Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Preman Tobat

10 Mei 2021   07:02 Diperbarui: 10 Mei 2021   07:18 1237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku berpikir mungkin kamu bertanya-tanya, mengapa orang itu salat sambil menutup-nutupi tato di lehernya (unsplash.com/Afiq Fatah)

Dari belakang, kulihat orang itu beberapa kali mengangkat kerah kaosnya ke atas. Seakan dia ingin menutupi sesuatu di bagian lehernya.

Tingkahnya saat salat Dhuhur sendirian karena tertinggal berjamaah itu membuat konsentrasiku membaca Al-Quran menjadi terganggu. Kututup mushaf Al-Quran dan kuperhatikan dengan seksama.

Setelah beberapa saat mengamati tingkah laku orang tersebut, akhirnya aku tahu apa yang ingin ditutupinya. Di lehernya tercetak tato yang memanjang, hampir menutupi seluruh bagian lehernya hingga sedikit bagian punggungnya.

Aku lantas berpikir, mengapa dia sibuk berusaha menutupi tato di tubuhnya? Apakah orang itu merasa malu jika ada orang lain yang melihat tatonya?

Atau mungkin dia malu jika dengan melihat tatonya tersebut, orang lain akan beranggapan negatif terhadap dirinya?

"Orang itu dulu preman pasar," sebuah suara membuyarkan perhatianku yang tengah mengamati orang bertato itu.

"Eh, Ustaz Sobri, maaf Ustaz," kataku sambil menjabat tangan Ustaz Sobri, salah seorang takmir masjid.

"Aku dari tadi melihatmu mengamati orang yang sedang salat itu, Gus. Di tengah-tengah membaca Al-Quran kok tiba-tiba kamu berhenti dan memperhatikan orang bertato itu. Aku berpikir mungkin kamu bertanya-tanya, mengapa orang itu salat sambil menutup-nutupi tato di lehernya."

Sambil tersenyum malu karena tertangkap basah, aku mengangguk.

"Iya Ustaz, tingkahnya saat salat itu yang membuat perhatian saya jadi teralihkan. Memangnya, Ustaz Sobri kenal?"

"Ya, kalau dibilang kenal sih tidak, hanya tahu nama dan sedikit kisah hidupnya saja," jawab Ustaz Sobri sambil tersenyum.

"Baru beberapa minggu ini dia rajin salat ke masjid, dan selalu memilih barisan paling belakang. Seperti yang kamu lihat, setiap kali salat dia berusaha menutupi lehernya yang terbuka, seolah tidak ingin orang lain tahu ada tato di sana.

Kata beberapa warga di sini, orang itu dulu preman pasar. Ditakuti beberapa preman lainnya. Pokoknya jawara deh. Qadarullah, istrinya malah sosok yang rajin beribadah. Sebuah anomali bukan Gus?"

Aku mengangguk dan dalam hati bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang perempuan yang taat beribadah memiliki suami preman pasar yang ditakuti warga?

Ah, bukankah tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini? Jaman Rasulullah Saw dulu, bahkan beberapa sahabat yang alim orangtuanya masih kafir. Bahkan dalam perang Badar, Abu Bakar as Shiddiq sempat akan berperang tanding melawan anaknya sendiri, hingga kemudian anaknya itu mendapat hidayah dan masuk Islam di kemudian hari.

Seakan bisa membaca pertanyaan hatiku, Ustaz Sobri tersenyum dan melanjutkan ceritanya,

"Betul, Gus. Hidayah memang tidak bisa dipaksakan. Hidayah itu hak prerogratif Allah Swt. Begitu pula dengan preman pasar itu. Ketika istrinya meninggal dunia, dalam detik-detik menjelang ajal, istrinya masih sempat mendoakan suaminya mendapat hidayah dan bertobat.

Qodarullah Gus, Allah mengabulkan doanya tersebut. Belum kering makam istrinya, preman pasar itu datang ke masjid, minta bertemu dengan takmir. Waktu itu Ustaz Ali yang menemuinya. Di depan Ustaz Ali, preman pasar itu menangis. Dia menyesali perbuatan maksiatnya di masa lalu, dan minta didoakan Ustaz Ali agar dosa-dosanya diampuni.

Dengan dibimbing Ustaz Ali, preman pasar mulai menyucikan jiwanya. Hampir setiap salat lima waktu, dia selalu hadir di masjid ini, meskipun selalu berada di shaf paling belakang. Aku pikir bukan karena dia malu Gus, melainkan merasa rendah diri dengan masa lalunya yang penuh lumpur hitam.

Kamu tahu Gus, ketika Ustaz Ali menawarkan untuk menghapus tato di beberapa bagian tubuhnya, preman pasar itu menolak. Katanya, biarlah itu menjadi pengingat bagi dirinya, agar senantiasa memohon ampun atas segala dosa-dosanya di masa lalu. Saat kuamati dia selalu menutupi lehernya yang bertato, mungkin dia merefleksikannya sebagai sebuah tindakan menghapus masa lalunya."

Aku termenung mendengar cerita Ustaz Sobri. Tapi yang jelas, preman pasar yang bertobat itu sudah berhasil membuat malu diriku.

Malu karena dia adalah cermin atas segala dosa dan khilaf dariku, namun masih sering merasa diriku sudah suci. Malu karena justru dari dialah aku mendapat pelajaran, bahwa pintu ampunan Allah itu seluas hamparan langit dan bumi. Tak ada kata terlambat bagi hamba Allah untuk segera bertobat, selama Allah masih memberi nikmat nafas kehidupan.

"Dan pada hari itu engkau akan melihat setiap umat berlutut. Setiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya. Pada hari itu kamu diberi balasan atas apa yang telah kamu kerjakan." (QS Al-Jasiyah: 28)

"Sesungguhnya bertobat kepada Allah itu hanya (pantas) bagi mereka yang melakukan kejahatan karena tidak mengerti, kemudian segara bertobat. Tobat mereka itulah yang diterima Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.

Dan tobat itu tidaklah (diterima Allah) dari mereka yang melakukan kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka (barulah) dia mengatakan, "Saya benar-benar bertobat sekarang." 

Dan tidak (pula diterima tobat) dari orang-orang yang meninggal sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan azab yang pedih. (QS An-Nisa: 17-18)"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun