Mohon tunggu...
Priyo Widiyanto
Priyo Widiyanto Mohon Tunggu... Dosen - Papan Kanggo Olah Rogo lan Roso. Edukatif dan Teraputik.

Seorang peziarah kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar dari Pohon Mangga

23 November 2020   17:45 Diperbarui: 23 November 2020   17:53 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Wajah tua dengan sedikit menunduk, petang itu menatap pohon mangga. Pohon mangga yang berbuah lebat itu beberapa buahnya sudah ranum masak di pohon. Salah satu buah mangga sudah di tangan si mbah tua. 

Dengan berbekal pisau yang tidak terlalu tajam, simbah tua itu mengupas dan memakan sepotong daging mangga. Betapa terkejut dan berbinar wajah tua si mbah. Ternyata rasa buah mangga itu sangat enak, manis, harum, gurih, dan serat dagingnya terasa halus. Mangga yang enak sekali!

Sesaat kemudian tatapan mata si mbah mengarah pada pohon mangga yang besarnya sekitar berdiameter 10 cm. Pohon mangga yang belum begitu besar itu memang baru berbuah untuk yang pertama kali. 

Tatapan mata si mbah mulai menerawang dan menembus luka-luka di sekujur pohon mangga bagian bawah. Sebuah luka yang relatif parah, bukan sekadar goresan-goresan kecil yang menyayat pohon. Air mata si mbah mulai menetes dari mata yang menerawang dan sekaligus mengingatkan ingatan tuanya. 

Sekitar 5 tahun yang lalu si mbah sebagai pencinta tanaman, mendapatkan bibit mangga tanpa tahu namanya itu mangga apa. Tangan-tangan tuanya masih kokoh dan terampil merawat pohon mangga kecil sampai pohon mangga itu tumbuh subur dengan daun yang rimbun. 

Ketinggian pohon sudah mencapai genteng teras rumah. Daun yang rimbun dan hijau menambah suasana sejuk di teras rumah yang dikelilingi kolam dengan ribuan ikan. Daun yang rimbun dan suasana sejuk kiranya merupakan balasan pohon mangga ke si mbah yang sudah merawat dan membesarkan dirinya. Budi baik si mbah dibalas oleh pohon mangga dengan daun rimbun dan suasana sejuk.

Melihat pohon yang subur, hati si mbah menjadi gelisah karena pohon mangga itu ditanam di tanah yang membatasi dua kolam. Ia sangat khawatir kalau akar-akar pohon itu mulai menjebol dinding-dinding kolam di sekitarnya. Kegelisahan ini menghinggapi diri si mbah sampai beberapa hari. Sampai suatu saat lahirlah suatu keputusan, pohon mangga harus dimatikan,namun, pohonnya harus tetap berdiri. Nanti pohon yang sudah mati tersebut bisa dijadikan gantungan tanaman anggrek.

Proses pembunuhan pohon mangga pun dimulai. Cangkul mulai membongkar tanah yang mengelilingi pohon mangga. Empat akar besar yang akan menjebol dinding kolam mulai dipotong dengan gergaji tajam. Setelah keempat akar dipotong, tanah pun diurug kembali sehingga pohon mangga tetap berdiri kokoh meskipun empat akar pencari nafkahnya sudah dipotong. Agar proses pembunuhan berjalan sempurna, kulit pohon mangga pun dilukai melingkar dengan lebar luka sekitar satu senti meter. 

Rasa sakit yang luar biasa tentu dirasakan oleh pohon mangga. Akar pencari makan diamputasi, kulit pohon sebagai penyalur makanan ke suluruh sendi-sendi kehidupan mangga dipotong di tengah jalan. Harapan si mbah, dalam waktu satu atau  dua bulan pohon mangga ini akan meranggas dan mati, meninggalkan tubuhnya yang masih berdiri kokoh, meski sudah tanpa kehidupan.

Setelah beberapa bulan daun pohon mangga memang meranggas, namun masih jauh dari kematian. Pohon tetap hidup dan terus hidup. Sampai akhirnya di tengah semua orang meributkan pandemi covid -19, meski menahan sakit dan derita yang sangat luar biasa, pohon mangga ini tetap berbunga dan bunga pun berubah menjadi buah-buah mangga. Ada beberapa "pentil" mangga yang jatuh, mungkin karena kurang gizi, tetapi sebagian besar "pentil" akhirnya menjadi buah mangga yang begitu menggoda.

Meskipun pohon mangga itu dalam perjalanan kehidupannya mengalami penderitaan luar biasa karena ulah si mbah tua, namun dirinya tetap menyajikan buah-buah mangga yang ranum untuk si mbah tua. Pohon mangga lebih mengingat kebaikan si mbah tua dalam awal kehidupan dirinya. 

Saat si mbah tua menanam, menyirami, memupuk sampai dirinya tumbuh dewasa. Pohon mangga tidak fokus pada derita sebagai akibat ulah si mbah tua yg akan mematikan dirinya. Pohon mangga tetap bersyukur karena ia masih diberi kehidupan, dan bisa membalas kebaikan kepada orang yang pernah berbuat baik pada dirinya.

Dalam kehidupan kita, hidup akan lebih nyaman dan lebih mudah terkelola bila kita bisa menuliskan kebaikan orang lain pada diri kita di atas batu karang yang tidak akan mudah terhapus oleh air pasang maupun angin laut. 

Tuliskanlah kejelekan orang lain pada diri kita di atas pasir, yang akan segera terhapus oleh air pasang dan angin laut. Bila hal itu yang kita lakukan maka hati kita akan dipenuhi  oleh kebaikan orang lain, dan hidup kita pun akan semakin nyaman apalagi kalau kita juga membalas kebaikan orang lain tersebut. Belajarlah dari pohon mangga ! *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun