Dalam Kejadian 1-2, seks tidak hanya diciptakan oleh Allah yang menjadikan manusia "laki-laki dan perempuan" (Kej. 1:27). Desain awal Allah terkait seksualitas manusia adalah dalam konteks pernikahan, antara satu laki-laki dan satu perempuan. Hal ini tersirat dalam beberapa cara. Pertama, penciptaan seks adalah bagian dari bersatunya "laki-laki dan perempuan" (Kej. 1:27). Kedua, perintah Allah adalah bagi laki-laki dan perempuan untuk saling setia sebagai "satu daging" (Kej. 2:18-25, RSV). Ketiga, penggunaan istilah hubungan intim “bersetubuh” menggambarkan sarana berkembang biak (Kej. 4:1, 25, RSV).[7]
Allah menciptakan manusia dari debu tanah dan membentuk mereka dengan tangannya, diberikan napas hidup. Allah layaknya seorang artis, menyelesaikan karya agungnya dengan ekstra hati-hati, perhatian dan ketelitian.[8] Manusia itu diberi nama Adam (Kej. 2:7). Sedangkan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam (Kej. 2:22). Allah menciptakan dua kategori gender yakni laki-laki dan perempuan (Kej.1:27). Tidak ada gender yang lain. Laki-laki dan perempuan adalah representasi dari gambar Allah (imago dei). Penciptaan manusia menurut gambarnya ini memiliki sebuah tujuan dan panggilan. Gender ini saling melengkapi untuk menjalankan madat budaya (misio Dei) memenuhi bumi dengan gambar Allah yang lain, yakni laki-laki dan perempuan. Kejadian 1:28 “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”
Pandangan Etika Kristen Terhadap Operasi Transgender
Operasi transgender (pengubahan jenis kelamin) menurut Geisler secara moral tidak dapat diterima dari perspektif Kristen. Allah menciptakan 'laki-laki dan perempuan' (Kej. 1:27). Fakta bahwa mereka diperintahkan untuk memperbanyak beranak cucu (ay. 28) mengungkapkan bahwa perintah ini dipahami sebagai laki-laki dan perempuan secara biologis. Untuk alasan inilah, operasi bedah genetis untuk mengubah jenis kelamin seseorang secara moral salah. Apapun kecenderungan psikologis atau sosiologis kita, kita harus berusaha menyesuaikan dengan cara atau natur Tuhan menciptakan tubuh kita. [9]
Pendekatan etika Kristen untuk menanggapi isu persoalan etika terkait operasi transgender adalah:
- Kedaulatan Allah
Pertama dan utama adalah prinsip kedaulatan Allah atas kehidupan. Allah menciptakan setiap makhluk hidup (Kel. 1:21) dan manusia menurut gambar dan rupa-Nya (1:27). Allah mengendalikan kehidupan maupun kematian. [10] Dengan demikian pemberian jenis kelamin kepada manusia adalah termasuk ke dalam kedaulatan Tuhan yang menentukan identitas manusia dan tidak bisa diubah dengan alasan apa pun. Karena Allah yang memiliki hidup manusia dan kita tidak memiliki kendali atas hidup kita.
- Prinsip efek ganda
Ketika sebuah tindakan menghasilkan akibat yang sekaligus baik maupun buruk, tindakan tersebut tidak bisa dipilih jika (1) tindakan tersebut baik atau biasa-biasa saja, (2) ada efek baik yang dihasilkan dari tindakan tersebut, (3) bertujuan menghasilkan efek yang baik dan hanya menoleransi efek buruknya, (4) efek baiknya minimal setara dengan efek buruknya.
Secara moral, bagi seseorang yang memiliki kelainan seksual interseks (hermafrodit), maka dapat melakukan operasi perbaikan kelamin dengan memilih jenis kelamin yang sesuai dengan kondisi fisik tubuhnya. Efek baik dan buruk dari dilakukannya operasi pergantian kelamin dalam kasus khusus harus dipertimbangkan. Pertimbangan dengan kesadaran pikiran yang jernih dengan hikmat Allah. Ada beberapa efek negatif yang akan dialami seseorang yang melakukan operasi ini. Efek tersebut adalah kemandulan, pendarahan, konflik psikologis terhadap penerimaan jenis kelamin yang baru, penyesalan dan bahkan bunuh diri. Pasien interseks perlu didampingi akan adanya kemungkinan risiko ini dan berbagai tahapan yang harus dilalui paska-operasi.
- Prinsip Kebaikan Yang Lebih Besar
Ketika dua atau lebih prinsip moral bisa dihindarkan bertentangan, ikutilah kewajiban yang lebih tinggi. [11] Pertimbangan-pertimbangan demi kebaikan yang lebih besar dapat menentukan sikap kita dalam menghadapi isu transgender sebagai individu maupun gereja. Berdasarkan penerangan firman Tuhan, hikmat akal budi, pertimbangan keadaan dan kondisi dapat menjadi dasar pertimbangan mengambil keputusan etis yang terbaik terkait dengan persoalan gender.
- Kebajikan terhadap hidup manusia
Kasih merupakan esensi etika Kristen. Yesus berkata bahwa hukum yang terutama dan pertama adalah, mengasihi Allah dan kemudian mengasihi sesama seperti diri sendiri (Mat. 22:37-39). Oleh karena itu, penting untuk menerapkan kasih terhadap ini terhadap segala masala etika, terkait isu transgender. Secara prinsip kita tidak menyetujui tindakan operasi pergantian kelamin. Akan tetapi, ketidaksetujuan itu tidak lantas membuat kita berhenti menyatakan kasih kepada orang tersebut. Kasih dalam tindakan yang nyata dan dilakukan sesuai prinsip kebenaran (I Yoh. 3:18).