Sebagai seorang psikiater yang sehari-hari berhadapan dengan pasien gangguan kecemasan, depresi, dan keluhan psikosomatik, saya sering menemui satu gejala yang kerap tidak disadari pasien maupun keluarganya: anhedonia.
Istilah ini mungkin terdengar asing. Namun, anhedonia sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Pasien sering berkata: *"Dok, saya tidak bisa lagi merasakan senang, bahkan saat melakukan hal-hal yang dulu membuat saya bahagia."Itulah esensi anhedonia---hilangnya kemampuan untuk merasakan kesenangan.
Fenomena ini ternyata bukan sekadar gejala tambahan dari depresi. Riset terkini menunjukkan bahwa anhedonia adalah titik temu (hub) antara berbagai keluhan seperti nyeri kronis, kelelahan berkepanjangan (fatigue), dan depresi.
Topik ini kembali diangkat di kongres European Academy of Psychosomatic Medicine (EAPM) yang saya ikuti di 10-13 September 2025 yang baru lalu di Munich, Jerman.
Nyeri, Depresi, dan Kelelahan: Tiga Saudara yang Sering Bersama
Banyak pasien yang datang dengan keluhan utama berupa nyeri (sakit kepala, sakit perut, pegal, atau nyeri tanpa penyebab medis jelas). Namun setelah ditelusuri lebih dalam, keluhan ini sering beriringan dengan depresi dan kelelahan
Studi epidemiologis menunjukkan bahwa nyeri, depresi, dan fatigue sangat sering muncul bersamaan. Ketiganya membentuk apa yang disebut symptom cluster---kumpulan gejala yang saling berhubungan, meningkatkan penderitaan, dan memperburuk kualitas hidup pasien. Pasien yang mengalami ketiganya cenderung memiliki outcome pengobatan yang lebih buruk.
Anhedonia sebagai Benang Merah
Apa yang membuat nyeri, depresi, dan kelelahan bisa berkumpul? Jawabannya ada pada anhedonia.
Gejala ini memiliki fitur inti yang sama:
* berkurangnya motivasi,