Satu anak kecil tertawa, diikuti oleh ibu-ibu. Tak lama, pasar meledak dengan tawa.
Namun tidak semua tertawa. Seorang ulama tua bangkit dan menunjuk Abunawas.
"Ini penistaan! Engkau mempermainkan kitab suci!"
Abunawas tetap tenang. Ia berdiri dan menatap semua hadirin.
"Tidak, wahai guru-guru mulia. Aku tidak mempermainkan ayat, aku mempermainkan kalian yang mudah terbuai topeng keagamaan."
Orang-orang mulai diam, mendengarkan.
"Banyak orang hari ini memakai jubah suci, bicara lantang, tapi suara hatinya hanya mengeong. Kalian ingin percaya bahwa kucing bisa mengaji, tapi tak mampu melihat kebenaran di balik kemunafikan."
Sang ulama tua menunduk.
Abunawas menepuk kepala si kucing dan berkata,
"Kebenaran itu seperti suara hati: ia jernih, tenang, dan tak butuh sandiwara."
Kucing itu mengeong sekali lagi. Tapi kali ini, semua orang tahu: itu bukan suara ayat suci, tapi suara yang menyadarkan.
Hari itu, banyak yang pulang sambil tertawa, tapi juga berpikir.
Tentang kucing. Tentang suara palsu. Tentang mereka yang tampak suci tapi hatinya tak lebih dari sekadar sandiwara mengeong.