Diskursus mengenai pengadaan laptop pendidikan ini semakin ramai karena tercampur dengan rencana pemerintah lainnya, yaitu pengembangan Laptop Merah Putih yang akan diberi merek DiktiEdu. Rencananya, laptop ini dikembangkan oleh tiga kampus ternama, yaitu UI, ITB dan UGM secara bersama-sama dan turut pula mengajak sekolah vokasi untuk perakitan hingga penjualan.Â
Spesifikasi yang dihasilkan dari penelitian ini lalu akan dikerjasamakan dengan perusahaan manufaktur Indonesia, untuk memastikan tingkat TKDN dan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya.Â
Di atas kertas, rencana ini memang masuk akal. Jika Indonesia bisa memproduksi laptop miliki kita sendiri, yang diisi oleh e-modul Dikti dan software learning management system buatan anak bangsa serta perakitannya dibantu oleh sekolah dan perguruan tinggi vokasi maka akan banyak permasalahan yang diselesaikan. Selain berdikari secara teknologi, banyak lapangan pekerjaan yang bertambah khususnya untuk menyelesaikan permasalahan lulusan SMK yang disinyalir semakin sulit mendapatkan pekerjaan.
Jika benar rencana laptop merah putih ini salah satunya untuk berdikari di bidang teknologi lalu mengapa sistem operasi yang disarankan adalah ChromeOS dan device management yang disarankan adalah Chrome Education ? Kenapa tidak linux yang dapat dipastikan tidak memiliki ‘bendera’  dan asosiasi terhadap salah satu perusahaan teknologi ? Kenapa tidak Windows yang secara jumlah pengguna lebih banyak dan banyak siswa sudah lebih terbiasa ? Kenapa harus Chrome OS ?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kami mencoba berdiskusi di salah satu kanal grup yang berisikan pengembang dan perekayasa perangkat lunak dari berbagai perusahaan teknologi di Indonesia. Sejauh ini, belum dapat ditarik kesimpulan kenapa spesifikasi yang muncul adalah ChromeOS.Â
Kami melihat jika sejak awal  spesifikasi laptop pendidikan ataupun laptop merah putih adalah ChromeOS maka pemenangnya sedari awal sudah jelas: Google. Pertama, ratusan ribu anak-anak akan terekspos dengan teknologi Google yang kita ketahui 97% pendapatannya diperoleh dari iklan.Â
Kita tidak pernah tahu apakah laptop ini tidak diperiksa atau dilacak oleh sistem Google. Kita juga tidak tahu, data-data yang dikumpulkan melalui laptop ini akan digunakan oleh apa. Tapi yang jelas kita tahu betul, Google selama ini sering berurusan dengan yang namanya privasi data.Â
Bisnis google adalah menukar pandangan mata kita (eyeball) dengan budget pengiklan di seluruh dunia. Bisnis Apple malah lebih jelas jualan perangkat keras dan Microsoft masih lebih jelas yaitu jualan perangkat lunak. Kedua, biaya langganan yang harus dikeluarkan adalah USD 30 per laptop sekali beli. Ya, sistem operasi ini tidak gratis, siapa yang bilang gratis ?
Untuk klarifikasi, isu besar yang ingin diangkat pada tulisan ini adalah mengapa sejak awal laptop pendidikan dan laptop merah putih mensyaratkan ChromeOS sebagai sistem operasinya ketimbang membuka secara adil bagi penyedia sistem operasi lainnya. Pada kasus yang mirip di 2015 tadi, Pak Onno menjelaskan bahwa untuk setiap satu perangkat komputer berbasis Windows maka membutuhkan peranti lunak Microsoft sekitar USD 400 atau dengan kurs rupiah berjumlah Rp 5,7 juta.Â
Setiap tahunnya, pada era lampau Indonesia membayar USD 300 juta untuk seluruh penggunaan software Microsoft. Padahal, menurutnya ada sistem yang mirip dengan Microsoft dan dapat digunakan secara cuma-cuma. Kali in, dengan digitalisasi pendidikan bergantung pada Google maka setidaknya Google akan mendapatkan potensi pendapat sebesar USD 30 dikalikan 473.987 atau sekitar USD 14 juta karena sistem operasi ChromeOS ini tidaklah gratis. Itu baru untuk 473 ribu laptop yang diadakan tahun ini.Â
Bagaimana dengan jumlah laptop hingga tahun 2024 ? Jumlah yang sangat besar jika bisa diserap oleh industri perangkat lunak dalam negeri.Â