Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tak Perlu Tes DNA, Begini Cara Mengetahui Keaslian Habib

19 November 2020   20:37 Diperbarui: 29 April 2021   21:32 9103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keterpeliharaan garis keturunan para habib dicatat rapi oleh lembaga pencatat nasab yang ada di masing-masing wilayah (Ilustrasi: dayoutdubai.ae)

Di kampung, beberapa orangtua memanggilku "Gus". Entah siapa yang mengawalinya aku tak tahu. Entah apa sebabnya, aku juga tak tahu. Mungkin karena mereka memandang muka ayahku yang seorang ulama atau kiai cukup terpandang di kampung halaman.

Panggilan 'Gus' memang identik dengan 'darah biru' kiai. Seseorang dipanggil "Gus" jika, dan hanya jika, orang itu keturunan  laki-laki dari kiai yang cukup terpandang. Kalau sang kiai memiliki keturunan perempuan maka panggilannya "ning". Konon, sebutan "gus" berasal dari kata "bagus" karena rata-rata keturunan kiai itu ganteng-ganteng. Sedangkan sebutan "ning" berasal dari kata "bening" karena rata-rata putri kiai itu wajahnya bening nan ayu.

Panggilan "kiai" sendiri merupakan gelar khas Nusantara, khususnya Jawa. Penyebutan "kiai" ini berasal dari inisiatif masyarakat, bukan dari dirinya sendiri atau propaganda media massa. Intinya, sebutan "kiai" disematkan bagi orang-orang memiliki tingkat pengetahuan agama yang cukup tinggi dan membimbing masyarakat, baik di lingkungan pesantren atau bukan.

Makna Asli Gelar Ustadz

Kalau di kampung aku dipanggil "gus", di tempat aku mengaji malah dipanggil "ustaz". Tentu saja dengan segala kerendahan hati aku menolaknya karena aku pikir memang belum pantas dipanggil "ustaz". Kalau "gus" bolehlah.

Mengapa?

Secara harfiah panggilan ustaz memiliki makna yang cukup berat. Kata yang sudah masuk dalam KBBI ini berasal dari Bahasa Persia (ustadz) yang kemudian diserap oleh Bahasa Arab dan diserap lagi oleh Bahasa Indonsia. Dari asalnya, arti kata ustaz adalah 'pengajar', atau 'orang yang menguasai suatu bidang tertentu dan mengajarkannya'. Bentuk jamaknya, asatidz.

Di Timur Tengah, gelar 'ustadz' disetarakan dengan gelar 'profesor'. Yakni mereka yang sudah menduduki level tinggi dalam tingkat kepengajaran di universitas atau al-jami'ah. Menurut pengertian masyarakat Timur Tengah, dalam kerangka sosial gelar 'ustadz' hanya layak diberikan pada orang yang sudah menguasai setidaknya dua belas cabang ilmu seperti nahwu, shorof, bayan, badi', ma'ani, adab, mantiq, kalam, akhlaq, ushul fiqih, tafsir, dan hadits. Berat kan?

Jadi, gelar ustadz bisa disandang dengan melalui berbagai kualifikasi keilmuan yang tidak instan. Apalagi sekedar melalui audisi di layar televisi. Bisa berceramah pun bukan alasan untuk bisa dikategorikan ustadz.

Untuk penceramah, ada gelar yang lebih tepat untuk disematkan. Yakni muballigh (orang yang menyampaikan), da'i (orang yang mengajak) atau khathib (orang yang berceramah).

Makna Asli Gelar Habib

Kalau gelar 'ustadz' saja sudah memberatkan penyandangnya, apalagi gelar 'habib'. Ini bukan gelar sembarangan, yang bisa disematkan pada orang sembarangan pula.

Dari terminologinya, kata 'habib' 'berarti 'orang yang mencintai' alias 'kekasih'. Kata ini berakar dari kata hubb yang artinya 'cinta'.

Istilah habib ini secara sosial, lazim disematkan bagi mereka yang memiliki jalur keturunan (nasab) ke 'Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra, putri Baginda Nabi Muhammad SAW. Istilah sosial sebagai keturunan Rasulullah ini sepadan dengan gelar syarif (orang yang mulia, feminimnya syarifah) dan sayyid (tuan, feminimnya sayyidah). Umumnya disematkan pula marga di belakang nama para habib ini, seperti Basyaiban, Baraqbah, Al-Aydrus, Al-Haddad, Al-Attas, As-Segaf, As-Shihab dan sebagainya.

Atas dasar terminologinya, seseorang yang bergelar 'habib' dipandang terhormat oleh umat Islam sejak dahulu kala. Bukan hanya sebab nasab, tetapi juga karena kiprah dakwah mereka dalam penyebaran Islam di penjuru dunia termasuk Indonesia.

Pengikisan Makna Gelar Gus, Ustadz dan Habib

Belakangan, beberapa gelar atau sebutan khas dalam kerangka sosial masyarakat Islam di Indonesia ini memiliki pengikisan makna. Seseorang bisa dengan mudahnya mendapat panggilan "Gus", "Ustadz" bahkan "Habib" sekalipun.

Orang yang bukan keturunan laki-laki dari kiai yang cukup terpandang bisa dipanggil "Gus". Pengajar baca tulis Al Quran di TPQ, pengajar di madrasah diniyah, atau pendakwah dan penceramah agama yang diorbitkan televisi biasa dipanggil "ustadz" atau "ustadzah".

Ada yang keberatan?

Tentu saja tidak. Sah-sah saja kok gelar itu disematkan ke siapapun juga. Karena tidak ada aturan baku yang tertulis yang membatasi siapa saja yang berhak menyematkan gelar panggilan tersebut.

Cara Mengetahui Keaslian Habib

Namun, berbeda dengan gelar "habib". Gelar ini, selain punya kualifikasi yang sangat berat juga tercatat resmi!

Keterpeliharaan garis keturunan habaib (bentuk jamak dari habib) dicatat dengan rapi oleh lembaga-lembaga pencatat nasab (naqib) yang ada di masing-masing wilayah. Di Indonesia sendiri, lembaga ini bernama Maktab Daimi yang bernaung di bawah payung organisasi Rabithah 'Alawiyyah.

Jadi, kalau mau memeriksa keaslian seorang habib, tak perlu repot-repot melakukan tes DNA. Cukup datang saja ke kantor pengurus Rabithah 'Alawiyyah, lalu telusuri catatan habib yang dimaksud.

***

Hakikatnya, setiap kata memiliki tempat sesuai maknanya masing-masing. Apalagi kata itu disematkan sebagai gelar. Dengan menempatkan kata itu sesuai maknanya, kita bisa menghindari kesalahan penyematan gelar. Benarkah orang itu pantas menyandangnya, dan bukan dari penampilan luar atau pencitraan belaka.

Sekaligus, agar kita juga bisa bersikap proporsional ketika banyak orang menyapa kita dengan sapaan yang tidak sepantasnya kita sandang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun