Mohon tunggu...
Pudji Widodo
Pudji Widodo Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Kesehatan Militer.

Satya Dharma Wira, Ada bila berarti, FK UNDIP.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Iwak Peyek dan Iwak Kali, Alternatif Sumber Protein di Tengah Pandemi Covid-19

18 Oktober 2020   12:56 Diperbarui: 18 Oktober 2020   13:07 994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warung Iwak Kali Mbah Slameto, sumber :  Yuwan Agista, www.kisahfoto.com, 18/11/2018


Pergeseran makna iwak

Pada tahun 2012, grup penyanyi Trio Macan terlibat sengketa dengan H. Imron pencipta lagu Iwak Peyek yang pendukung fanatik tim sepakbola Persebaya alias Bonek Mania. 

"Iwak peyek, iwak peyek, nasi jagung -- Sampai tuek, sampai tuek, Persebaya tetap disanjung", inilah lirik lagu yang dikumandangkan para bonek mania di dalam stadion saat Pesebaya berlaga. 

Sedikit berbeda liriknya dengan iwak peyek versi grup penyanyi Trio Macan yang populer di panggung pertunjukkan musik dangdut. Belakangan diketahui irama lagu Iwak Peyek mirip lagu "Take 'Em All"  yang dinyanyikan grup punk Cock Sparrer asal Inggris sejak tahun 2006.

Iwak adalah kosa kata bahasa jawa yang artinya ikan, sedang peyek adalah makanan gorengan dengan adonan tepung cair sebagai material pembawa atau pengikat. 

Bahan utama yang terkandung dalam adonan tepung bisa dipilih dari berbagai bahan makanan. Maka sesuai dengan bahan utama yang terkandung dalam adonan tepung, diperoleh nama-nama: peyek kacang, peyek udang, peyek teri, peyek kedelai, peyek bayam, bahkan peyek laron. 

Berbagai peyek berfungsi sebagai lauk untuk melengkapi menu-menu makanan tradisional Jawa baik pecel;  urap-urap, sayur lodeh, sayur bening atau sayur asem. 

Peyek Udang, sumber foto : www.saribundo.biz, 16/12017
Peyek Udang, sumber foto : www.saribundo.biz, 16/12017
Peyek atau rempeyek populer di berbagai provinsi bukan hanya di Jawa, meskipun ada nama lokal misalnya di Tegal disebut Mirong. Beberapa tulisan tentang kuliner yang membahas peyek atau rempeyek menyebutkan bahwa peyek sudah disajikan sebagai lauk pada jaman kerajaan Mataram Islam pada abad 16. 

Lauk dalam bahasa jawa disebut lawuh, namun oleh orang Jawa Timur khususnya Surabaya diganti dengan diksi iwak, yang artinya ikan. Meskipun dibesarkan di Surabaya, penulis tidak mengerti apa alasan penggunaan kata iwak atau ikan   sebagai pengganti lawuh (lauk).

Kata iwak yang dipadukan dengan peyek jelas memiliki makna yang berbeda dengan penggunaannya pada nama-nama ikan berikut ini : iwak lele, iwak mujair, iwak sepat, iwak wader dan iwak bandeng. 

Lebih aneh lagi, selain dikenakan terhadap makanan bahan nabati, iwak juga dipadukan untuk memberi sebutan makanan dari bahan hewani. Sekilas tampak kerancuan ada ikan ayam misalnya pada nama menu iwak ayam goreng,  padahal yang dimaksud adalah lauk ayam goreng.

Di pinggir jalan raya jalur Taman-Krian-Mojokerto, dekat jalan layang Trosobo terdapat warung sederhana "Iwak Kali" yang menyajikan menu ikan sepat dan ikan bethik goreng. Warung makan "Iwak Kali" bertetangga dengan warung makan "Iwak Nyambik" yang menyediakan menu daging biawak goreng. 

Nama "ikan biawak" tentu saja tidak akan pernah ditemukan dalam referensi manapun, karena adanya hanya di atas piring berupa lauk biawak goreng alias iwak nyambik.

Perubahan "lawuh" menjadi "iwak" mungkin dapat ditelaah dengan pendekatan konsumsi dan daya beli untuk penyediaan lauk makanan. Variasi harga bahan lauk makanan menyebabkan masyarakat memilih faktor keterjangkauan sebagai prioritas.  Hal ini tampak dari upaya  konsumsi daging untuk mendukung peningkatan asupan protein dari sumber hewan terkendala daya beli masyarakat. 

Tingkat konsumsi daging sapi di Indonesia pada tahun 2019 hanya 1,98kg/kapita, sedang Malaysia 5,30kg/kapita, Vietnam 9,46kg/kapita  dan rata-rata konsumsi daging global 6,43kg/kapita. Rendahnya rata-rata konsumsi daging sapi Indonesia sepanjang tahun 2015 -- 2019 dicatat Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD)/Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi. Bukan hanya daging sapi, tingkat konsumsi daging domba dan unggas pun Indonesia masih lebih rendah dibandingkan rata-rata global (Hanif Gusman, tirto.id, 30/6/2020).

Rendahnya konsumsi daging sapi di Indonesia dipengaruhi oleh kurangnya pasokan daging sapi yang berdampak pada kenaikan harga dan berakibat kepada turunnya daya beli, sebuah lingkaran setan yang harus diputus. Menristek Dikti Bambang Brodjonegoro menyampaikan solusi mengatasi hal tersebut dengan berupaya memperkuat suplai daging sapi melalui "breeding" sapi unggulan, agar bukan hanya pasokannya yang meningkat, namun juga kualitas daging juga membaik. Hal itu pula yang  dilaksanakan oleh Bengkel Ternak Sapi UGM di Pusat Pengembangan Sapi Gama kerjasama Fakultas Peternakan UGM dan PT Widodo Makmur Perkasa di Kabupaten Klaten (www.ristekbrin.go.id, 18/12/2019).

Menyiapkan ragam sumber protein

Upaya mengembangkan sapi "breeding" tersebut, mengingatkan bagaimana bangsa ini melampaui masa-masa sulit. Ketika UUD NKRI dinyatakan resmi berlaku sejak 18 Agustus 1945, tercantum dalam pembukaannya narasi "mencerdaskan kehidupan bangsa" dan "melindungi segenap tumpah darah Indonesia". Kurang lebih dua puluh tahun sebelumnya, Soekarno melalui naskah Indonesia Menggugat telah mengungkapkan penderitaan warga Bumiputra yang menjadi buruh dari mesin produksi kolonial dengan upah sangat rendah, yaitu buruh pabrik pria gula f 0,45/hari dan untuk wanita f 0,35. Soekarno menyebut sebagai suatu upah yang "sekedar sama dengan ongkos-ongkos hidup yang paling murah" atau upah yang "sekedar supaya jangan sampai mati kelaparan", sehingga hidupnya melarat. (Soekarno, 1930 : 41). Maka soal malnutrisi dan Kekurangan Kalori Protein (KKP), yang menyebabkan rentan infeksi dan meningkatkan angka kematian, tentu saja terkait kemiskinan.

Setelah 75 tahun merdeka, ternyata tingkat konsumsi daging masih menjadi masalah di Indonesia karena tergolong rendah di antara negara ASEAN. Tugas mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tidak mudah ketika pola konsumsi makanan yang sehat dan asupan gizi tidak memenuhi syarat. Melindungi segenap tumpah darah Indonesia bukan hanya diterjemahkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan perang konvensional, namun juga perang melawan penyakit dan untuk itu setiap anak bangsa memerlukan status gizi yang baik. 

Terkait dengan upaya mendapat status gizi yang baik, tampaknya kita harus menengok masa lalu tentang konsumsi makanan sumber protein. Bukti arkeologi menunjukkan bahwa pada masa lalu di wilayah Sumatera Timur pada abad keempat sampai empat belas masehi telah ada pola konsumsi ikan. Setiap kali dilakukan ekskavasi di wilayah tersebut selalu ditemukan patil ikan. Budi Wiyana, Kepala Balai Arkeologi Sumsel menjelaskan bahwa patil ikan ditemukan di antara artefak rumah tangga di situs pemukiman kuno pantai timur Sumatera. Bukti tersebut menunjukkan bahwa jenis ikan yang dikonsumsi adalah ikan patin, sembilang, lele, baung, lambak dan juaro, juga ikan yang ukurannya besar sesuai gambaran ruas tulang belakang ikan yang ditemukan ( Wijaya, www.mongabay.co.id, 04/1/2017). 

Ribuan tahun yang lalu, dalam gua  (layang) di tepi danau Lut Tawar di Takengon Gayo Aceh, pernah hidup dan bertempat tinggal manusia ras mongoloid dan austromelanesia.  Penelitian arkeologi terhadap layang  Mendale dan layang Ujung Karang menemukan kerangka manusia, kapak batu, anyaman rotan, fragmen gerabah, tulang binatang dan cangkang kerang laut dan darat. Tepian danau Lut Tawar sebagai pilihan untuk pemukiman tentu saja diantaranya berdasarkan kebutuhan sumber air dan sumber makanan berbagai jenis ikan dan kerang (Tjahjono, lorongarkeologi.id, 24/1/2018). Prasasti jaman kerajaan Majapahit menggambarkan kebutuhan sehari-hari meliputi bahan makanan, hasil bumi, dan pakaian, juga garam, binatang ternak, unggas dan ikan.  Komoditi lain yang diperdagangkan adalah kelapa, pewarna batik, mengkudu, kacang-kacangan, lada dan tebu (Anwari, 2015 : 110 -- 111). 

Pola konsumsi masyarakat di beberapa wilayah Indonesia berabad-abad lalu telah menunjukkan adanya asupan protein bersumber dari ternak kerbau, berbagai unggas, ikan dan kacang-kacangan juga kerang laut dan kerang air tawar. Catatan sejarah ini, seyogyanya menjadi pemacu masyarakat kekinian untuk tidak tergantung pada satu sumber pangan. Di tengah tekanan pandemi Covid-19 yang berpengaruh pada sektor ekonomi dan ditandai dengan turunnya daya beli masyarakat akibat berkurangnya pendapatan, bahkan tidak mempunyai penghasilan karena kehilangan mata pencaharian, maka diperlukan adaptasi pola konsumsi makanan dari sumber pangan yang sesuai tanpa mengabaikan kualitas gizi.

Hingga akhir Juli 2020 terdapat 20 juta penerima bantuan sosial dampak pandemi Covid-19 melalui program Keluarga Harapan (PKH) dan Program Kartu Sembako. Dengan bantuan pemerintah tersebut, diharapkan resiko memburuknya status gizi Keluarga Penerima Manfaat (KPM), khususnya para anak balita dapat dicegah. Sebelum pandemi Covid-19, UNICEF mencatat terdapat dua juta anak Indonesia menderita gizi buruk dan lebih dari tujuh juta anak di bawah 5 tahun mengalami stunting (www.unicef.org, 30/6/2020). 

Tanpa intervensi yang tepat, jumlah penderita gizi buruk dan stunting akan meningkat dan pada jangka panjang akan rentan terhadap gangguan tumbuh kembang. Diharapkan para ibu bijak dalam menggunakan dana bansos, termasuk dalam memilah jenis dan cara penyajian makanan bergizi yang harganya terjangkau.  

Di luar daging yang mahal, dengan manfaat kualitas gizi yang sama, maka terdapat banyak alternatif pilihan sumber protein., Memilih makanan sumber protein bukan hanya memenuhi empat sehat lima sempurna, namun gizinya harus cukup dalam jumlah dan seimbang dalam komposisi karbohidrat, lemak dan protein serta zat-zat pengatur. 

Fungsi protein bagi tubuh diantaranya adalah zat pembangun, membantu proses metabolisme, bahan pembuat hormon, juga bahan baku untuk kekebalan tubuh. 

Protein disusun dari senyawa asam amino, namun tidak semua asam amino protein yang diperlukan dapat dipenuhi oleh tubuh. Asam amino essensial harus disuplai dari  makanan, diantaranya adalah Lisin dan Isoleusin yang berperan dalam hal kekebalan tubuh. 

Sistem imunitas akan baik bila bahan baku yang diperlukan, dalam hal ini asupan asam amino protein cukup dan terus terjamin kontinyuitasnya, baik dari sumber protein hewani maupun nabati. 

Hingga saat ini belum ditemukan obat untuk membunuh virus SARScoV-2, seluruh dunia berharap kepada vaksin untuk mencegah Covid-19 yang belum siap di pasaran. 

Maka masyarakat khususnya kelompok rentan harus menjaga asupan kecukupan gizi, agar tubuh tidak jatuh ke dalam memburuknya status gizi, sehingga tidak cukup cadangan protein yang diperlukan untuk membentuk kekebalan tubuh berupa antibodi. 

Belum menyatakan bahwa status kesehatan atau suatu penyakit tidak tergantung kepada suatu faktor yang berdiri sendiri, melainkan sebagai akibat dari serangkaian proses yang dipengaruhi faktor pejamu (host), agen penyakit dan lingkungan. 

Komponen pembentuk kekebalan pejamu dapat disuplai dengan pendekatan dietetik. Sangat disayangkan bila tiba saatnya vaksin sudah tersedia, namun terdapat sekelompok masyarakat yang tidak bisa menjalani imunisasi karena tubuhnya tidak memiliki material protein yang cukup untuk membentuk antibodi akibat gizi buruk.

Wasana kata

Tampaknya penggunaan kata "iwak" sebagai pengganti "lawuh" atau lauk dalam situasi keterbatasan memenuhi kebutuhan asupan protein menjadi relevan. Apa saja yang bisa menjadi "lawuh" atau lauk bukan hanya daging, oleh masyarakat Jatim diberi sebutan iwak. Maka di kawasan Jawa Timur, bila ada yang bertanya "Apa lauk makan siang hari ini?", mungkin akan muncul berbagai jawaban berikut :  iwak dadar telur, iwak tahu, iwak tempe, iwak peyek dengan berbagai variannya, dan sebagainya. 

Menurut penulis penggunaan kata "iwak" mendorong terpeliharanya sikap egalitarian masyarakat, yang memandang nilai makanan dari kesetaraan fungsinya bagi kesehatan, di tengah perbedaan daya beli yang menggambarkan kelas sosial. Hal ini merupakan bentuk kearifan lokal dan sikap adaptif dalam mengatasi keterbatasan daya beli terhadap bahan makanan sumber protein.

Di tengah keterbatasan daya beli masyarakat karena pandemi Covid-19, saat ini pemerintah harus menjamin ketersediaan dan kestabilan harga berbagai komoditas makanan termasuk tepung, telur dan kedelai dan kacang tanah. 

Kedelai adalah bahan baku untuk pembuatan tahu, tempe dan  susu kedelai. Karena bila daging masih tidak terbeli, masyarakat masih bisa mengolah berbagai variasi sumber protein. 

Terdapat banyak kreasi menu di seluruh daerah, dan ini menunjukkan betapa nusantara kaya resep menu makanan dengan harga terjangkau namun bernilai gizi tinggi. Penulis menemukan website Cookpad yang menyajikan 247 macam menu Iwak Kali.  Selain kreatifitas masyarakat, diperlukan upaya sistematis pemerintah untuk menggelorakan gerakan makan ikan masyarakat.

Penulis menunggu pesanan di warung
Penulis menunggu pesanan di warung "Iwak Kali PJ" Kramat Jegu Taman Sidoarjo, dok.pri
Mengakhiri tulisan ini, penulis mengungkap kenangan  masa kecil yang bersama teman-teman bermain memasang bubu perangkap ikan di sungai pada hari libur. 

Sehari kemudian ikan yang didapat digoreng untuk tambahan lauk di rumah. Kini bila kangen nikmatnya gorengan ikan sungai, penulis cukup pergi ke warung "Iwak Kali PJ". 

Sedang untuk peyek, penulis memesan kepada tetangga, sambil membantu menghidupkan ekonomi keluarga tetangga yang mencoba bertahan di tengah tekanan pandemi Covid-19. Ada simbol ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan ketahanan  keluarga di balik sepotong iwak peyek dan iwak kali.

Oleh : Pudji Widodo

Salam tangguh.

Sidoarjo, 10092020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun