Mohon tunggu...
Puja Pramudya
Puja Pramudya Mohon Tunggu... Programmer - Memajukan Bangsa Melalui Pendidikan, Praktisi IT

Penulis adalah penggiat dan praktisi IT sejak tahun 2010. Memenangi berbagai lomba IT mulai dari GEMASTIK 2009, Imagine Cup 2010, Hackhaton DailySocial, Hackhaton TechinAsia, Hackhaton Educode hingga Hackhaton Open Data Asia. Saat ini bergelut dengan masalah-masalah di dunia pendidikan dan teknologi hingga membentuk Radya Foundation (Yayasan Alkademi Karya Bangsa) bersama beberapa rekan. Pertanyaan yang belum terjawab adalah: Bagaimana mendesain pembelaran yang cocok untuk sekolah vokasi agar lulusannya siap kerja, bukan siap nganggur.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Salah Kaprah Digitalisasi Pendidikan dan Tablet Merah Putih

1 Desember 2021   12:58 Diperbarui: 4 Desember 2021   07:58 917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tablet Pendidikan Jarak Jauh

Diskursus mengenai pengadaan laptop pendidikan ini semakin ramai karena tercampur dengan rencana pemerintah lainnya, yaitu pengembangan Laptop Merah Putih yang akan diberi merek DiktiEdu. Rencananya, laptop ini dikembangkan oleh tiga kampus ternama, yaitu UI, ITB dan UGM secara bersama-sama dan turut pula mengajak sekolah vokasi untuk perakitan hingga penjualan. 

Spesifikasi yang dihasilkan dari penelitian ini lalu akan dikerjasamakan dengan perusahaan manufaktur Indonesia, untuk memastikan tingkat TKDN dan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya. 

Di atas kertas, rencana ini memang masuk akal. Jika Indonesia bisa memproduksi laptop miliki kita sendiri, yang diisi oleh e-modul Dikti dan software learning management system buatan anak bangsa serta perakitannya dibantu oleh sekolah dan perguruan tinggi vokasi maka akan banyak permasalahan yang diselesaikan. Selain berdikari secara teknologi, banyak lapangan pekerjaan yang bertambah khususnya untuk menyelesaikan permasalahan lulusan SMK yang disinyalir semakin sulit mendapatkan pekerjaan.

Jika benar rencana laptop merah putih ini salah satunya untuk berdikari di bidang teknologi lalu mengapa sistem operasi yang disarankan adalah ChromeOS dan device management yang disarankan adalah Chrome Education ? Kenapa tidak linux yang dapat dipastikan tidak memiliki ‘bendera’  dan asosiasi terhadap salah satu perusahaan teknologi ? Kenapa tidak Windows yang secara jumlah pengguna lebih banyak dan banyak siswa sudah lebih terbiasa ? Kenapa harus Chrome OS ?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kami mencoba berdiskusi di salah satu kanal grup yang berisikan pengembang dan perekayasa perangkat lunak dari berbagai perusahaan teknologi di Indonesia. Sejauh ini, belum dapat ditarik kesimpulan kenapa spesifikasi yang muncul adalah ChromeOS. 

Kami melihat jika sejak awal  spesifikasi laptop pendidikan ataupun laptop merah putih adalah ChromeOS maka pemenangnya sedari awal sudah jelas: Google. Pertama, ratusan ribu anak-anak akan terekspos dengan teknologi Google yang kita ketahui 97% pendapatannya diperoleh dari iklan. 

Kita tidak pernah tahu apakah laptop ini tidak diperiksa atau dilacak oleh sistem Google. Kita juga tidak tahu, data-data yang dikumpulkan melalui laptop ini akan digunakan oleh apa. Tapi yang jelas kita tahu betul, Google selama ini sering berurusan dengan yang namanya privasi data. 

Bisnis google adalah menukar pandangan mata kita (eyeball) dengan budget pengiklan di seluruh dunia. Bisnis Apple malah lebih jelas jualan perangkat keras dan Microsoft masih lebih jelas yaitu jualan perangkat lunak. Kedua, biaya langganan yang harus dikeluarkan adalah USD 30 per laptop sekali beli. Ya, sistem operasi ini tidak gratis, siapa yang bilang gratis ?

Untuk klarifikasi, isu besar yang ingin diangkat pada tulisan ini adalah mengapa sejak awal laptop pendidikan dan laptop merah putih mensyaratkan ChromeOS sebagai sistem operasinya ketimbang membuka secara adil bagi penyedia sistem operasi lainnya. Pada kasus yang mirip di 2015 tadi, Pak Onno menjelaskan bahwa untuk setiap satu perangkat komputer berbasis Windows maka membutuhkan peranti lunak Microsoft sekitar USD 400 atau dengan kurs rupiah berjumlah Rp 5,7 juta. 

Setiap tahunnya, pada era lampau Indonesia membayar USD 300 juta untuk seluruh penggunaan software Microsoft. Padahal, menurutnya ada sistem yang mirip dengan Microsoft dan dapat digunakan secara cuma-cuma. Kali in, dengan digitalisasi pendidikan bergantung pada Google maka setidaknya Google akan mendapatkan potensi pendapat sebesar USD 30 dikalikan 473.987 atau sekitar USD 14 juta karena sistem operasi ChromeOS ini tidaklah gratis. Itu baru untuk 473 ribu laptop yang diadakan tahun ini. 

Bagaimana dengan jumlah laptop hingga tahun 2024 ? Jumlah yang sangat besar jika bisa diserap oleh industri perangkat lunak dalam negeri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun