Saat Dunia Tak Lagi Sunyi
Hari ini, banyak orang merasa lelah bukan karena pekerjaan, tapi karena kebisingan mental. Terlalu banyak berita buruk, terlalu banyak suara yang saling menjelekkan, terlalu banyak tuntutan dan ketergesaan. Dunia seperti tidak memberi ruang untuk diam sejenak.
Itulah mengapa doa "wolo-wolo kuwato" terasa begitu relevan.
Ia menjadi mantra bagi siapa pun yang ingin tetap waras, tetap lembut, dan tetap hidup dengan nilai di tengah dunia yang gaduh.
Doa Orang Biasa
Ungkapan ini bukan milik spiritualis saja. Di desa-desa, orang tua biasa pun sering mengucapkannya saat menghadapi musim paceklik, harga kebutuhan naik, anak sakit, atau bahkan saat keluarga diterpa konflik.
Kadang cukup dengan kalimat:
“Sing sabar yo, mbak. Wolo-wolo kuwato.”
Tak ada orasi. Tak ada retorika. Tapi di balik itu semua, ada kekuatan budaya yang telah teruji waktu—bahwa manusia Jawa selalu memilih tenang saat diterpa, bukan panik.
Menghidupkan Kembali Ruh Kejawen
Ungkapan seperti "wolo-wolo kuwato" adalah bagian dari kearifan lokal yang kini mulai jarang terdengar. Padahal, inilah modal budaya yang bisa menjadi fondasi psikologis bangsa. Kita butuh lebih banyak kekuatan batin di tengah ledakan informasi dan tekanan zaman.
Sudah saatnya ungkapan-ungkapan seperti ini diangkat kembali ke ruang publik—dijadikan puisi, lagu, esai, bahkan konten media sosial—agar generasi muda tidak kehilangan akar dan jati dirinya.