Di tengah kehidupan yang serba cepat, riuh, dan bising ini, kadang manusia hanya ingin satu hal: kuat. Bukan kuat fisik, tapi kuat batin. Dan dalam budaya Jawa, kekuatan seperti itu kerap dimohonkan lewat satu doa singkat tapi dalam:
"Wolo-wolo kuwato."
Ungkapan ini sering terdengar lirih, dibisikkan dalam doa, atau dilontarkan sesama orang tua saat menghadapi musibah, cobaan, atau situasi yang tak menentu. Dunia boleh gaduh, tapi semoga hati tetap teguh.
Makna dalam Doa
"Wolo-wolo" menggambarkan suasana yang gaduh, riuh, penuh tekanan. Bisa berarti keramaian dunia, konflik batin, cobaan hidup, atau situasi sosial yang penuh gejolak.
Sementara "kuwato" adalah bentuk harapan—agar tetap kuat, tetap tegak, tetap selamat dari terpaan.
Ini bukan doa untuk menghindari masalah, melainkan doa untuk dikuatkan dalam menghadapinya.
“Duh Gusti, lelakon urip urip kok koyo ngene, e yo wolo-wolo kuwato.” adalah doa spontan khas wong Jawa yang keluar dari kedalaman hati saat hidup terasa berat, ruwet, dan serba njlimet. Nada pasrah, tapi juga ada kekuatan batin yang luar biasa di baliknya.
Kalimat itu bukan sekadar keluhan, tapi bentuk tunduk yang elegan. Bukan menyerah, tapi mengakui bahwa hidup ini bukan hal kecil. Dan bahwa satu-satunya cara untuk tetap tegak adalah memohon kuwat—kuat lahir dan batin.
Keteguhan Batin sebagai Budaya Jawa
Dalam falsafah kejawen, kekuatan sejati tidak diukur dari otot, jabatan, atau suara lantang. Yang lebih utama adalah keteguhan batin, atau yang dikenal dengan istilah kuwat atine. Kekuatan ini muncul dari keheningan, dari tirakat, dari tapa ngrasa, dan dari kemampuan menahan diri ketika dunia memprovokasi.
Wolo-wolo kuwato adalah bentuk tawakal khas Jawa: tidak pasrah, tapi berserah. Tidak menyerah, tapi menerima dengan daya juang.