Sudah dua kali saya merasakan Hari Raya Nyepi yang berbarengan dengan hari Jumat di Bali. Pertama kalinya saya sedikit bingung, bagaimana nanti umat islam akan menunaikan ibadah sholat Jumat? Padahal di hari Nyepi, semua kegiatan luar ditiadakan, bahkan pelayanan umum sekalipun, kecuali rumah sakit. Sedangkan ibadah sholat Jumat itu harus dilakukan secara berjamaah di Masjid. Kebingungan saya akhirnya terjawab saat Nyepi tiba. Kebetulan kediaman saya lumayan dekat dengan masjid di sebuah komplek perumahan anggota TNI. Di hari Jumat yang bertepatan dengan Nyepi, umat muslim di Bali tetap diperkenankan menunaikan sholat Jumat di Masjid. Untuk menghormati umat Hindu yang menunaikan Catur Brata Penyepian, maka kumandang adzan tidak diperkenankan memakai pengeras suara. Umat muslim yang akan ke masjid juga dilarang memakai kendaraan. Hasilnya, mereka yang rumahnya jauh dari masjid diperbolehkan mengganti sholat Jumat menjadi sholat Dhuhur, karena adanya halangan syar'i yang memang diperbolehkan dalam fiqh islam. Dan saat Hari Raya Nyepi di hari Jumat itulah saya merasakan betapa indahnya toleransi umat beragama di Bali. Umat muslim yang menunaikan ibadah sholat Jumat berjamaah, rela berjalan kaki jauh ke masjid. Para pecalang (petugas adat) pun tidak menghalangi. Bahkan ada beberapa pecalang yang berjaga di sekitar masjid saat sholat Jumat berlangsung dengan tujuan mengarahkan umat muslim dan menjaga agar tidak terjadi keramaian setelah selesainya ibadah. Hal ini juga dimaksudkan agar umat muslim segera kembali ke rumah masing-masing begitu usai sholat Jumat. Namun keindahan toleransi tersebut sedikit terganggu ketika terdengar kabar ada sekelompok orang yang hendak merusak perayaan Nyepi di Bali ini dengan mengatasnamakan agama tertentu. Minggu lalu, aparat keamanan berhasil membongkar jaringan teroris yang hendak merampok dan meledakkan tempat tertentu tepat ketika umat Hindu melakukan perayaan Nyepi. Kesempatan yang diberikan umat Hindu pada umat Muslim untuk beribadah keluar di Masjid saat Nyepi, rupanya hendak dimanfaatkan mereka yang mengaku "berjihad untuk agama" untuk merusak tatanan toleransi yang sudah terbangun begitu indahnya ini. Apa yang sudah diperlihatkan masyarakat Bali hendaknya dapat ditiru oleh seluruh masyarakat Indonesia. Toleransi beragama secara elegan, tanpa mengintervensi urusan ibadah masing-masing kaumnya. Sudah banyak kita dengar bentrokan-bentrokan yang mengatasnamakan agama, karena mereka mengedepankan ego masing-masing dan menganggap diri mereka-lah yang paling benar hingga merasa berhak mengatur kegiatan peribadatan kaum minoritas.Semoga perbedaan agama bukan menjadi dasar perpecahan. Tapi harus menjadi dasar persatuan bangsa agar kita bisa hidup damai dalam kerukunan beragama. Rahajeng Nyangra Rahina Nyepi Caka 1934
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI