"Aneh ya," gumamku pelan sambil menatap secangkir teh yang belum sempat kuseduh. "Kenapa pagi ini rasanya beda?"
Aku duduk sendiri di teras, seperti biasa.
Langit bersih. Pohon lemon di depan rumah masih basah oleh embun.
Seekor burung pipit hinggap sebentar di dahan paling bawah, menggoyangkan daun, lalu terbang lagi.
"Masih jam enam," kataku, menoleh ke jam dinding yang tergantung di ruang dalam.
Biasanya jam segini aku sudah mulai sibuk, entah memikirkan pekerjaan, atau membuat daftar hal-hal yang harus kuselesaikan hari ini.
Tapi pagi itu... hening.
Bukan jenis hening yang menenangkan. Tapi hening yang membuat dada terasa kosong.
Seperti masuk ke ruangan yang dulu hangat dan penuh, tapi sekarang sudah ditinggalkan lama.
Tak ada kabar buruk, tak ada masalah. Tapi juga tak ada semangat.
Hanya satu pertanyaan kecil yang tiba-tiba muncul dari dalam kepala.
"Apa semua ini ada artinya?"
Aku mengernyit. "Apa sih maksudmu?" tanyaku pada diriku sendiri.
Tapi tak ada jawaban. Hanya rasa tak nyaman yang menetap, seperti kerikil kecil di dalam sepatu.
Kecil, tapi cukup untuk mengganggu setiap langkah.
Kucoba mengalihkan pikiran.
Kubuka ponsel, men-scroll timeline, membaca berita yang rasanya sama saja setiap hari.
Kudengar bunyi notifikasi, tapi tak satu pun yang membuatku benar-benar tertarik.
"Semua ini... kosong ya?" bisikku pelan.
Tanganku refleks mematikan layar ponsel dan menaruhnya kembali.
Aku terdiam cukup lama. Lalu tertawa kecil, getir.
"Dulu aku pikir hidup ini seperti jalur kereta. Jelas, lurus, tinggal naik dan duduk. Lahir, sekolah, kerja, menikah, tua, mati. Selesai."
Aku mengangkat bahu. "Tapi sekarang kok rasanya kayak tersesat? Padahal keretanya tetap jalan."
Aku berdiri, berjalan pelan ke pinggir pagar.
Burung pipit yang tadi datang, kini kembali. Ia mematuk-matuk sesuatu di ranting kecil, lalu menatapku.
Aku menatap balik.
"Kau juga bingung, ya?" tanyaku sambil tersenyum lemah.
Tentu burung itu tak menjawab. Tapi entah kenapa, kehadirannya membuatku merasa tidak sepenuhnya sendiri.
"Aku ini siapa, sih, sebenarnya?"
Pertanyaan itu keluar begitu saja. Bukan dari logika, tapi dari rasa lelah yang lama kupendam.
"Selama ini aku kerja keras, kejar target, cari pengakuan... Tapi buat siapa, buat apa?"
Aku menatap telapak tanganku sendiri.
"Sepuluh jari ini udah banyak nulis, ngerjain proyek, bantu orang. Tapi kok ya... tetap ada yang kosong?"
Pikiran itu membuatku teringat pada cerita tentang Sisyphus---yang mendorong batu besar ke atas bukit, hanya untuk melihatnya menggelinding turun lagi.
Setiap hari. Tanpa akhir.
"Apa hidupku kayak gitu juga ya? Bangun, kerja, tidur, ulang lagi. Tapi nggak ngerti sebenarnya lagi ngapain."
Aku menarik napas panjang.
"Kalau memang begitu, apa salahnya?" tanyaku, kali ini dengan suara lebih tenang.
"Mungkin makna itu nggak datang dari hasil. Tapi dari keberanian buat terus dorong batunya."
Burung pipit itu terbang lagi. Aku melihatnya sampai menghilang di antara dedaunan.
Lalu aku berbalik, masuk ke rumah.
Kubuka lemari, ambil teh celup.
Kuklik tombol pemanas air, lalu duduk lagi menunggu air mendidih.
Tak ada yang luar biasa dari momen itu,
tapi untuk pertama kalinya pagi itu aku merasa... sadar.
Aku menyeduh teh. Perlahan.
Lalu menatap uapnya naik, melingkar-lingkar seperti pikiranku sendiri.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama,
aku tidak lagi merasa seperti mesin yang hidup otomatis.
Hari ini mungkin akan sama seperti kemarin.
Tapi aku berbeda.
Aku mulai memilih.
Bukan pilihan besar. Tapi satu pilihan kecil yang sangat penting:
untuk tidak lagi diam pada pertanyaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI