Dalam dunia seni dan kreativitas, hak atas royalti menjadi isu yang sering memanas. Musisi, penulis, dan para pencipta karya kerap berjuang agar karya mereka dihargai secara layak dan mendapatkan bagian dari hasil yang mereka ciptakan. Mereka berargumen bahwa karya tersebut adalah buah dari kerja keras, ketekunan, dan kreativitas tinggi yang layak dihormati, bukan hanya secara moral tetapi juga secara finansial. Dalam banyak kasus, tuntutan ini berhasil membentuk sistem perlindungan hak cipta dan mekanisme royalti.
Namun, mari kita berefleksi dengan analogi ekstrem---bukan untuk menyederhanakan, melainkan untuk memancing pertanyaan yang lebih mendalam: jika musisi bisa menuntut royalti dari setiap orang yang menikmati karyanya, apakah petani juga berhak menuntut semua orang atas energi dari makanan yang mereka tanam?
Bayangkan seorang musisi yang keras kepala menuntut royalti dari setiap pendengar musiknya. Ia berpendapat bahwa lagu-lagunya membawa manfaat emosional, hiburan, bahkan menjadi soundtrack hidup banyak orang. Maka, setiap kali lagunya diputar---di radio, di kafe, di platform digital---ia merasa berhak mendapatkan bagian. Sebagai perbandingan, bagaimana jika seorang petani juga menuntut "royalti energi" dari setiap orang yang mengonsumsi nasi, sayur, atau buah yang berasal dari ladangnya? Bukankah makanan itu memberi energi vital, menyambung hidup, bahkan menjadi bagian dari tubuh manusia?
Pertanyaan ini terdengar satir, bahkan absurd. Tapi di balik absurditasnya, ia mengandung lapisan pemikiran filosofis dan sosial yang menarik untuk digali: apa sebenarnya dasar moral dan sosial dari royalti itu sendiri? Apakah semua bentuk karya dan usaha layak mendapat perlakuan serupa?
Apakah Argumentasi Itu Valid?
Pada dasarnya, baik musisi maupun petani sama-sama menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Sama-sama melibatkan kerja keras, keterampilan, bahkan ketekunan yang kadang tidak terlihat. Jika dilihat dari sudut pandang kontribusi, keduanya layak dihargai. Namun, di sinilah letak perbedaannya---dan alasan mengapa tuntutan royalti di dunia pertanian menjadi problematik dan tidak praktis.
Karya musik, tulisan, lukisan, dan bentuk karya cipta lainnya adalah ekspresi kreatif yang bersifat personal dan unik. Mereka tidak bisa muncul secara alami tanpa kehadiran si pencipta. Musik bukan hasil proses alam, melainkan buah dari imajinasi manusia yang tak bisa digantikan. Karena sifatnya itu, karya seni bisa dijadikan komoditas intelektual yang dilindungi hukum. Selain itu, karya seni bersifat non-rivalrous---seseorang bisa menikmati lagu yang sama berulang kali tanpa mengurangi nilai atau kehadirannya untuk orang lain.
Sedangkan makanan adalah hasil kolaborasi antara alam dan manusia, yang dihasilkan melalui siklus yang bisa direplikasi. Meski petani bekerja keras, makanan tidak bisa diperlakukan seperti karya eksklusif. Selain itu, makanan bersifat rivalrous---sekali dimakan, ia habis. Tak bisa dibagikan berulang tanpa batas. Dalam kerangka sosial, makanan adalah kebutuhan dasar manusia. Memberikan royalti pada petani setiap kali makanan dikonsumsi akan memperumit sistem distribusi, dan bisa berdampak pada hak dasar manusia atas pangan.
Prinsip Ekonomi dan Realitas Sosial
Jika setiap konsumsi makanan dikenai royalti kepada petani, maka biaya hidup akan meningkat secara drastis. Harga bahan pangan akan melambung, menciptakan beban ekonomi yang tak tertanggungkan bagi masyarakat miskin. Model ini akan merusak prinsip keadilan sosial, di mana kebutuhan dasar seharusnya dapat diakses oleh semua orang, bukan hanya yang mampu membayar lebih.