Belakangan ini, makin sering kita dengar ungkapan seperti, "IQ nggak penting, yang penting attitude." Atau, "Pintar akademis percuma, kalau nggak bisa sosialisasi." Seolah-olah, kecerdasan akademik itu hanya milik kutu buku yang tak berguna di dunia nyata. Padahal, narasi seperti ini berbahaya dan salah kaprah.
Coba kita jujur sebentar:
Listrik yang kita pakai? Ditemukan dan dikembangkan oleh orang ber-IQ tinggi.
Internet? Kerja kolosal para ilmuwan dan insinyur jenius.
Smartphone di tanganmu? Produk dari riset, algoritma, dan logika tingkat tinggi.
Obat dan vaksin yang menyelamatkan hidup? Hasil dari bertahun-tahun pendidikan dan pengujian oleh para dokter dan ilmuwan yang cerdasnya bukan main.
Semua kenyamanan hidup modern --- dari pesawat terbang, jembatan, satelit, hingga AI Â --- adalah buah karya manusia yang memiliki IQ tinggi. Mereka mungkin tidak viral, tidak populer di TikTok, tapi merekalah pilar peradaban kita.
Apakah kecerdasan sosial dan emosional penting? Tentu saja! Tapi bukan berarti IQ jadi tidak relevan. Justru di era kompleks saat ini, kita butuh sinergi antara IQ, EQ, dan SQ (spiritual quotient). Tapi tidak adil dan keliru kalau IQ dijatuhkan begitu saja hanya karena sebagian orang tidak nyaman dengan standar berpikir kritis dan logis.
Bayangkan kalau semua orang bangga menjadi "biasa saja" dan menolak berpikir sulit. Siapa yang akan mengembangkan teknologi pangan? Siapa yang akan menyelesaikan krisis iklim? Siapa yang akan menciptakan solusi untuk kemacetan kota, atau merancang sistem edukasi masa depan?
Maka, mari kita hargai semua bentuk kecerdasan, tanpa mencela pentingnya IQ. Dunia butuh lebih banyak orang pintar --- bukan untuk jadi sombong, tapi untuk membawa terang di zaman yang makin gelap oleh hoaks dan kesembronoan berpikir.
Bukan Cuma Sabar: Edison Menyalakan Dunia Karena Cerdas
Kisah Thomas Edison sering disederhanakan secara lebay di media sosial. Katanya, "Edison gagal ribuan kali bikin lampu, tapi karena dia sabar, akhirnya berhasil."
Lalu diakhiri dengan kalimat motivasi murahan: "Lihat, sabar itu kuncinya, bukan pintar."
Sebentar... mari kita pikir logis.
Edison memang sabar. Tapi kesabarannya berdiri di atas fondasi IQ tinggi, logika tajam, dan pemahaman ilmiah. Dia bukan orang yang asal coba-coba tanpa teori. Dia tahu bahan apa yang diuji, kenapa bahan itu dipilih, dan apa yang harus diamati setiap kali gagal. Bayangkan kalau Edison hanya sabar, tapi tak mengerti listrik, konduktivitas, dan material...
Dia akan sabar selamanya dalam gelap!