Kronologi Singkat
Awalnya, seruan unjuk rasa digelar untuk menolak rencana DPR terkait kenaikan tunjangan, dengan alasan anggota DPR yang tidak lagi mendapatkan rumah dinas di Kalibata. Namun, jalannya demonstrasi berakhir di luar kendali. Sejumlah peristiwa memilukan terjadi, salah satunya insiden yang menimpa Affan Kuriawan, seorang pengemudi ojek online, yang diduga sengaja dilindas aparat kepolisian. Tragedi tersebut memicu gelombang amarah yang semakin meluas. Penjarahan kemudian menyasar kediaman sejumlah tokoh publik, termasuk rumah anggota DPR Ahmad Sahroni, Uya Kuya, dan Eko Patrio. Rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menjadi target massa. Aksi penjarahan ini disebut sebagai bentuk kekecewaan terhadap sikap para pejabat yang dinilai tidak serius menanggapi polemik kenaikan tunjangan DPR.
Selain penjarahan, sejumlah fasilitas publik turut menjadi sasaran pembakaran. Lima halte di Jakarta, antara lain Halte Polda Metro Jaya, Halte Senen Toyota Rangga, Halte Sentral Senen, Halte Senayan Bank DKI, hingga Halte di kawasan Senayan, hangus dilalap api. Di Surabaya, Gedung Graha yang merupakan bagian dari cagar budaya juga mengalami nasib serupa. Peristiwa terbaru terjadi pada Senin, 1 September, ketika sebuah kendaraan taktis milik Brimob menjadi sasaran bom molotov. Bentrokan kembali pecah, di mana polisi melepaskan tembakan gas air mata ke arah kampus Universitas Islam Bandung (Unisba). Meski demikian, pihak kepolisian menyatakan gas air mata tidak diarahkan langsung ke dalam kampus, melainkan ke luar area. Namun, angin kencang membuat gas tersebut terbawa hingga mengenai mahasiswa yang tengah berlindung di dalam kampus.
Isu Penjarahan dan Pembakaran di Tengah Aksi Unjuk Rasa, Masyarakat Curigai Peran Oknum
Sejumlah dugaan muncul di tengah aksi unjuk rasa yang berujung pada penjarahan dan pembakaran fasilitas publik. Masyarakat ramai-ramai menyampaikan pandangan melalui media sosial, khususnya TikTok, bahwa aksi tersebut diduga bukan dilakukan oleh massa pendemo secara murni, melainkan oknum yang memanfaatkan situasi untuk memprovokasi dan memecah belah persatuan bangsa.
Sebuah unggahan di akun TikTok @laahsih memuat seruan kewaspadaan terhadap keberadaan massa bayaran yang merusak fasilitas publik. Dalam kolom komentar, akun @yaok121 menuliskan: “Hati-hati, banyak buzzer berkeliaran juga di sosmed!!!”. Sementara akun @arjino_mandela juga memberikan komentar: “Udah jelas adu domba, masih ada aja rakyat yang cuma bisa santai di kasur sambil ngatain pendemo anarkis.” Unggahan tersebut viral dengan jumlah like mencapai 114,4 ribu dan komentar sebanyak 5.752.
Sementara itu, berdasarkan laporan Narasi News Room pada 1 September 2025, penjarah yang melakukan perusakan bukan berasal dari warga sekitar. Hal ini diperkuat dengan kesaksian warga bernama Yurdisman dan Nuryandi yang mengaku tidak mengenal para pelaku penjarahan.
Isu Provokator di Media Sosial, Tokoh Publik Turut Buka Suara
Isu provokator pada era digital semakin menguat melalui media sosial. Selebritas internet sekaligus pengusaha dan guru matematika, Jerome Polin, pada 28 Agustus 2025 mengunggah tangkapan layar berisi selebaran tawaran “aksi damai” dengan imbalan Rp150 juta ke akun Instagramnya. Ia menuliskan: “Uang rakyat dipakai buat bikin narasi untuk pencitraan seolah semua baik-baik saja. Jangan sampai lengah, jangan terpecah belah, kawal terus.”