Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) RI menggagas program digitalisasi pendidikan sejak 2019. Program ini tentu saja membutuhkan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung yang memadai, seperti akses internet dan perangkat teknologi.Â
Atas dasar hal tersebut, pemerintah kemudian menjadikan pemenuhan dukungan digitalisasi pendidikan sebagai salah satu kegiatan strategis dalam APBN 2021, baik itu dalam anggaran pendidikan maupun pembangunan bidang Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK). Kegiatan ini direncanakan akan menelan anggaran Rp 17,42 triliun hingga 2024, dimana Rp 3.7 triliun akan digunakan pada tahun 2021.Â
Kali ini kami tidak akan membahas mengenai apakah program ini prioritasnya cukup tinggi atau tidak. Jika membahas tentang itu maka infrastruktur sekolah yang rusak/tidak layak, keterbatasan ruang kelas, keterbatasan jumlah bangku sekolah negeri, tingginya angka anak putus sekolah, pemerataan dan kapasitas guru dan kebutuhan di tengah pandemi COVID-19 jelas lebih mendesak dibandingkan pemerintah membeli ratusan ribu tablet dan dibagikan secara gratis ke sekolah-sekolah.Â
Belum lagi  berdasarkan penelusuran secara elektronik, menurut ICW dan KOPEL Indonesia, tidak ditemukan publikasi rincian dan lokasi atau sekolah penerima perangkat TIK tersebut pada website Kemendikbud. Selain itu, belum ada juga regulasi yang mengatur mekanisme pengawasan dan transparansi dalam proses penyeleksian sekolah penerima belanja DAK pendidikan.Â
Dan terakhir, jika salah satu tujuan laptop ini diadakan adalah untuk digitalisasi sementara masih banyak di daerah pelosok yang belum sempat tersentuh internet (sebagai salah satu prasyarat akses konten pendidikan) maka apakah pengadaan laptop ini menjadi tepat guna ketimbang misalnya menyelesaikan pemerataan akses internet terlebih dahulu ?
Anggaplah digitalisasi pendidikan ini memang menjadi kebutuhan hari-hari ini. Maka muncul pula polemik baru. Untuk tahun 2021, telah dianggarkan untuk pengadaan laptop sejumlah 473.987. Dan yang menarik adalah pemilihan penyedia dan spesifikasi laptop yang akan dibelanjakan adalah pemilihan sistem operasi ChromeOS sebagai spesifikasi dasar pengadaan perangkat laptop.Â
Pada tahun 2015, ketika pemerintah bekerja sama dengan Microsoft, pakar teknologi informasi Pak Onno W Purbo mengkhawatirkan bertambahnya ketergantungan Indonesia jika pemerintah bekerja sama dengan perusahaan penyedia software dari negeri Paman Sam tersebut.Â
Penggunaan sistem operasi milik luar negeri dikhawatirkan dapat menambah ketergantungan kita kepada perusahaan asing. Lalu apa bedanya rencana digitalisasi pendidikan hari-hari ini dibandingkan dengan 6 tahun yang lalu, jika akhirnya kita hanya mengganti ketergantungan dari Microsoft ke Google ?
Apakah Indonesia mampu menghasilkan sistem operasi dalam negeri ? Pada tahun 2008, 4 mahasiswa ITB sempat meluncurkan OSGX, sistem operasi yang dikhususkan untuk pendidikan, khususnya untuk tingkat mahasiswa. Sistem operasi ini berbasis linux, sistem operasi open source yang dikembangkan secara terbuka dan kolaborasi oleh ribuan pengembang perangkat lunak di seluruh dunia.Â
Apakah OSGX ini mampu menjadi jawaban atas ketergantungan bangsa ini terhadap kebutuhan sistem operasi bukan menjadi bagian dari cakupan tulisan ini. Namun, jika pertanyaannya adalah ada sistem operasi apa saja diluar sana yang dapat digunakan untuk digitalisasi pendidikan, jawabannya ada 3 : Windows (oleh Microsoft), ChromeOS (oleh Google) dan Linux.