Di suatu sore yang mendung, sekelompok teman berkumpul di sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Di antara mereka, ada Adi, seorang penulis muda yang baru saja menerbitkan novel pertamanya. Dia merasa bangga, tetapi juga cemas karena dunia media sosial penuh dengan penilaian yang tajam.
"Hey, Adi! Bagaimana perasaanmu tentang semua ulasan yang muncul itu?" tanya Mira, sahabatnya, dengan wajah ceria.
Adi menghela napas, mengatupkan tangan di meja. "Sebagian besar positif, tetapi ada juga kritik keras. Mereka menyebutku 'penulis yang tidak peka' karena karakter utamaku. Aku merasa seperti mereka tidak memberi kesempatan untuk memahami niatku."
"Kan, apa yang kau tulis bisa jadi kontroversial," ujar Ryan, teman satu kelompok yang lebih skeptis. "Kalau mereka bilang itu salah, mungkin ada benarnya. Masyarakat kan sudah berubah."
"Tetapi, Ryan," Mira rejoinder, "apakah kita tidak memberi ruang untuk diskusi? Bukankah dialog lebih penting daripada langsung membatalkan?"
Terminator terlihat saat Adi mengangguk. "Aku hanya berharap bisa menjelaskan niatku. Mungkin aku melakukan kesalahan, tapi aku ingin belajar dari itu, bukan diserang secara langsung."
Ryan menggelengkan kepala. "Tapi, itu risiko yang harus kau hadapi. Di zaman sekarang, satu kesalahan bisa menghancurkan segalanya."
Ketika percakapan berlangsung, sekelompok pengunjung lainnya mulai mendengarkan. Salah satunya, Alia, seorang aktivis media sosial, berani memasuki diskusi. "Maaf, aku tidak bisa tidak ikut campur. Kadang, kita perlu mengambil tindakan tegas melawan ketidakadilan. Budaya pembatalan ada untuk menuntut pertanggungjawaban."
"Namun, harus ada ruang untuk perubahan," balas Adi, suaranya tegas namun gentar. "Bagaimana jika kita mendorong orang untuk belajar, bukan hanya menghukum mereka? Ketika kita membatalkan tanpa dialog, kita kehilangan kesempatan untuk berkembang."
Alia terlihat ragu sejenak. "Tapi bagaimana kalau orang itu tidak mau berubah? Misalnya, kau bisa saja memberikan kesempatan kedua, tetapi banyak yang tidak memanfaatkan itu. Apakah kita harus menunggu sampai mereka berbuat lebih jauh?"
Mira menyela, "Satu kesalahan bukan berarti seseorang tidak layak mendapat kesempatan kedua. Bagaimana bisa kita berdebat tentang kemanusiaan jika kita sendiri tidak menunjukkan belas kasihan?"