Tidak pernah ada keraguan untuk pulang ke kampung halaman. Selagi orangtua masih ada, masih bisa dicium tangannya, ditatap kehangatan matanya, aku akan menyusun rencana pulang setidaknya setiap lebaran.Â
Setelah menikah, bertambah satu kampung halamanku. Talang Babungo. Artinya, bambu yang berbunga. Kampung kecil di Sumatera Barat.
Untuk menuju ke sana, dari bandara Minangkabau, kita perlu mengarah ke Solok atau Bukit Tinggi, melewati jalan berkelak-kelok perbukitan Sitinjau Laut, kurang lebih 3 jam baru sampai di Lubuak Salasih. Dari lubuak Salasih, kita berbelok ke kanan menuju Alahan Panjang, melewati pemandangan kebun teh serupa dengan Lembang sampai bertemu dengan Danau Kembar.
Disebut Danau Kembar karena ada dua danau, Danau di Atas dan Danau di Bawah. Danau Kembar bukan tujuan akhir. Perjalanan masih harus berlanjut sekitar 12 km menuju Talang Babungo.
Sawah yang hijau, batang-batang tebu yang kuning, langit yang biru (meski lebih sering berawan). Panorama dahsyat itulah yang menjadi motivasi tambahan untuk pulang ke Talang Babungo. Bertemu keluarga sembari liburan.
Aku yang orang Palembang, sebelum menikah dengan orang Minang, harus memiliki suku terlebih dahulu. Karena itulah, aku diangkat anak, diberi suku Chaniago.
Istriku bersuku Malayu. Talang Babungo sendiri punya enam suku. Selain kedua suku tadi, ada Kutianye, Panai, Tanjuang, dan Koto. Uniknya, selama satu suku berarti satu saudara. Tidak boleh menikah bila sukunya sama.
Penduduk desa (Jorong) Tabek kebanyakan petani tebu dan aren. Masyarakat setempat kemudian pelan-pelan berjuang memajukan 4 pilar yaitu pendidikan, usaha kecil dan menengah, lingkungan, dan kesehatan.
Perjuangan itu mendapatkan perhatian dari beberapa pihak swasta yang bekerja sama dengan universitas, dan NGO yang bersama-sama memajukan daerah itu.
Berbagai kegiatan dilakukan seperti pelatihan kesenian, biodigester, pendataan potensi wisata alam, mendukung pelaksanaan youth silek camp, penyuluhan pertanian, pelatihan kader pariwisata dan pemilihan duta wisata nagari, serta program toilet bersih di sekolah swadaya.
Belum lagi bila ditambah dengan panorama persawahan dan perbukitannya. Sangat memanjakan mata dan kamera. Miniatur rumah gadang dibangun di beberapa tempat. Gapura pun disulap menjadi tempat bersantai dengan bentuk khas Minangkabau yang terbuat dari bambu-bambu kuning.
Aku sering membayangkan dengan pengemasan dan marketing yang tepat, produk-produk itu bisa dipasarkan bahkan ke seluruh Indonesia.
Di tengah hutan, jalan setapak pula. Belum lagi ancaman hewan liarnya. Sayang sekali, aku belum berkesempatan menjelajah karena tiap kali pulang ya puasa dan lebaran.
Hampir semua waktu dihabiskan untuk bersilaturahmi. Satu air terjun yang sempat kusambangi ada di pinggir jalan menuju Alahan Panjang.
Nikmatnya kuah kaleo, lembutnya rendang yang dimasak sampai kering, pangek ikan gariang, sambal bilih atau ayom lado merah, bayangkan itu tersaji di atas bareh Solok, bareh tanamo, sebab teksturnya yang unik, berlepasan Cabai Talang Babungo juga berbeda, lebih pedas dan beraroma khas. Aku baru tahu di tanah yang berbeda, cabai yang sama, rasa pedasnya akan berbeda.
Nah, ada satu makanan khas Talang Babungo yang pernah memenangkan lomba masakan tradisional se-Kabupaten Solok. Pangek Ubi Manih namanya.
Tidak seperti pangek yang identik dengan kuah merah dan rasa asam, pangeh ubi manih manis rasanya. Ia dibuat dari ubi, yang kebanyakan berwarna kuning, lalu dimasak dengan gula aren. Disajikan utamanya saat selesai bertani.
Kalau kamu mau bulan madu ke Sumatra Barat, tambahkanlah Talang Babungo sebagai destinasi wisata Indonesia.
Talang Babungo-Alahan Panjang-Solok-Bukit Tinggi, jadikan satu paket. Beli tiket hotel dan pesawatnya di Pegipegi, Jakarta-Minangkabau.
Bersantai sejenak di hotel di sekitar kota Padang sambil menikmati pantai. Lalu berjalanlah untuk menemukan hakikat penciptaan. Tuhan menciptakan manusia di bumi yang begitu indah untuk berdzikir kepada-Nya.