Menikah adalah sebuah perjalanan, bukan sekadar sebuah acara. Ia adalah perjumpaan dua dunia, dua keluarga dengan sejarah, pola asuh, bahkan budayanya masing-masing. Di tengah perjalanan sakral itu, kehadiran sosok calon mertua kerap menjadi rintangan pertama yang harus dilewati. Ada yang disambut hangat seolah sudah menjadi bagian dari keluarga sejak lama, namun tidak sedikit pula yang diperlakukan dingin, dicurigai, atau bahkan diragukan niat tulusnya. Situasi seperti ini bisa membuat langkah goyah, menimbulkan pertanyaan besar di hati: apakah sikap calon mertua harus menjadi penghalang bagi cinta yang sudah terjalin?
Jawaban dari pertanyaan itu sesungguhnya sederhana: tidak. Sikap mereka memang penting untuk dipahami, tetapi bukan berarti harus menjadi "lampu merah" yang mematikan langkah menuju pelaminan. Justru di sanalah letak ujian kedewasaan yang sesungguhnya. Seberapa kuat cinta, komitmen, dan kesiapan kita menghadapi dinamika rumah tangga yang akan datang. Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa sikap calon mertua bisa begitu sulit untuk dihadapi dan, yang paling penting, bagaimana kita bisa tetap melangkah dengan yakin bersama pasangan, meski sikap orang tua mereka belum sepenuhnya mendukung.
Memahami Keraguan yang Terselubung
Pertama-tama, kita harus menyadari satu hal krusial: keraguan calon mertua bukan semata-mata tentang diri kita sebagai pribadi, melainkan lebih banyak tentang rasa sayang dan naluri protektif terhadap anak mereka. Sebuah sikap dingin atau pandangan skeptis sering kali merupakan cerminan dari kecemasan yang mendalam, bukan penolakan secara langsung.
Beberapa alasan umum yang melatarbelakangi sikap ini sering kali berasal dari pengalaman atau kekhawatiran pribadi mereka. Mungkin ada kekhawatiran terkait faktor ekonomi. Seorang ayah yang pernah berjuang keras untuk menghidupi keluarga bisa saja melihat calon menantu yang belum mapan sebagai risiko besar. Dalam benak mereka, muncul pertanyaan, "Apa anak saya bisa hidup layak nanti?" Kekhawatiran ini bukan bermaksud merendahkan, melainkan sebuah refleksi dari pengalaman hidup mereka yang pahit.
Selain itu, latar belakang keluarga juga sering menjadi pertimbangan. Meskipun terdengar klise dan kuno, perbedaan asal-usul, budaya, atau status sosial masih sering menjadi faktor yang membuat calon mertua memasang "batas pengaman." Mereka khawatir perbedaan ini akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Mereka tidak bermaksud menilai rendah, hanya merasa lebih nyaman dengan apa yang sudah mereka pahami.
Kecocokan karakter juga bisa menjadi sumber keraguan. Jika calon menantu terkesan terlalu santai, terlalu kaku, atau belum menunjukkan kematangan, orang tua bisa merasa ragu. Mereka melihat calon menantu sebagai cerminan potensi masa depan anak mereka. Terkadang, sikap dingin ini adalah cara mereka untuk menguji seberapa besar keseriusan dan ketangguhan calon menantu.
Dan yang paling emosional adalah ketakutan akan kehilangan. Orang tua sudah terbiasa dengan kehadiran anak mereka dan khawatir jika anak mereka "direbut" oleh orang lain setelah menikah. Mereka takut kehilangan waktu, perhatian, dan kedekatan yang sudah terjalin selama puluhan tahun. Sikap dingin yang mereka tunjukkan adalah bentuk pertahanan diri dari rasa kehilangan yang belum bisa mereka hadapi.
Dua Sisi Mata Uang: Keraguan dan Penolakan
Sikap dingin atau keraguan bukanlah penolakan mutlak. Keraguan hanyalah tanda bahwa mereka butuh waktu untuk yakin dan melihat bukti. Justru di sinilah kesempatan Anda untuk menunjukkan kualitas sejati. Banyak sekali kisah di mana calon menantu yang awalnya dianggap tidak pantas akhirnya luluh setelah melihat konsistensi, keseriusan, dan ketulusan hati. Kuncinya ada pada sikap kita dalam merespons. Jika kita menunjukkan kematangan, kesabaran, dan tanggung jawab, penilaian mereka lambat laun akan berubah. Ingat, penilaian orang tua tidak selalu final; mereka juga manusia yang bisa salah menilai dan bisa berubah seiring waktu.
Hal terpenting dalam menghadapi situasi ini adalah menjaga kekompakan dengan pasangan. Mertua bisa mendukung atau menentang, tapi yang akan membangun dan menjalani rumah tangga adalah Anda berdua, bukan mereka. Sebelum terlalu pusing memikirkan sikap calon mertua, pastikan terlebih dahulu bahwa Anda dan pasangan benar-benar siap secara lahir dan batin. Apakah Anda memiliki visi yang sama tentang masa depan? Apakah Anda siap bekerja sama menghadapi segala tantangan, termasuk tekanan dari keluarga besar? Jika jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini adalah "iya," maka sikap calon mertua tidak akan menggoyahkan langkah.
Strategi Menghadapi Keraguan dengan Mulus
Jadi, apa yang bisa kita lakukan jika calon mertua masih ragu?
Pertama, tunjukkan konsistensi. Jangan hanya manis di depan, tapi buktikan bahwa Anda bertanggung jawab, menghargai pasangan, dan serius membangun masa depan. Waktu dan tindakan adalah alat bukti terbaik. Kedua, bangun komunikasi yang sopan. Meskipun mereka bersikap dingin, jangan balas dengan sikap yang sama. Tetap tunjukkan rasa hormat, sapa, dan peduli. Ketulusan sederhana seringkali bisa meluluhkan hati yang paling keras.
Ketiga, libatkan pasangan sebagai jembatan. Biarkan pasangan yang menjelaskan kepada orang tuanya tentang keseriusan Anda. Kata-kata dari anak sendiri seringkali lebih mudah diterima daripada dari orang lain. Keempat, bersabarlah dengan proses. Jangan berharap semua berubah instan. Ada yang butuh waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Anggap saja ini sebagai latihan kesabaran yang berharga sebelum menghadapi masalah rumah tangga lainnya. Kelima, tetap beri ruang. Jangan memaksa mertua untuk langsung menerima. Beri mereka ruang untuk mengenal, mencerna, dan menilai ulang.
Selain strategi, yang tak kalah penting adalah mentalitas kita sendiri. Kalau mental sudah goyah, sekecil apa pun sikap calon mertua bisa membuat patah semangat. Jaga mentalitas dengan percaya diri. Ingat bahwa Anda punya nilai, kualitas, dan niat baik. Jangan biarkan penilaian sementara orang lain membuat Anda meragukan diri sendiri. Kemudian, jangan baper berlebihan. Kalau mereka dingin, itu tidak selalu berarti Anda ditolak. Kadang itu hanya "batas pengaman" yang mereka pasang.
Fokuslah pada hal positif. Daripada sibuk memikirkan bagaimana mereka melihat Anda, lebih baik fokus memperbaiki kualitas diri: kerja lebih giat, belajar lebih banyak, dan jadi pribadi yang lebih baik. Dan yang paling penting, tetaplah kompak dengan pasangan. Jangan biarkan sikap mertua memecah belah hubungan. Justru jadikan itu alasan untuk lebih solid, saling mendukung, dan menguatkan satu sama lain.
Ketika Restu Sulit Didapat
Bagaimana jika semua usaha sudah dilakukan, tapi calon mertua tetap tidak memberi restu? Ini adalah pertanyaan berat. Jawabannya tergantung pada keyakinan Anda dan pasangan. Dalam banyak budaya, restu orang tua dianggap mutlak. Namun, ada juga yang percaya bahwa keputusan hidup adalah hak penuh anak. Yang jelas, jika sampai pada titik ini, diskusikan baik-baik dengan pasangan. Apakah kalian siap menanggung konsekuensi jika menikah tanpa restu? Apakah kalian sanggup menjaga hubungan tetap sehat meski ada penolakan keluarga? Apapun pilihannya, pastikan itu keputusan bersama, bukan keputusan sepihak.
Pada akhirnya, ingatlah: pernikahan adalah perjalanan dua orang yang saling mencintai dan berkomitmen, bukan dua keluarga yang harus seratus persen akur sejak awal. Sikap calon mertua memang penting, tapi jangan sampai menjadi alasan untuk berhenti melangkah. Karena sering kali, seiring waktu, cinta, kesabaran, dan bukti nyata dapat mengubah keraguan menjadi penerimaan. Dan kalau pun tidak, Anda tetap memiliki kekuatan untuk membangun rumah tangga yang bahagia, selama Anda dan pasangan tetap kompak, saling menghargai, dan saling mendukung. Menikah bukan tentang mencari jalan yang tanpa rintangan, melainkan tentang berjalan bersama melewati semua rintangan. Jika hati sudah mantap, komitmen kuat, dan cinta tulus, maka apapun sikap mereka, jawabannya tetap sama: jalan terus saja!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI