Mohon tunggu...
Lury Sofyan
Lury Sofyan Mohon Tunggu... Ilmuwan - Behavioral Economist

find me: https://www.linkedin.com/in/lurysofyan/

Selanjutnya

Tutup

Money

Menelisik Determinan Rasio Pajak

30 November 2017   19:46 Diperbarui: 30 November 2017   19:50 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Banyak pihak berpendapat bahwa rasio pajak di Indonesia masih rendah.  Meningkatkan rasio pajak memang sangat penting guna mendukung fiscal sustainability karena kebutuhan pembiayaan pembangunan akan semakin membengkak. Wagner’s Law menyatakan bahwa fungsi pembiayaan pemerintah akan bertambah seiring pertumbuhan ekonomi.

Bukan hanya negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, tetapi juga negara-negara maju yang banyak mengalami fiscal crisis, terlebih negara-negara yang tergolong low-income countries, mereka harus meningkatan rasio pajak kurang lebih 4% untuk mencapai Millenium Development Goals untuk mengurangi kemiskinan dan membangun infrastruktur (UN, 2005). Namun demikian, pada kenyataannya pencapaian rasio pajak sangat beragam. Mengapa negaralow income countries & middle income countries seperti Indonesia sulit untuk menaikan rasio pajak? Sedangkan beberapa negara maju memiliki rasio pajak yang sangat tinggi bahkan 2x lipat lebih.  Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pencapaian rasio pajak?

Pendekatan Makro

Gupta (2007) melakukan studi empiris di 105 negara berkembang dalam kurun waktu 25 tahun, kemudian diterbitkan dalam IMF Working paper series.  Dia menyatakan bahwa factor-faktor yang mempengaruhi rasio pajak diantaranya Pendapatan Per Kapita, Komposisi Output Sektoral, Tingkat Perdagangan Internasional (trade openess), Bantuan dan Hutang Luar Negeri, Tingkat Ekonomi Informal, dan faktor institutional seperti korupsi dan stabilitas politik.

Pendapatan Per Kapita menunjukkan kemajuan ekonomi secara keseluruhan dari suatu bangsa. Semakin besar pendapatan perkapita, sebuah negara akan dinilai semakin makmur. Sedangkan, komposisi Output Sektoral menunjukkan struktur dari perekonomian. Negara yang lebih bergantung kepada pertanian cenderung lebih sulit untuk menarik pajak; negara agraris cenderung menghasilkan output yang lebih kecil dibanding negara industri karena produk pertanian memiliki nilai tambah yang kecil dan melibatkan pelaku yang banyak.

Faktor trade openess yang menunjukkan porsi expor dan impor suatu negara juga berpengaruh terhadap rasio pajak. Apakah berpengaruh positif atau negatif, ini masih menjadi perdebatan. Liberalisasi perdagangan baik dalam skala internasional melalui WTO, Free Trade Agreement (FTA)seperti Asean-China, atau FTAmodel bilateral agreement seperti Indonesia-Jepang, memberikan pengaruh pada pendapatan dari pajak impor. 

Selain itu, dengan meningkatnyatrade openess, kompleksitas perdagangan juga bertambah dan berimplikasi pada meningkatnya peluang penggelapan pajak. Di lain pihak, beberapa ahli berpendapat bahwa dalam jangka panjang, meningkatnya trade openess akan menstimulus ekonomi sehingga meningkatkan GDP dan tentunya meningkatkan tax base. Gupta (2007) juga menemukan bahwa negara-negara yang menggantungkan sumber penerimaan pajaknya pada jenis indirect tax seperti PPN, memiliki kinerja yang lebih rendah dibanding negara-negara yang fokus kepada direct tax (PPh). Efek distribusi dari kedua jenis pajak ini menjadi biang keladi utama; efek regresif dari PPN dapat mengakselerasi kesenjangan ekonomi dan akhirnya dapat mereduksi tax base. Sedangkan PPh yang bersifat progresif merupakan salah satu senjata ampuh untuk mengurangi kesenjangan ekonomi sehingga dapat meningkatkan tax base.  Catatan kecil untuk studi ini adalah tidak dimasukkannya proxy tax rate itu sendiri ke dalam model.

Peran PPh di Indonesia cukup signifikan.  Di tahun 2011, direct tax (PPh) memberikan kontribusi hampir 50% dari total penerimaan dibanding dengan kontribusi PPN yang menyumbang 32% saja.  Artinya, merujuk pada studi tersebut, porsi direct tax pada penerimaan pajak di Indonesia sudah dominan terlepas dari kenyataan bahwa masing-masing jenis pajak baik itu PPh atau PPN memiliki keunggulan dan prioritas rulling yang berlainan. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah faktor institutional. Krisis fiskal yang dialami beberapa negara Eropa terutama Yunani karena ketidakmampuanya untuk menghimpun penerimaan secara mandiri melalui pajak banyak dipengaruhi oleh faktor institutional terutama korupsi.

Pendekatan Mikro

Pencapaian rasio pajak yang optimal juga dipengaruhi faktor lain, yaitu dari sisi strategi dan kebijakan serta proses bisnis yang terjadi didalam suatu otoritas pajak. Selain itu, rasio pajak sangat berhubungan dengan tax compliance. Plumley (1996) dalam IRS paper seriesmengungkapkan bahwa income tax compliance dipengaruhi oleh banyak hal dari mulai audit coverage sampai dengan status perkawinan–Wajib Pajak (WP) yang berstatus belum menikah memiliki compliance rate yang lebih rendah dibanding dengan yang sudah menikah, dan masih banyak variabel lainnya. Namun demikian, Plumley menekankan bahwa peran data pihak ketiga sangat penting karena semakin banyak data pihak ketiga yang masuk dalam sistem perpajakan,compliance level dan rasio pajak akan semakin tinggi karena WP sulit untuk menyembunyikan penghasilannya.

Untuk mencapai tingkat rasio pajak yang optimal, harus diakui bahwa peran data pihak ketiga menjadi semakin signifikan karena kemudahan dan ketepatannya menyasar data yang sebelumnya tersembunyi. Bisa dianalogikan juga bahwa otoritas pajak yang belum mengoptimalkan peran data pihak ketiga adalah seperti suatu industri yang bersifat labour intensive, karena membutuhkan banyak sumberdaya manusia untuk melakukan pengawasan terhadap WP, sedangkan otoritas pajak yang sudah memanfaatkan data pihak ketiga lebih bersifat capital & technology intensive.

Studi menarik telah dilakukan di Denmark untuk mempelajari pengaruh psikologis dan budaya dari audit pajak dan peran data pihak ketiga.  Kleven et. al. (2010) melakukan samplingterhadap 40.000 lebih tax filler dan membagi 2 kelompok secara acak. Pada base year,kelompok pertama dilakukan audit dan kelompok kedua tidak. 

Tahun berikutnya, semacam pemberitahuan “audit threat” dikirim secara random ke kedua grup tersebut. Diantara beberapa kesimpulan yang mereka dapat adalah bahwa tax evasion untuk “self reported income” cukup substansial yaitu (37%) sedangkan “third party reported income” sangat rendah (0,3%) dan tidak responsif kepada kemungkinan akan dilakukan audit. Studi ini menemukan bahwa aspek psikologis sangat mempengaruhi tax compliance dan dapat disimpulkan bahwa orang lebih takut untuk dipergoki oleh klarifikasi data pihak ketiga dibanding dengan audit.

Lebih lanjut, OECD Center of Tax Policy & Administration memaparkan bahwa data pihak ketiga tidak hanya berpengaruh kepada pencapaian penerimaan dan rasio pajak, tetapi juga sangat berpengaruh dalam mengurangi beban wajib pajak orang pribadi dan menekan administration cost di internal tax authority, karena banyak data wajib pajak yang secara otomatis dapat dihasilkan dari data pihak ketiga.  

OECD Center of Tax Policy & Administration Reportmenyebutnya "pre-populated return" dan informasi ini dikirim ke WP dalam bentuk kertas atau elektronik untuk dikonfirmasi.  Khusus di Perancis, mereka menggunakan istilah yang berbeda yaitu pre-filled returns.Konsep dasarnya sama yaitu pihak ketiga diharuskan untuk mengirimkan data terkait perpajakan secara elektronik mulai dari bulan Januari sampai dengan pertengahan Maret.  Kemudian proses matching dilakukan hingga akhir bulan April.  Informasi yang didapat dari proses itu akan otomatis masuk ke 36 juta SPT untuk dilakukan approvaloleh wajib pajak dengan fasilitas internet “withthree clicks”. Data pihak ketiga mencakup area yang cukup luas yaitu diantaranya data Saham & Pinjaman (FTA, 2011).

Upaya yangTelah dilakukan & Tantangan

Variabel yang bersifat makro sangat sulit untuk dikontrol dan diatur secara langsung atau dengan kata lain variabel-variabel tersebut lebih bersifat given.  Bagi otoritas pajak, pilihan yang tersisa untuk mendongkrak rasio pajak yaitu dengan mengoptimalkan variabel-variabel mikro. Banyak upaya yang sudah dilakukan DJP untuk meningkatkan rasio pajak. 

Diantaranya Program Sensus Pajak Nasional (SPN) yang mulai digaungkan pada tahun 2011 untuk menjaring WP baru dan mengoptimalkan penerimaan dari WP.  DJP butuh data pihak ketiga untuk menghitung data yang ada di dalam SPT. SPN sangat membantu dalam membangun databasepajak yang lebih kuat, namun demikian pendekatan survei seperti SPN hanya menghasilkan data statis. Selain itu data SPN berumber dari pihak yang sama yaitu WP itu sendiri sehingga validitas dan akurasinya sebagai data counter SPT menjadi kurang mumpuni.

Terobosan seperti e-filing patut diacungi jempol dan harus terus dikembangkan karena bisa memberikan kemudahan kepada Wajib pajak sekaligus menekan beban adminsitrasi. Jika data pihak ketiga sudah dapat dimanipulasi dengan baik, tantangan berikutnya adalah mengadopsi model pre-populated atau pre-filled tax return.Optimalisasi data pihak ketiga memang membutuhkan koordinasi dan kerja sama yang sangat kuat antara seluruh elemen pemerintahan dan swasta.

==========================================================================

Sebelumnya di Website Kemenkeu (http://www.kemenkeu.go.id/Artikel/determinan-rasio-pajak) dan Situs Detik (http://news.detik.com/read/2014/09/12/223201/2689218/471/1/menelisik-determinan-rasio-pajak)

===============================================================================

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun