Di banyak keluarga, pola asuh sering kali masih berjalan dalam pola lama: orang tua memberi aturan, anak diminta mengikuti tanpa banyak bertanya. Kalimat seperti "Pokoknya begitu" atau "Jangan banyak alasan" menjadi sangat akrab. Sekilas, cara ini terlihat efektif karena membuat anak menurut dengan cepat. Namun seiring waktu, muncul pertanyaan besar: apakah anak-anak yang tumbuh dengan kebiasaan patuh tanpa mengerti alasan benar-benar siap menghadapi kehidupan yang penuh kompleksitas?
Dunia yang berubah cepat menuntut generasi baru untuk kritis, kreatif, dan berani mengambil keputusan. Mereka tidak cukup hanya dengan keterampilan mengikuti instruksi, melainkan juga harus terbiasa mencari alasan, menimbang pilihan, dan memahami konsekuensi. Dari kesadaran inilah konsep inquiry-based parenting muncul sebagai alternatif pola asuh yang lebih sesuai dengan tantangan zaman.
Inquiry-based parenting secara sederhana dapat dipahami sebagai pola asuh yang menekankan pentingnya pertanyaan, terutama pertanyaan "kenapa". Prinsipnya adalah mengajak anak berpikir dan memberi ruang bagi mereka untuk mempertanyakan sesuatu, sekaligus menjawab pertanyaan mereka dengan jujur dan penuh kesabaran. Dengan begitu, anak tidak sekadar melakukan sesuatu karena diperintah, tetapi karena ia memahami alasan yang mendasarinya. Pola ini sebenarnya merupakan adaptasi dari dunia pendidikan, di mana dikenal metode inquiry-based learning, yaitu proses belajar yang didorong oleh rasa ingin tahu dan pencarian jawaban. Jika di sekolah anak diajak mengeksplorasi pertanyaan, maka di rumah inquiry-based parenting membuat anak terbiasa berdialog dengan orang tuanya.
Landasan akademis dan praktis dari pendekatan ini cukup kuat. Amanda Sheffield Morris, seorang profesor di bidang perkembangan anak, banyak meneliti tentang bagaimana regulasi emosi anak terbentuk dari interaksi dengan orang tua. Ia menunjukkan bahwa ketika orang tua memberi ruang bagi anak untuk mengungkapkan alasan di balik perilakunya, maka anak belajar mengatur emosi dengan lebih baik. Catherine Tamis-LeMonda, profesor dari New York University, menekankan pentingnya interaksi sosial dalam membentuk kemampuan bahasa dan kognisi. Bagi Tamis-LeMonda, komunikasi yang setara antara orang tua dan anak bukan sekadar percakapan, tetapi fondasi bagi perkembangan intelektual.
Dari sisi praktik sehari-hari, ada nama Dr. Becky Kennedy, seorang psikolog klinis yang populer dengan konsep Good Inside. Ia mengajak orang tua untuk tidak terjebak dalam pola reward dan punishment, melainkan mengutamakan koneksi emosional. Kennedy percaya bahwa anak selalu berusaha melakukan yang terbaik, dan tugas orang tua adalah membantu mereka memahami perasaan serta alasannya. Ada pula Dr. Tara Porter, penulis Good Enough Parenting, yang mengingatkan bahwa orang tua tidak perlu sempurna. Justru dengan menerima ketidaksempurnaan, orang tua bisa lebih terbuka membangun hubungan dialogis.
Sementara itu, Alfie Kohn, seorang penulis dan pembicara yang banyak mengkritik sistem pendidikan tradisional, menolak penggunaan hadiah dan hukuman sebagai cara utama mendidik anak. Menurut Kohn, pendekatan tersebut membuat anak hanya berfokus pada konsekuensi eksternal, bukan pada pemahaman intrinsik. Filosofinya sejalan dengan inquiry-based parenting, di mana anak didorong memahami alasan di balik tindakan, bukan hanya karena takut hukuman atau mengincar hadiah. Bahkan ada gerakan Taking Children Seriously yang memandang anak sebagai individu sejajar. Bagi gerakan ini, dialog antara orang tua dan anak harus bebas dari paksaan sehingga ide dari kedua belah pihak bisa bertemu secara sehat.
Kelebihan pola asuh berbasis inquiry cukup jelas terlihat dalam keseharian. Anak yang tumbuh dengan pertanyaan "kenapa" biasanya lebih komunikatif, kritis, dan percaya diri menyampaikan pendapat. Mereka terbiasa mencari alasan sebelum mengambil keputusan. Misalnya, ketika di sekolah menghadapi teman yang mengajak melakukan sesuatu yang berisiko, anak yang terbiasa berpikir kritis akan bertanya dalam hati, "Kenapa aku harus melakukan ini? Apa akibatnya buatku?" Cara berpikir ini jelas lebih sehat daripada sekadar ikut-ikutan.
Namun tentu saja ada tantangan besar yang menyertai. Inquiry-based parenting membutuhkan waktu dan kesabaran. Diskusi dengan anak tidak selalu berjalan mulus. Ada kalanya orang tua merasa lelah karena setiap perintah harus dijelaskan, setiap aturan ditanya balik. Jika orang tua tidak siap, situasi ini bisa terasa seperti perdebatan tanpa ujung. Padahal inti dari pola ini bukan soal menang atau kalah, melainkan proses bersama menemukan alasan yang masuk akal.
Contoh sehari-hari bisa membantu menggambarkan perbedaan. Bayangkan seorang anak menolak makan sayur. Dalam pola asuh otoriter, orang tua mungkin berkata, "Pokoknya habiskan, kalau tidak nanti dimarahi." Anak akhirnya makan, tapi tanpa pemahaman. Dalam pendekatan permisif, orang tua mungkin menyerah dan berkata, "Ya sudah, tidak usah makan sayur." Anak memang senang, tetapi kehilangan kesempatan belajar. Dalam inquiry-based parenting, orang tua bisa bertanya, "Kenapa kamu tidak mau makan? Apakah rasanya pahit atau teksturnya tidak enak?" Setelah anak menjawab, orang tua menjelaskan, "Sayur memang punya rasa berbeda, tapi penting untuk kesehatan tubuh. Kalau tubuhmu sehat, kamu bisa lebih bebas bermain dan tidak mudah sakit." Anak mungkin tidak langsung menyukai sayur, tapi ia memahami alasan kenapa sayur penting.
Dialog semacam ini bisa diterapkan di berbagai situasi lain. Saat anak malas belajar, orang tua bisa mengajukan pertanyaan reflektif, "Menurut kamu kenapa belajar ini penting? Apa yang terjadi kalau kamu tidak belajar?" Ketika anak marah karena kalah dalam permainan, orang tua bisa bertanya, "Kenapa kamu merasa kesal? Apa yang bisa kita lakukan supaya lain kali lebih siap?" Dengan cara ini, setiap peristiwa sehari-hari berubah menjadi momen pembelajaran.