Siang itu, pasar kota Baghdad lebih riuh dari biasanya. Bukan karena diskon karpet Persia, tapi karena berita aneh yang menyebar seperti angin:
"Abunawas membawa kucing yang bisa mengaji!"
Warga langsung heboh. Para pedagang menutup lapaknya lebih cepat. Para ibu menyeret anaknya keluar rumah. Bahkan para ulama dari madrasah utama ikut turun ke alun-alun dengan jubah kebesaran.
Di tengah kerumunan, berdirilah Abunawas. Ia membawa seekor kucing belang putih-abu yang tenang duduk di pangkuannya, seolah sadar bahwa hari itu ia jadi selebritas.
"Wahai warga Baghdad," seru Abunawas, "hari ini kalian akan menyaksikan mukjizat. Seekor kucing yang mampu membaca ayat suci Al-Qur'an dengan fasih!"
Terdengar gumaman tak percaya. Beberapa ulama saling menatap skeptis.
"Ini pasti tipu-tipu," bisik seorang.
"Kalau benar, ini bisa jadi alat dakwah," kata yang lain, matanya berbinar penuh harap (dan mungkin ambisi).
Abunawas mengangkat tangannya. "Tolong hening. Kita mulai."
Ia menunduk ke arah kucing dan berkata lembut, "Silakan, Wahai Kucing, bacakan ayat suci."
Kucing itu menatap Abunawas. Lalu... "Meeooong~"
Seketika seluruh alun-alun hening.
Kucing itu mengeong, kemudian menjilati kakinya sendiri, lalu tidur di pangkuan Abunawas.
Para ulama terdiam.
Satu anak kecil tertawa, diikuti oleh ibu-ibu. Tak lama, pasar meledak dengan tawa.
Namun tidak semua tertawa. Seorang ulama tua bangkit dan menunjuk Abunawas.
"Ini penistaan! Engkau mempermainkan kitab suci!"
Abunawas tetap tenang. Ia berdiri dan menatap semua hadirin.
"Tidak, wahai guru-guru mulia. Aku tidak mempermainkan ayat, aku mempermainkan kalian yang mudah terbuai topeng keagamaan."
Orang-orang mulai diam, mendengarkan.
"Banyak orang hari ini memakai jubah suci, bicara lantang, tapi suara hatinya hanya mengeong. Kalian ingin percaya bahwa kucing bisa mengaji, tapi tak mampu melihat kebenaran di balik kemunafikan."
Sang ulama tua menunduk.
Abunawas menepuk kepala si kucing dan berkata,
"Kebenaran itu seperti suara hati: ia jernih, tenang, dan tak butuh sandiwara."
Kucing itu mengeong sekali lagi. Tapi kali ini, semua orang tahu: itu bukan suara ayat suci, tapi suara yang menyadarkan.
Hari itu, banyak yang pulang sambil tertawa, tapi juga berpikir.
Tentang kucing. Tentang suara palsu. Tentang mereka yang tampak suci tapi hatinya tak lebih dari sekadar sandiwara mengeong.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI