Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Gadis Jepang

11 September 2017   10:26 Diperbarui: 11 September 2017   17:21 1554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Sahabat Baca

Pernah aku berkhayal, suatu saat nanti aku akan ke Jepang dan  menyaksikan dengan mata kepala sendiri gadis-gadis muda berpakaian  pelaut dengan rok yang jauh di atas lutut. Nyatanya, kali pertama aku  melihat gadis Jepang justru ketika aku liburan ke Bali. Gadis-gadis itu  sedang menikmati pantai yang sama denganku, memakai bikini berwarna  cerah yang kepayahan menutupi payudara mereka yang menonjol, dan mendadak bayangan adegan demi adegan film dewasa Jepang yang selalu  kutonton diam-diam berkelebat di kepalaku.

Aku menyadari hal di  atas terjadi hampir sepuluh tahun silam, dan selama itu pula aku masih  menyimpan harapanku dalam-dalam. Jepang masih menjadi tujuan yang terasa  amat jauh bagiku. Aku bahkan belum pernah keluar negeri, meski aku  memiliki paspor yang masa berlakunya tersisa 2 bulan lagi. Paspor yang  menampakkan foto pipiku yang belum bertelur itu memiliki tatapan yang  meledek karena aku malah berkawan dengan kolesterol dalam beberapa tahun  terakhir.

Tentu dua paragraf di atas tak pernah kuungkapkan  kepada Akina. Ia akan memanggilku cowok mesum kalau sampai tahu aku  demikian. Meski sebenarnya aku tak berkeberatan disebut mesum, karena  mesum itu bukan dosa. Mesum boleh-boleh saja, goblok yang jangan. Itu  prinsipku.

"Aku sering membaca Murakami..." kumulai pembicaraan dalam bahasa Inggris yang pas-pasan.
"Murakami?"
 "Haruki Murakami," jelasku. "Kalau Ryu Murakami, aku baru baca 2 judul,  Coin Locker Babies dan In The Miso Soup. Kamu baca juga?"
"Aku baca Haruki, Ryu belum pernah. Wow, aku tidak menyangka kamu membaca mereka berdua."
 "Aku juga banyak membaca yang lain, seperti Akutagawa, Natsuo Kirino,  dan tentu saja komik-komik Jepang. Kamu suka baca komik nggak?"
"Tentu, tentu... kamu lagi baca apa?"
 "Shingeki No Kyojin... aku suka sekali. Menonton para raksasa memangsa  manusia, dan manusia berusaha bertahan hidup dan membasmi para raksasa  itu membuatku berpikir ulang mengenai kemanusiaan. Aku juga baca One  Punch Man, sebuah komik satir yang menyinggung tokoh-tokoh Shonen."
"Aku sebagai Jepang jadi minder bicara dengan kamu. Sepertinya kamu tahu jauh lebih banyak tentang itu daripada aku...."
 Tentu saja, Akina. Aku harus tampak mengagumkan dan berpengetahuan di  hadapanmu. Dengan begitu, kamu baru akan memperhatikan aku, bukan?

Para  pembaca sekalian pasti bertanya-tanya di mana dan bagaimana aku bertemu  Akina, bagaimana perawakan Akina, atau ciri khas yang mungkin dia  miliki. Dialog di atas terlalu tiba-tiba untuk pembukaan cerita sehingga  menuduhku hanya seorang penulis amatir yang picisan yang setiap hari  hanya bisa melamun.

Pelan-pelan dong! Lagian tidak ada salahnya  juga melamun. Melamunnya seorang penulis berbeda dengan melamunnya orang  biasa sama halnya tak dapat kalian samakan dengan melamunnya ilmuwan.  Einstein juga hobinya melamun, dan dalam sebuah lamunannya, ia tak  mempercayai adanya gravitasi. Fisika menyaratkan ada aksi, ada reaksi.  Benda bergerak karena ada gaya dorong, bukan gaya tarik. Jika ada gaya  tarik, maka harus ada exit door energi pada suatu tempat. Pada itu,  Einstein berpendapat, gaya tarik itu tidak ada. Alam semesta (ruang dan  waktu) ini melengkung sehingga planet-planet mengeliling matahari, sama  sekali bukan karena gaya tarik matahari.

Akina juga mungkin  sebenarnya tidak memiliki gaya tarik. Akulah yang terkena gaya dorong  sesuatu bernama hasrat ketika kudengar suaranya yang nyaring, aku malah  membayangkan bagaimana caranya dia mendesah. Matanya tentu sipit,  giginya tak rata, pipinya juga bulat dan kalau ia merasa malu atau  kepanasan, pipi itu akan bersemu merah. Keterbatasan bahasa membuat dia  sering melongo bila ia menemukan kalimat yang tak ia mengerti dari  anak-anak yang mengerumuninya. Akina tampak disukai anak-anak, dan tentu  saja sebagian besar anak lelaki. Aku yakin anak-anak lelaki itu sudah  nonton film dewasa Jepang.

Kami bertemu dalam sebuah program  residensi penulis-penulis ASEAN. Jepang tentu saja bukan ASEAN. Jepang  hanyalah negara yang pernah menjajah beberapa negara di kasawan Asia  Tenggara dan mungkin karena merasa bersalah, mereka rajin berkomunikasi  dengan mereka. Termasuk dalam acara ini, Jepang menjadi salah satu  sponsor. Dan Akina, seorang editor dan penulis buku-buku literatur  pelajaran Bahasa Inggris, mewakili mereka.

Sejujurnya, hampir  sebagian hariku di rumah residensi kuhabiskan dengan memperhatikan  Akina. Dalam sebuah sesi diskusi tentang keberagaman dan marjinalitas,  aku bertanya pada Akina, "Kamu membaca IQ84? Aku penasaran dengan maksud  orang kecil dan fenomena aliran kepercayaan yang dipeluk sebagian  masyarakat Jepang, yang entah kenapa ditulis Murakami: mereka berprofesi  sebagai petani? Selain mim dengan Orwell, 1984, yang kupikir sebuah  propaganda anti komunisme, apakah kelas-kelas pekerja di Jepang juga  telah menjadi sebuah struktur manusia?"

"Saya belum membaca novel itu sih, tapi bagaimana ya aku menjelaskannya..."

Akina  mulai mengucapkan beberapa hal. Tentu saja aku tidak peduli pada apa  yang dia katakan. Aku hanya ingin mendengar suaranya, memperhatikan  setiap ekspresi yang keluar dari wajahnya. Aku suka dia bermimik muka  serius menanggapi pertanyaanku itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun