Mohon tunggu...
Mbah Priyo
Mbah Priyo Mohon Tunggu... Engineer Kerasukan Filsafat

Priyono Mardisukismo - Seorang kakek yang suka menulis, karena menulis bukan sekadar hobi, melainkan vitamin untuk jiwa, olahraga untuk otak, dan terapi kewarasan paling murah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kritik Filsafat Positivisme: Menyoal Batas dan Keterbatasan Pengetahuan Ilmiah

8 Oktober 2025   07:54 Diperbarui: 8 Oktober 2025   07:54 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selamat pagi sahabat sunyi, kembali saya mennemani perjalanan anda semua menyusuri jalan sunyi dengan berbagai pertanyaan yang tidak mencari jawaban. Pagi ini kita mepertanyakan tentang filsafat positivisme, yang akan mengupas dasar-dasar dan berbagai kritik. Sengaja tulisan ini saya buat tidak terlalu detil untuk memantik api pereneungan dalam diri Anda.


Filsafat positivisme muncul pada abad ke-19 sebagai salah satu aliran filsafat yang menekankan pentingnya pendekatan ilmiah dalam memahami realitas. Didirikan oleh Auguste Comte dan dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti mile Durkheim dan John Stuart Mill, positivisme berargumen bahwa pengetahuan yang valid adalah pengetahuan yang didasarkan pada data empiris dan pengamatan langsung terhadap fenomena yang dapat diverifikasi secara objektif. Dengan menolak spekulasi metafisik dan spekulasi spekulatif, positivisme berusaha menempatkan ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya jalan untuk memahami dunia dan masyarakat.

Namun, seiring perjalanan waktu, filsafat positivisme sering mendapatkan kritik dari berbagai kalangan filsuf dan pemikir. Kritik tersebut tidak hanya berkaitan dengan aspek metodologi dan epistemologi, tetapi juga menyangkut aspek ontologi, etika, dan filosofi manusia secara keseluruhan. Tulisan ini akan membahas secara kritis berbagai argumen yang menyatakan kelemahan dan keterbatasan filsafat positivisme.

Dasar-Dasar Filsafat Positivisme dan Asumsi Utamanya
Sebelum masuk ke kritik, perlu dipahami terlebih dahulu apa yang menjadi dasar filsafat positivisme. Positivisme berangkat dari asumsi bahwa:
1. Pengetahuan yang valid adalah pengetahuan yang dapat diverifikasi melalui pengalaman inderawi dan observasi langsung.
2. Hanya fenomena yang dapat diamati secara empiris yang memiliki realitas yang objektif.
3. Metode ilmiah adalah satu-satunya metode yang sah untuk memperoleh pengetahuan.
4. Metafisika dan spekulasi metafisik dianggap tidak memiliki dasar yang valid dan harus dihindari.

Asumsi ini telah membawa filsafat positivisme menjadi landasan utama ilmu pengetahuan modern dan sosial, terutama dalam bidang sosiologi, psikologi, dan ekonomi. Pendekatan ini menekankan observasi, eksperimen, dan verifikasi sebagai kunci utama dalam memperoleh kebenaran.

Kritik terhadap Epistemologi Positivisme
Salah satu kritik utama terhadap filsafat positivisme berasal dari filsuf-filsuf seperti Immanuel Kant, Georg Wilhelm Friedrich Hegel, dan filsuf kontemporer seperti Thomas Kuhn dan Paul Feyerabend. Mereka menyoroti bahwa:

1. Reduksionisme dan Keterbatasan Pengamatan Inderawi
Positivisme cenderung menganggap bahwa semua aspek realitas dapat direduksi menjadi data empiris yang dapat diobservasi. Namun, kritik muncul bahwa pengalaman inderawi manusia terbatas dan subjektif. Tidak semua aspek realitas dapat diukur secara langsung atau diverifikasi melalui pengalaman inderawi. Misalnya, nilai-nilai moral, estetika, dan pengalaman spiritual tidak dapat dijelaskan dan diukur secara empiris, tetapi memiliki keberadaan yang nyata dalam kehidupan manusia.

2. Keterbatasan Verifikasi dan Falsifikasi
Menurut filsuf seperti Karl Popper, metode verifikasi yang digunakan positivisme tidak cukup untuk memastikan kebenaran ilmiah. Popper mengusulkan prinsip falsifikasi, yaitu bahwa teori ilmiah harus dapat diuji dan berpotensi dibantah. Sebaliknya, positivisme cenderung menegaskan verifikasi sebagai syarat utama kebenaran, yang menimbulkan masalah karena banyak teori ilmiah yang tidak dapat diverifikasi secara langsung, tetapi tetap valid dan berguna.

3. Masalah Reduksionisme dan Determinisme
Positivisme sering diasumsikan bahwa segala sesuatu dapat dijelaskan secara mekanistik dan deterministik melalui hukum-hukum ilmiah. Kritik menyatakan bahwa hal ini mengabaikan kompleksitas dan keunikan fenomena manusia dan sosial yang tidak selalu mengikuti hukum pasti. Manusia memiliki kesadaran, kebebasan, dan makna yang tidak selalu dapat dijelaskan melalui pendekatan empiris semata.

Kritik terhadap Asumsi Ontologi dan Metodologi
1. Pengabaian terhadap Dimensi Metafisik dan Eksistensial
Filsafat positivisme menolak spekulasi metafisik dan aspek-aspek keberadaan yang tidak dapat diamati secara langsung. Kritik menyatakan bahwa pengabaian terhadap dimensi metafisik dan spiritual mengurangi kekayaan pengalaman manusia. Banyak aspek kehidupan manusia, seperti makna, tujuan, dan nilai, tidak dapat dijelaskan hanya melalui data empiris, tetapi tetap penting dalam membangun pemahaman tentang eksistensi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun