Mohon tunggu...
Mbah Priyo
Mbah Priyo Mohon Tunggu... Engineer Kerasukan Filsafat

Priyono Mardisukismo - Seorang kakek yang suka menulis, karena menulis bukan sekadar hobi, melainkan vitamin untuk jiwa, olahraga untuk otak, dan terapi kewarasan paling murah.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Mengadopsi AI sebagai Data Modelling untuk Surveillance Medis

25 Agustus 2025   21:00 Diperbarui: 25 Agustus 2025   15:24 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
AI healthcare - Kenya Medical Association

Di era kesehatan modern, tantangan terbesar bukan lagi semata-mata mengobati penyakit, melainkan bagaimana kita bisa mendeteksi, memahami, dan merespons penyakit lebih cepat daripada pergerakan penyakit itu sendiri. Surveillance medis adalah mata dan telinga sistem kesehatan. Ia bekerja sebagai penjaga yang mengamati pola, menghitung angka, dan memberi peringatan ketika ada sesuatu yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Namun, surveillance konvensional sering kali tertinggal satu langkah di belakang kenyataan. Data yang terlambat dilaporkan, analisis yang manual, dan keterbatasan sumber daya membuat banyak peluang pencegahan terlewat begitu saja. Pada titik inilah kecerdasan buatan atau artificial intelligence hadir, bukan sebagai pengganti tenaga kesehatan, melainkan sebagai alat bantu yang bisa memperkuat mata dan telinga kita sehingga lebih tajam, lebih cepat, dan lebih luas jangkauannya.

Bayangkan bagaimana surveillance biasanya berjalan. Seorang dokter atau petugas surveilans harus menunggu laporan mingguan, menghitung jumlah kasus dengan tangan atau spreadsheet, lalu mencoba mencari tahu apakah angka ini normal atau ada sesuatu yang tidak wajar. Pada skenario penyakit menular, keterlambatan sehari saja bisa berarti penyebaran yang jauh lebih besar. Pada kasus penyakit kronis, keterlambatan analisis berarti pasien datang dengan kondisi lebih parah, dan kesempatan intervensi dini hilang begitu saja. AI menawarkan jalan lain: ia mampu menganalisis data dalam jumlah besar secara real-time, mengenali pola halus yang luput dari pandangan manusia, dan memberi peringatan dini yang bisa ditindaklanjuti segera.

Contoh nyata bagaimana AI dapat dimanfaatkan terlihat jelas pada program skrining kanker payudara melalui mammogram. Data mammogram selama ini digunakan sebagai alat diagnostik individual: seorang perempuan melakukan pemeriksaan, hasilnya dibaca radiolog, lalu diputuskan apakah perlu tindakan lebih lanjut. Tetapi jika data tersebut diolah secara kolektif, ia berubah menjadi sumber daya surveillance yang sangat berharga. Dari ribuan bahkan jutaan mammogram, kita bisa memantau kualitas skrining, mengukur recall rate, cancer detection rate, hingga interval cancer rate secara berkesinambungan. AI dapat membantu mengidentifikasi fasilitas atau radiolog yang recall rate-nya tiba-tiba meningkat atau menurun drastis. AI dapat memperingatkan jika pada suatu daerah angka deteksi kanker tampak lebih rendah dari seharusnya, sehingga memberi sinyal kemungkinan ada kasus yang terlewat. Ia bahkan dapat berperan sebagai pembaca kedua yang setia, menandai kasus-kasus berisiko tinggi yang mungkin luput dari perhatian mata manusia yang lelah.

Lebih jauh lagi, penggunaan AI untuk surveillance kanker payudara tidak hanya tentang akurasi diagnosis, tetapi juga tentang pemahaman populasi. Dengan data agregat yang diproses cerdas, kita dapat melihat distribusi kanker pada kelompok usia tertentu, bagaimana kepadatan payudara memengaruhi deteksi, atau apakah ada perbedaan hasil skrining antar wilayah. Semua informasi ini penting bukan hanya bagi dokter, melainkan juga bagi pembuat kebijakan, pengelola rumah sakit, dan tentu saja masyarakat luas. Surveillance yang berbasis AI mengubah program skrining dari aktivitas rutin menjadi strategi kesehatan publik yang benar-benar proaktif.

Manfaatnya bagi praktisi kesehatan jelas terasa. Pertama, AI meningkatkan akurasi dan memberi lapisan keamanan tambahan dalam membaca hasil pemeriksaan, tetapi tetap menempatkan dokter sebagai pengambil keputusan utama. Kedua, AI mengurangi beban administratif. Indikator mutu yang biasanya dihitung secara manual kini bisa muncul otomatis dalam dashboard, lengkap dengan grafik tren dan peringatan dini. Ketiga, kepercayaan publik terhadap layanan kesehatan dapat meningkat karena masyarakat tahu bahwa kualitas skrining mereka diawasi ketat dengan teknologi mutakhir. Dan keempat, data surveillance yang kuat dapat menjadi landasan kebijakan. Angka-angka yang terukur dan terkini bisa digunakan untuk mengadvokasi anggaran, merencanakan distribusi sumber daya, atau mengevaluasi keberhasilan program kesehatan.

Tentu saja, adopsi AI untuk surveillance medis tidak tanpa tantangan. Isu kerahasiaan data harus ditangani dengan serius. Data pasien perlu diolah dengan mekanisme anonimisasi dan sesuai dengan peraturan perlindungan data pribadi. Potensi bias juga harus diwaspadai. AI yang dilatih pada satu populasi bisa jadi tidak bekerja dengan baik pada populasi lain. Oleh karena itu, evaluasi lintas kelompok usia, jenis kelamin, dan kondisi klinis sangat penting untuk memastikan keadilan. Penting pula menegaskan bahwa AI tidak boleh menggantikan tenaga kesehatan. Keputusan klinis tetap berada di tangan manusia, sementara AI berfungsi sebagai penunjang. Infrastruktur juga menjadi kunci. Integrasi dengan sistem rumah sakit, standar data seperti HL7 atau FHIR, dan ketersediaan dashboard pemantauan harus dipersiapkan agar teknologi ini benar-benar bisa digunakan dalam praktik sehari-hari.

Namun jika kita melihat ke depan, potensi AI dalam surveillance medis sungguh besar. Bayangkan sebuah sistem yang dapat mengirim notifikasi dini ketika tren pneumonia mulai meningkat di sebuah kota. Bayangkan sebuah dashboard nasional yang memantau kualitas skrining kanker di ratusan rumah sakit, mengidentifikasi fasilitas dengan performa di luar batas wajar, dan memberi rekomendasi tindak lanjut. Bayangkan pula sebuah algoritme yang membantu tim farmakovigilans mendeteksi pola efek samping obat atau vaksin sebelum jumlah kasus bertambah banyak. Semua ini bukan lagi mimpi, tetapi sesuatu yang bisa diwujudkan jika tenaga kesehatan bersedia membuka diri dan berkolaborasi dengan teknologi.

Inilah saatnya kita mengajak praktisi kesehatan dari berbagai bidang---dokter, perawat, epidemiolog, manajer rumah sakit---untuk melihat AI bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai sekutu. AI bukan robot yang mengambil alih pekerjaan, melainkan instrumen cerdas yang memperkuat kemampuan kita dalam menjaga kesehatan masyarakat. Ketika tenaga kesehatan, ilmuwan data, dan pembuat kebijakan duduk bersama, kita bisa membangun sistem surveillance yang lebih tangguh, lebih adil, dan lebih efektif. Sistem seperti ini bukan hanya menyelamatkan nyawa hari ini, tetapi juga membangun ketahanan kesehatan untuk masa depan.

Surveillance medis berbasis AI membawa kita melangkah dari paradigma reaktif menuju paradigma proaktif. Kita tidak lagi hanya menunggu kasus datang lalu merespons, melainkan mampu memprediksi, memberi peringatan, dan bertindak sebelum masalah membesar. Dengan langkah ini, kesehatan masyarakat bisa benar-benar menjadi sesuatu yang terjaga, bukan hanya sesuatu yang diobati.

Maka, undangan ini saya tujukan kepada para praktisi kesehatan. Mari kita gunakan AI bukan sekadar untuk membaca gambar atau memproses angka, melainkan untuk membangun mata dan telinga baru bagi sistem kesehatan kita. Mari kita jadikan AI bagian dari kultur kerja surveillance medis, sebuah kultur yang berbasis data, cepat tanggap, dan selalu mengutamakan keselamatan pasien. Dengan adopsi AI, kita tidak hanya memperbaiki sistem yang ada, tetapi juga membuka jalan menuju era baru kesehatan publik: era di mana teknologi dan kemanusiaan bergandengan tangan untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun