penentu Identitas Bagi Para Transgender
Pertanyaan penting yang muncul adalah apakah faktor penentu identitas gender? Para teolog yang melihat faktor jiwa manusia kunci dari pribadi manusia lebih cenderung menekankan faktor eksternal tentang seksualitas. Pandangan ini didasarkan bahwa gender adalah sesuatu yang kita bisa pilih atau lakukan bukan berdasarkan siapa kita. Identitas gender tidak diberikan dan tidak ditentukan tetapi dapat bergeser dan bahkan dapat berubah dari waktu ke waktu – yaitu bisa laki-laki atau perempuan, tetapi mungkin memiliki karakteristik keduanya, dan dapat mengidentifikasi dengan baik pada waktu yang berbeda dalam perjalanan seumur hidup. [1]
Mereka yang menekankan nilai yang lebih tinggi pada tubuh manusia sebagai bagian integral gender lebih mungkin merefleksikan fakta bahwa tubuh manusia adalah entitas gender. Pandangan ini disebut sebagai pandangan esensial. Mereka yang berpandangan esensialis sering menunjukkan bahwa dikotomi tubuh-jiwa adalah perbedaan menurut pandangan Yunani dan bukan Ibrani, dan bahwa kebangkitan tubuh menegaskan kesatuan permanen tubuh dan jiwa.[2]
Gagasan identitas transgender memadukan unsur-unsur dari pandangan esensialis dan eksternalis. Artinya, orang-orang transgender memahami gender sebagai bentuk identitas yang esensial tetapi bukan secara fisik.[3] Sehingga mereka merasa dilahirkan dalam gender yang bukan identitas mereka yang sebenarnya. Dengan demikian, gender dapat diubah dengan mengubah atribut fisik melalui operasi dan terapi hormon, serta melalui penanda sosial seperti pakaian, gaya rambut, dan rias wajah agar sesuai dengan perasaan identitas gender seseorang yang sebenarnya.
Argumen pertama, yang mematahkan pandangan ini adalah secara deontologis Tuhan menciptakan manusia sebagai heteroseksual untuk saling melengkapi. Kita dapat menyimpulkan desain Allah untuk laki-laki dan perempuan demikian: sederajat dan berbeda, ditentukan; dan tidak dapat dipertukarkan atau diubah.[4] Apa pun perilaku yang muncul akibat gender disporia seharusnya tidak membuat penilaian kita terhadap gender berubah atau kabur.
Argumen kedua, tidak ada orientasi seksual yang tetap. Hal ini menanggapi pandangan esensial yang meremehkan prokreasi sehingga membahayakan institusi pernikahan yang Allah rancangkan untuk mandat budaya. Dan juga menyoroti pandangan eksternal yang menekankan penerimaan perilaku sesama jenis. Setiap orang akan menghadapi masa-masa di mana kecenderungan seksual yang berlawanan dengan jenis kelamin bawaan lahir. Biasanya dipicu oleh berbagai faktor dan tidak permanen.
Pandangan Alkitab Terhadap Identitas Gender
Pandangan etika Kristen bersumber dari wahyu umum dan wahyu khusus dalam Alkitab. Dari pandangan prokreasi menurut Geisler jenis kelamin seseorang adalah faktor teleologis dan ditentukan bagi kehidupan setiap individu. Seks bukan hanya diciptakan Allah dengan membuat manusia “laki-laki dan perempuan” (Kej. 1:27); seks juga dikuduskan sebagai sarana melaksanakan mandat budaya, “beranak cucu dan bertambah banyak.” (Kej. 1:28). [5] Lebih jauh lagi Browson menambahkan, seks tidak hanya dirancang dalam tujuan mula penciptaan tetapi juga berbeda.[6] Perbedaan yang saling melengkapi antara pria dan wanita. Perbedaan secara anatomi bagi tujuan dan perannya.
Dalam Kejadian 1-2, seks tidak hanya diciptakan oleh Allah yang menjadikan manusia "laki-laki dan perempuan" (Kej. 1:27). Desain awal Allah terkait seksualitas manusia adalah dalam konteks pernikahan, antara satu laki-laki dan satu perempuan. Hal ini tersirat dalam beberapa cara. Pertama, penciptaan seks adalah bagian dari bersatunya "laki-laki dan perempuan" (Kej. 1:27). Kedua, perintah Allah adalah bagi laki-laki dan perempuan untuk saling setia sebagai "satu daging" (Kej. 2:18-25, RSV). Ketiga, penggunaan istilah hubungan intim “bersetubuh” menggambarkan sarana berkembang biak (Kej. 4:1, 25, RSV).[7]
Allah menciptakan manusia dari debu tanah dan membentuk mereka dengan tangannya, diberikan napas hidup. Allah layaknya seorang artis, menyelesaikan karya agungnya dengan ekstra hati-hati, perhatian dan ketelitian.[8] Manusia itu diberi nama Adam (Kej. 2:7). Sedangkan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam (Kej. 2:22). Allah menciptakan dua kategori gender yakni laki-laki dan perempuan (Kej.1:27). Tidak ada gender yang lain. Laki-laki dan perempuan adalah representasi dari gambar Allah (imago dei). Penciptaan manusia menurut gambarnya ini memiliki sebuah tujuan dan panggilan. Gender ini saling melengkapi untuk menjalankan madat budaya (misio Dei) memenuhi bumi dengan gambar Allah yang lain, yakni laki-laki dan perempuan. Kejadian 1:28 “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”
Pandangan Etika Kristen Terhadap Operasi Transgender
Operasi transgender (pengubahan jenis kelamin) menurut Geisler secara moral tidak dapat diterima dari perspektif Kristen. Allah menciptakan 'laki-laki dan perempuan' (Kej. 1:27). Fakta bahwa mereka diperintahkan untuk memperbanyak beranak cucu (ay. 28) mengungkapkan bahwa perintah ini dipahami sebagai laki-laki dan perempuan secara biologis. Untuk alasan inilah, operasi bedah genetis untuk mengubah jenis kelamin seseorang secara moral salah. Apapun kecenderungan psikologis atau sosiologis kita, kita harus berusaha menyesuaikan dengan cara atau natur Tuhan menciptakan tubuh kita. [9]
Pendekatan etika Kristen untuk menanggapi isu persoalan etika terkait operasi transgender adalah:
- Kedaulatan Allah
Pertama dan utama adalah prinsip kedaulatan Allah atas kehidupan. Allah menciptakan setiap makhluk hidup (Kel. 1:21) dan manusia menurut gambar dan rupa-Nya (1:27). Allah mengendalikan kehidupan maupun kematian. [10] Dengan demikian pemberian jenis kelamin kepada manusia adalah termasuk ke dalam kedaulatan Tuhan yang menentukan identitas manusia dan tidak bisa diubah dengan alasan apa pun. Karena Allah yang memiliki hidup manusia dan kita tidak memiliki kendali atas hidup kita.
- Prinsip efek ganda
Ketika sebuah tindakan menghasilkan akibat yang sekaligus baik maupun buruk, tindakan tersebut tidak bisa dipilih jika (1) tindakan tersebut baik atau biasa-biasa saja, (2) ada efek baik yang dihasilkan dari tindakan tersebut, (3) bertujuan menghasilkan efek yang baik dan hanya menoleransi efek buruknya, (4) efek baiknya minimal setara dengan efek buruknya.
Secara moral, bagi seseorang yang memiliki kelainan seksual interseks (hermafrodit), maka dapat melakukan operasi perbaikan kelamin dengan memilih jenis kelamin yang sesuai dengan kondisi fisik tubuhnya. Efek baik dan buruk dari dilakukannya operasi pergantian kelamin dalam kasus khusus harus dipertimbangkan. Pertimbangan dengan kesadaran pikiran yang jernih dengan hikmat Allah. Ada beberapa efek negatif yang akan dialami seseorang yang melakukan operasi ini. Efek tersebut adalah kemandulan, pendarahan, konflik psikologis terhadap penerimaan jenis kelamin yang baru, penyesalan dan bahkan bunuh diri. Pasien interseks perlu didampingi akan adanya kemungkinan risiko ini dan berbagai tahapan yang harus dilalui paska-operasi.
- Prinsip Kebaikan Yang Lebih Besar
Ketika dua atau lebih prinsip moral bisa dihindarkan bertentangan, ikutilah kewajiban yang lebih tinggi. [11] Pertimbangan-pertimbangan demi kebaikan yang lebih besar dapat menentukan sikap kita dalam menghadapi isu transgender sebagai individu maupun gereja. Berdasarkan penerangan firman Tuhan, hikmat akal budi, pertimbangan keadaan dan kondisi dapat menjadi dasar pertimbangan mengambil keputusan etis yang terbaik terkait dengan persoalan gender.
- Kebajikan terhadap hidup manusia
Kasih merupakan esensi etika Kristen. Yesus berkata bahwa hukum yang terutama dan pertama adalah, mengasihi Allah dan kemudian mengasihi sesama seperti diri sendiri (Mat. 22:37-39). Oleh karena itu, penting untuk menerapkan kasih terhadap ini terhadap segala masala etika, terkait isu transgender. Secara prinsip kita tidak menyetujui tindakan operasi pergantian kelamin. Akan tetapi, ketidaksetujuan itu tidak lantas membuat kita berhenti menyatakan kasih kepada orang tersebut. Kasih dalam tindakan yang nyata dan dilakukan sesuai prinsip kebenaran (I Yoh. 3:18).
Terhadap orang-orang transeksual dengan tangan terbuka gereja harus menerima mereka. Memperlakukan mereka sebagai sesama manusia yang harus dikasihi. Memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertumbuh dalam iman dan melayani bersama. Kesempatan pelayanan diberikan tentu setelah gereja memberikan pelayanan pastoral terkait dengan meluruskan pandangannya bahwa tindakan pergantian kelamin adalah salah dan membimbingnya bertobat. Dan juga tidak menutup kemungkinan gereja dapat membuka pelayanan bagi kaum transseksual. Untuk melakukan pelayanan ini tentu memerlukan hikmat dan persiapan ekstra. Tujuannya adalah agar menolong mereka bertobat, menyadari kesalahan dan menerima Yesus. Sama seperti Tuhan Yesus menerima dan mengampuni perempuan yang kedapatan berzina (Yoh. 7:53-8:11).
Langkah Preventif Gereja
Gereja perlu mengambil langkah preventif dalam menyikapi masalah transgender. Langkah-langkah preventif tersebut antara lain:
- Pendidikan identitas gender bagi jemaat
Jemaat perlu diberikan pendidikan identitas gender dan penyimpangan yang terjadi akibat kejatuhan manusia dalam dosa. Pendidikan ini akan mengubah cara berpikir jemaat dalam memandang tentang identitas gender dan bagaimana memperlakukan orang-orang disekitarnya. Berdasarkan pernyataan Sam Allberry dalam Roberts ada dua hal yang mempengaruhi cara berpikir tentang gender, pertama, budaya kita berkata bahwa persepsi psikologis kita menentukan identitas gender kita-biarkah tubuhmua dikontrol olehnya. Kedua, Alkitab mengatakan tubuhmu (yang diciptakan Tuhan sebagai laki-laki atau perempuan) adalah indetitas gendermu—biarkan pikiranmua diatur olehnya.[12] Karena identitas gender adalah pemberian Allah maka jemaat akan ditolong memperlakukan keluarga, anak-anak, orang-orang sekitarnya sesuai dengan identitas gender mereka.
- Menjadi komunitas yang memulihkan
Seorang yang mengalami gangguan gender disporia menurut Roberts memerlukan dukungan anggota keluarga Allah untuk dapat dipulihkan.[13] Walker menambahkan orang-orang gender dipsoria bukanlah dosa[14] karena semua orang pada tahap tertentu dapat mengalami ini. Mereka harus dirangkul karena mereka memiliki rasa malu terhadap dirinya sendiri karena kebingungan dengan identitas dirinya. Menolongnya mengerti identitas dirinya diberikan oleh Allah dalam firman-Nya. Bukan didasarkan kepada perasaan manusia yang tidak menentu dan menipu. Menolongnya mengalami Injil dan bertumbuh dalam firman sehingga dia dapat melihat dengan jernih siapa dirinya di hadapan Allah dan pertumbuhan menjadi jalan pemulihan.
- Gereja menjadi penyaring nilai budaya
Gereja harus mengambil sikap tegas terkait dengan transgender. Jika identitas gender ditentukan oleh Allah sejak lahir. Maka gereja harus bersepakat menentang operasi transeksual kecuali kondisi interseksual. Sehingga jemaat dapat melihat kebenaran Alkitabiah menjadi sumber utama dalam menyikapi kasus transeksual tersebut. Namun, tidak menolak dan tetap mengasihi orang itu meskipun tindakannya kita tolak.
Ketegasan Paus Leo XIV terhadap pendapatnya tentang pernikahan dan aborsi dapat menjadi salah satu sikap barometer umat Allah dalam menyikapi masalah transgender. Operasi perubahan kelamin adalah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan karena desain Allah bagi penciptaan manusia adalah laki-laki dan perempuan. Desain ini menjadi bagian dari rancangan Allah untuk kebaikan manusia. Tindakan perubahan kelamin dengan alasan apa pun adalah melawan desain dan rancangan Allah bagi manusia.
- Pendampingan dan pendidikan identitas gender bagi anak dengan gender disporia
Orang tua perlu menanaman nilai identitas gender yang benar menurut Alkitab. Faktor apa saja sehingga mereka bisa disebut laki-laki atau perempuan. Anak-anak diajar untuk terbuka dengan perasaan mereka tentang gender disporia yang mereka miliki dan orangtua tidak perlu panik karena dalam tahapan tertentu semua orang akan mengalami hal ini. Tugas orangtua adalah memberikan pendampingan dan arahan agar mereka memiliki penilaian yang benar tentang gender berdasarkan firman Tuhan.
PENUTUP
Identitas gender ditentukan oleh jenis kelamin yang diberikan Allah kepada manusia sejak lahir bukan didasarkan kepada persepsi psikologis. Orang-orang transgender perlu ditolong untuk mengetahui identitas gender dibangun berdasarkan penilaian firman Allah pada saat mereka mengalami disporia gender. Orang percaya sebagai individu dan gereja Tuhan dapat melakukan langkah-langkah preventif yang dapat menolong orang-orang dengan disporia gender mengalami pemulihan identitas diri dengan benar. Sehingga mereka akan ditolong untuk bisa mengambil keputusan tepat. Sedangkan terhadap transgender dan transeksual, gereja dapat menerapkan prinsip-prinsip etika Kristen termasuk norma-norma yang berlaku dalam menyikapi persoalan tersebut. Dengan berkaca kepada wahyu umum dan wahyu khusus sehingga dengan segala hikmat Allah dapat mengambil keputusan dan tindakan etis yang tepat.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Blackwell, Wiley. Introducing Christian Ethics. Second. USA: John Wiley & Sons Ltd, 2017.
Brownson, James V. Bible, Gender, Sexuality:Reframing the Church’s Debate on Same-Sex Relationships. Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 2013.
De La Torre, Maguel A., ed. Ethics: Liberative Approach. Minneapolis: Fortress Press, 2013.
Geisler, Norman L. Etika Kristen: Pilihan Dan Isu Kontemporer. Kedua. Malang: Literatur SAAT, 2021.
Gill, Robin. The Cambridge Companion to Christian Ethics. Cambridge: Cambridge University Press, 2001.
Indonesia, CNN. “Ragam Tanggapan Usai Paus Fransiskus Dukung Aturan LGBT.” Webite Berita. CNN Indonesia, Oktober 2020. https://www.cnnindonesia.com/internasional/20201022122958-134-561480/ragam-tanggapan-usai-paus-fransiskus-dukung-aturan-lgbt.
Roberts, Vaughan. Transgender. United Kingdom: The Good Book Company, 2016.
Stryker, Susan. Transgender History : The Roots of Today’s Revolution. New York: Seal Press, 2017.
Walker, Andrew. God and the Transgender Debate: What Does the Bible Actually Say About Gender Identity. United Kingdom: The Good Book Company, 2017.
Yuridis id., Tim. “Problematika Hukum Ganti Kelamin Bagi Kaum Transgender.” Jaringan Informasi Hukum Indonesia. Yuridis.Id, April 22, 2020. Accessed April 2, 2022. https://yuridis.id/problematika-hukum-ganti-kelamin-bagi-kaum-transgender/.
“Pemerintah Konsisten Jalankan Kostitusi, Tidak Melayani Pernikahan Sejenis.” Webite Pemerintah. Kementerian Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia, February 20, 2016. https://www.kominfo.go.id/content/detail/6856/pemerintah-konsisten-jalankan-kostitusi-tidak-melayani-pernikahan-sejenis/0/rilis_media_gpr.
Undang-Undang Kesehatan Dan Praktik Kedokteran, n.d. Accessed April 2, 2022. https://www.balitbangham.go.id/po-content/peraturan/uu.%20no%2023%20tahun%201992%20tentang%20kesehatan.pdf.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI