Dewasa ini, kita kian sering menemukan keluarga dan pasangan yang menjalani LDM atau Long Distance Marriage, yakni sebuah kondisi di mana hubungan pernikahan sebuah keluarga dan pasangan harus terpisah oleh jarak. Entah karena keperluan studi, pekerjaan, maupun karena kondisi tertentu sehingga mengharuskan mereka untuk hidup berjauhan.
Meskipun demikian, tidak sedikit keluarga dan pasangan yang mampu bertahan dan berhasil dalam menjalani LDM, termasuk keluarga saya sendiri.
Tantangan Keluarga LDM dan Kekhawatiran terhadap Isu Fatherless
Sebagai sebuah keluarga, tentunya LDM bukan sebuah kondisi yang ideal untuk dijalani. Banyak tantangan yang hadir dalam perjalanannya. Rasa kesepian akibat rindu karena tak bertemu, komunikasi yang kadang terhambat, penyelesaian konflik yang tertunda, hingga kurangnya bonding dengan pasangan menjadi dinamika sehari-hari bagi keluarga yang menjalani LDM.Â
Namun dari semua tantangan tersebut, hal yang paling menantang bagi saya adalah munculnya kekhawatiran terhadap isu fatherless bagi sang buah hati. Sudahlah anak jarang bertemu secara fisik dengan ayahnya, ketika waktunya libur pun seringkali ayahnya masih harus berbagi dengan urusan pekerjaan.Â
Sempitnya waktu untuk menghabiskan momen bersama keluarga dan energi yang terbatas akibat kesibukan pekerjaan membuat isu fatherless menjadi lebih besar bagi keluarga yang menjalani LDM.
Bagaimana jika anak saya juga mengalami fatherless?
Sebagai seorang istri yang menjalani LDM dan juga seorang ibu yang aware terhadap tumbuh kembang anak, isu fatherless kerap kali menjadi kekhawatiran saya. Hal yang wajar, mengingat di Indonesia sendiri, isu fatherless cukup menjadi perhatian utama karena dapat berdampak pada psikologis anak di masa depan.
Meskipun demikian, tidak seharusnya kondisi LDM menjadikan seorang anak yang tumbuh di dalamnya mengalami fatherless. Demi mengurangi kekhawatiran tersebut, saya dan suami pun memutuskan untuk berkonsultasi dengan psikolog anak di sebuah sentra pengembangan dan layanan psikologi untuk keluarga.
Berikut ini tips-tips yang keluarga saya terapkan agar anak tidak sampai mengalami fatherless.
1. Memberi endorsement positif terhadap kelebihan-kelebihan yang ada pada diri ayah saat mengobrol dengan anak.
Misalnya, saat saya dan anak sedang berkegiatan bersama, saya selalu menyisipkan kata-kata yang mengindikasikan kehadiran ayah meskipun secara fisik sedang berjauhan. Contoh: Â "Eh, ayah tu enak banget loh kalau bikin nasi goreng. Nanti kalau ayah di rumah, kita minta ayah buat bikinin, yuk!"
2. Menghindari penggunaan kalimat-kalimat negatif tentang kondisi yang sedang dihadapi.
Pernah, suatu kali anak saya ingin latihan berenang bersama ayahnya, namun terkendala karena urusan pekerjaan. Sebisa mungkin saya tidak mengucapkan kalimat seperti berikut: "Duh, ayah kerjanya jauh sih ya, jadi kamu ga bisa latihan sama ayah deh."Â
Kalimat negatif yang kita ucapkan hanya akan membuat anak sedih dan semakin menguatkan ketidakhadiran ayah. Sebaliknya, sebisa mungkin saya berupaya agar narasi-narasi yang saya ucapkan menggunakan kalimat positif, diiringi dengan tindakan validasi terlebih dahulu.Â
Sebagai contoh: "Mama paham kamu sedih karena gak bisa latihan berenang bareng ayah. Tapi ayah harus berangkat kerja. Lain kali kita rencanakan jadwal berenang di hari libur ayah ya, supaya ayah bisa nemenin kamu. Latihannya nanti jadi lebih seru."
3. Rutin berkomunikasi meski hanya secara daring.
Secara rutin, saya juga membangun kebiasaan agar anak dapat berkomunikasi dengan ayahnya meski hanya lewat telepon atau video call. Sesederhana menceritakan kejadian sehari-hari di rumah bersama saya sebagai ibunya, atau tentang keseruan bersama teman-temannya di sekolah. Harapannya, agar dapat merekatkan bonding antara ayah dan anak meski sedang terpisah jarak.
4. Merencanakan hal seru yang ingin dilakukan bersama saat ayah berada di rumah.
Di samping kegiatan-kegiatan rutin seperti video call, biasanya saya juga merencanakan hal-hal seru yang akan dilakukan oleh anak saat ayahnya pulang nanti. Biasanya, saya memancing anak dengan pertanyaan dan kalimat seperti berikut:
"Apa yang ingin kamu lakukan saat ayah pulang nanti? Kalau Mama, ingin mengajak ayah hiking lihat air terjun. Pasti seru banget kalau kita bisa pergi bertiga. Menurut kamu gimana?"
Dengan merencanakan kegiatan bersama, anak akan lebih bersemangat untuk menyambut kedatangan ayahnya, karena ia tahu akan menghabiskan waktu yang menyenangkan bersama-sama.
5. Melibatkan ayah dalam kegiatan pengasuhan anak.
Pada kondisi LDM, seringkali ayah merasa ketinggalan banyak hal tentang tumbuh kembang anaknya sehingga menyebabkan ayah merasa tidak dilibatkan dalam kegiatan pengasuhan. Menciptakan kegiatan rutin bersama ayah dapat menjadi salah satu solusi.
Seperti yang keluarga saya lakukan misalnya, yaitu dengan mengadakan special night bersama ayah saat bed time story. Tidak masalah jika ayah membacakan buku atau mendongeng dengan gaya yang agak sedikit nyeleneh, selama anak merasa kegiatan tersebut menyenangkan.
6. Melibatkan anggota keluarga seperti kakek dan paman sebagai figur ayah.
Selain dengan ayah, anak juga bisa mendapatkan figur ayah dari keluarga inti lain seperti kakek dan paman. Saling menjalin silaturahmi, berkomunikasi secara rutin, dan menghabiskan waktu bersama saat acara atau momen-momen kumpul keluarga, dapat mempererat hubungan emosional. Dengan cara ini, anak akan tetap merasa dicintai oleh orang-orang terdekatnya meski jarang bertemu.Â
Meskipun kondisi LDM memang bukan kondisi yang ideal untuk dijalani, namun tidak berarti anak harus mengalami fatherless. Dengan kerja sama yang baik antara pasangan dan seluruh keluarga yang terlibat, tantangan dan dinamika LDM dapat dihadapi dengan lebih ringan.
Ada yang punya pengalaman serupa seperti saya? Share yuk di kolom komentar!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI