Mohon tunggu...
Priyanto Nugroho
Priyanto Nugroho Mohon Tunggu... lainnya -

"art is long, life is short, opportunity fleeting, experiment dangerous, judgment difficult"

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kanker inflasi: musuh bangsa yang sesungguhnya

4 September 2010   16:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:27 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

'The first panacea of a mismanaged nation is inflation; the second is war. Both bring a temporary prosperity; a permanent ruin (Ernest Hemingway)'  [caption id="attachment_249445" align="aligncenter" width="286" caption="Ilustrasi bahaya inflasi:www.CartoonStock.com"][/caption]

Lebaran selalu disertai dengan kenaikan harga barang, juga melonjaknya biaya transportasi. Meski sudah merupakan tradisi bertahun-tahun, fenomena ini belum juga mampu diatasi. Seperti sudah menjadi kesatuan tradisi yang harus dimaklumi.

Padahal, kenaikan harga barang dan jasa jelas menggerogoti jerih payah masyarakat yang dengan susah payah sudah dikumpulkan. Akibatnya, banyak yang dari tahun ke tahun kesejahteraannya tak meningkat, karena penghasilannya tak mampu mengejar kenaikan harga. Yang miskin akan semakin miskin dan terus miskin bila setiap tahun harga terus meningkat.

Mudik dan merayakan lebaran akan terasa semakin mahal dari tahun ke tahun, bila kenaikan harga tak bisa bisa segera dikendalikan. Tak heran bla banyak yang sehabis mudik lebaran justru menjadi semakin miskin. Bagaimana dengan tahun ini? Setiap awal bulan, Biro Pusat Statistik (BPS) mengumumkan berapa tingkat kenaikan harga barang dan jasa yang terjadi, yang dikenal dengan sebutan inflasi. Tanggal 1 September 2010 lalu, BPS mengumumkan inflasi di Indonesia sebesar 6,44% setahun. Angka ini baru mencerminkan kenaikan harga barang dan jasa yang disurvei BPS, konon jumlahnya lebih dari 1000 jenis barang dan jasa, dan mencakup 66 kota di Indonesia. Artinya, bisa jadi kenaikan harga barang tertentu yang benar-benar dirasakan masyarakat jauh di atas itu. Ibu-ibu rumah tangga yang tentu lebih merasakan dan tahu persis hal ini.

Inflasi yang kembali di atas angka 6% tersebut juga menunjukkan bahwa Indonesia belum bisa keluar dari inflasi tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Bahkan negara yang merdeka sesudah Indonesia. Meskipun demikian, inflasi di Indonesia sudah menunjukkan kecenderungan yang menurun dibandingkan inflasi pada dasawarsa sebelumnya yang selalu dalam kisaran sepuluhan persen.  

Singkatnya, Indonesia harus mengakui memang masih kalah bersaing, masih kalah kelas dengan negara-negara tetangga. Termasuk dengan Malaysia yang sekarang sedang kembali banyak menjadi sasaran kemarahan sebagian komponen bangsa karena ulahnya yang merendahkan martabat bangsa Indonesia dengan menangkap dan memperlakukan seenaknya petugas patroli Dinas Perikanan dan Kelautan yang sedang bertugas di wilayah Indonesia sendiri, namun sial karena konon peralatan GPS-nya mati.

Sekedar membandingkan, inflasi tahunan negara tetangga seperti Thailand dan Philipina berkisar antara 3%-an, sementara Malaysia kurang dari 2%. Dengan inflasi yang lebih rendah, suku bunga di negara-negara tetangga termasuk suku bunga kredit juga pastinya bisa lebih rendah. Ini artinya, negara-negara tetangga bisa lebih efisien roda perekonomiannya. Dengan kata lain, rakyat tidak terbebani dengan biaya yang berlebihan untuk keuntungan segelintir kelompok masyarakat tertentu. Ini bisa terjadi karena beban menjalankan roda pemerintahan dan biaya masyarakat dalam bekerja di negara-negara tadi lebih mangkus (efisien).

Percuma sebenarnya menuntut pertumbuhan ekonomi yang tinggi bila inflasi yang terjadi justru lebih tinggi lagi, apalagi bila pembangunan ekonominya tidak merata. Bila ini terjadi, jumlah rakyat yang miskin akan semakin bertambah banyak. Data BPS menunjukkan jumlah rakyat miskin di Indonesia masih sekitar 30 juta penduduk. Bila setiap tahun kenaikan harga yang terjadi makin tinggi, bisa jadi jumlah penduduk miskin akan semakin meningkat.

Konon, perekonomian suatu negara itu ibarat sebuah pabrik. Jadi, kapasitas produksinya terbatas. Bila dituntut untuk berproduksi melebihi batas kapasitasnya, maka mesinnya akan panas bahkan bisa rusak tak bisa lagi dijalankan. Dalam perekonomian, mesin yang memanas lazim disebut dengan ‘overheating’ yang ditandai dengan terjadinya inflasi. Singkatnya, pabrik tak bisa memproduksi barang dalam jumlah yang sesuai dengan permintaan masyarakat sehingga harga barangnya naik.

Agar harga tidak naik, maka biasanya permintaannya yang coba ditahan agar tidak berlebih. Lazimnya ini dilakukan oleh bank sentral dengan menaikkan suku bunga atau mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Dengan cara ini, selagi kapasitas mesinnya belum bertambah diharapkan jumlah permintaan barang akan menurun sesuai dengan kapasitas produksi.

Tentu sebaiknya cara yang ditempuh adalah dengan investasi untuk menambah kapasitas pabrik tadi. Bisa dengan memperluas pabrik,  meningkatkan keahlian buruhnya atau mengganti teknologi produksi dengan yang lebih maju. Mewujudkan hal ini jelas memerlukan waktu, itupun kalau investasi segera dimulai.

Maka tak heran, lazimnya sembari menunggu investasi terwujud langkah yang dilakukan adalah dengan mengerem dulu permintaan barang agar sesuai dengan kapasitas produksi pabrik yang ada. Barangkali ini pula yang mendasari Bank Indonesia (BI) tanggal 3 September 2010 lalu mengerem laju uang yang beredar dengan menaikkan giro wajib minimum (GWM) bank dari 5% menjadi 8% sehingga perbankan tidak semakin terdorong untuk menyuburkan sifat konsumtif masyarakat dengan cara berhutang. Bank sentral negara lain, seperti di Malaysia, Thailand, Korea Selatan dan India bahkan sudah menaikkan suku bunga agar mesin ekonomi negaranya tidak kepanasan sehingga inflasi akan tinggi.  

Langkah seperti ini biasanya akan ditentang banyak pihak karena seolah menambah beban masyarakat. Padahal sebenarnya justru melindungi masyarakat agar tidak semakin miskin dari waktu ke waktu. Sejatinya, bila para pemangku kebijakan tak berani melakukan langkah yang tidak popular ini maka mereka hakikatnya justru menjerumuskan masyarakat ke jurang kemiskinan yang lebih dalam.

Bisa jadi karena hal inilah bank sentral lazimnya diberikan status sebagai lembaga negara yang independen agar selalu obyektif dan berpihak pada rakyat miskin dengan mengendalikan laju inflasi. Ini saja tak cukup sebenarnya. Pimpinan bank sentral haruslah juga seorang yang pemberani karena sifat kebijakan bank sentral seringkali dipandang tak sejalan dengan penguasa maupun politisi yang wawasan kepentingannya hanya lima tahunan sehingga kebijakannya cenderung populis. Gubernur bank sentral bahkan harus lebih berani dari seorang jenderal perang karena menurut Ernest Hemingway yang tulisannya saya kutip di permulaan tulisan ini, bagi rakyat suatu negara inflasi sejatinya lebih berbahaya dan menyengsarakan akibatnya daripada perang.

Di sisi lain para pemangku kebijakan yang berwenang untuk menaikkan kapasitas produksi harus terus didorong dan diteriaki agar investasi benar-benar terwujud. Dengan demikian, ibarat kata pepatah agar kita tidak diajak berakit-rakit ke hulu saja, karena ekonomi tak akan pernah bisa tumbuh tinggi tanpa adanya tambahan investasi, tanpa pernah sampai ke tepian. Bisa-bisa semua jusru tenggelam nantinya akibat inflasi tinggi.

Sebenarnya semua sudah hafal di luar kepala apa saja penghambat penambahan kapasitas produksi perekonomian. Hal-hal itu yang membuat ekonomi biaya tinggi bisa lestari di negeri ini, yaitu korupsi, pungli, praktik makelar dan percaloan di segala bidang. Termasuk biaya pembelajaran politik yang luar biasa tinggi dan mental birokrasi yang masih saja lelet meski sudah beberapa tahun coba direformasi. Semua itu membuat roda perekonomian menjadi tidak efisien.

Bila sejenak menengok ke belakang, sejatinya masih seperti mimpi ekonomi Indonesia bisa tumbuh tinggi tanpa inflasi yang lebih tinggi lagi. Sekarang saja, ketika pertumbuhan ekonomi merayap di kisaran 6% setahun, inflasi sudah lebih dulu melonjak. Ini artinya perekonomian Indonesia cepat panas. Mirip dengan karakter bangsa ini yang sekarang juga cepat panas.

Ini berbeda dengan China misalnya, yang ekonominya bisa tumbuh di kisaran 6% dengan santai. Baru ketika perekonomian tumbuh di atas 12% setahun tanda-tanda ‘overheating’ mulai terasa.

Tanpa terwujudnya penambahan investasi yang memadai, jelas cita-cita pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang cukup di negeri ini akan sebatas mimpi. Agak menggelikan sebenarnya bila mengingat dalam Pemilu 2009 lalu, salah seorang kandidat presiden menjanjikan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa di atas 10% dalam masa pemerintahannya. Bisa jadi sang kandidat tadi sedang bermimpi atau dibantu Bandung Bondowoso yang bisa mewujudkan investasi, baik jalan, pelabuhan, bandara maupun pabrik dalam semalam.

Bagi yang mengaku membela rakyat kecil dan orang miskin, semestinya tak lupa bahkan seharusnya memperjuangkan agar penguasa selalu mengendalikan laju inflasi negeri ini. Sekedar menyerukan penurunan harga tidak cukup. Mencegah kenaikan harga-harga jauh lebih penting dan lebih mendasar.

Inflasi konon ibarat kanker yang gejala awalnya jarang diperhatikan meski sebenarnya terasakan. Biasanya baru terdeteksi ketika sudah sangat akut. Bila sudah akut, jelas sangat menyakitkan dan menelan biaya besar penyembuhannya.  

Sudah saatnya masyarakat tidak memilih penguasa maupun wakil rakyat, baik di pusat maupun daerah yang tak punya visi mengendalikan laju inflasi. Sekedar menjanjikan pembangunan ekonomi yang tinggi sejatinya ibarat memberikan candu. Ada baiknya mengingat kembali perenungan Ernest Hemingway tadi bahwa negara yang salah urus akan tergoda untuk mengorbankan inflasi, atau mengajak rakyatnya berperang untuk sebuah kemengangan dan kegembiraan sesaat, sementara kesengsaraan yang diakibatkan bagi rakyatnya hampir permanen sifatnya.

       

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun