Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Laris Manis Jasa Buzzer dan Influencer untuk Kampanye Virtual Pilkada

27 September 2020   11:28 Diperbarui: 27 September 2020   11:33 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dengan berbagai kelemahan kampanye virtual, mau tidak mau peserta pilkada harus menggunakan jasa buzzer atau influencer (foto: washingtonpost.com)

Halo teman-teman,

Kami sedang mencari buzzer/influencer untuk kampanye politik di Kota Wakanda.

Kriteria :

- Pria / Wanita, umur diatas 21 tahun

- Berdomisili di Sidoarjo dan sekitarnya.

- Followers instagram minimal 10.000

Activity :

1x Instagram TV

(Influencer diwajibkan membuat video interview dengan kandidat Calon Kepala Daerah dari salah satu partai)

Rules :

- Influencer bersedia mengunjungi lokasi interview yang telah ditentukan

- Influencer bersedia melakukan interview dengan calon Bupati / Wakil Bupati

- Fast respon, komitmen dan bertanggung jawab

- Content akan direpost/direupload di media sosial milik calon / wakil / partai / tim sukses

Untuk rate, silahkan diajukan aja ya (open budget).

Bagi management yang bantu share, akan mendapatkan fee khusus dari kami sebesar 15% dari fee influencer (tidak perlu memotong).

Bagi yang berminat, silahkan mengisi form berikut :

Pengumuman tersebut diposting seorang teman di grup blogger/influencer. Saya yakin, banyak influencer atau buzzer mendapat penawaran yang serupa.

Dengan tahapan pilkada yang masih terus berjalan meski banyak pihak sudah menyuarakan keberatan dan meminta pemerintah menundanya saja, para peserta pilkada kini harus berpikir sekreatif mungkin. Bagaimana caranya agar kampanye mereka tepat sasaran, bisa menjangkau banyak orang tanpa harus melakukan kampanye terbuka yang rawan kerumunan massa.

Apalagi pemerintah pusat sendiri sudah mewanti-wanti setiap peserta pilkada untuk tidak menggelar konser musik atau rapat terbuka. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian bahkan meminta Bawaslu untuk mendiskualifikasi peserta pilkada yang mengabaikan protokol kesehatan atau tetap nekat melakukan kampanye terbuka.

Kita memang tidak asing dengan segala macam kegiatan yang dilakukan secara virtual. Setidaknya dalam 7 bulan terakhir semenjak pandemi Covid-19 menerjang negara kita. Sekolah virtual, rapat virtual, seminar virtual, bahkan akad nikah pun bisa dilakukan virtual pula. Cara ini memang menjadi solusi yang tepat agar tidak ada kerumunan, tidak ada sentuhan, dan membuat jarak sangat terjaga.

Lalu, bagaimana dengan kampanye virtual?

Tanpa Disadari, Kita Sudah Akrab dengan Kampanye Virtual

Sebenarnya, sebelum pandemi pun kita sudah kenal dekat dengan yang namanya kampanye virtual. Dilihat dari definisinya, kampanye virtual tidak terpaku pada jenis pertemuan tatap muka secara virtual, seperti saat kita rapat dengan Zoom atau Google Meet. Penggunaan jasa buzzer, influencer, iklan-iklan di media sosial atau penyampaian program kerja lewat tulisan di blog bisa dimasukkan ke dalam jenis kampanye virtual.

Meski (tanpa disadari) kita sudah terbiasa dengan kampanye virtual, harus diakui kampanye pemilu (pilpres atau pilkada) tanpa pertemuan secara langsung atau rapat terbuka diiringi konser musik rasanya hambar. 

Efektivitas kampanye, baik dari segi penyampaian program maupun pengumpulan massa juga kurang dibandingkan dengan kampanye tatap muka secara langsung. Itu sebabnya di negara-negara maju yang tingkat literasi digitalnya sudah tinggi, setiap kandidat pasti menyempatkan diri untuk menggelar kampanye tatap muka yang dihadiri ribuan massa.

Kelemahan Kampanye Virtual

Kampanye virtual juga rawan disusupi pengacau yang bermaksud mendiskreditkan program kerja maupun kepribadian pasangan calon kepala daerah. Setiap ada konten yang dimuat di media sosial peserta pilkada, pasti ada komentar-komentar miring dan nyinyir dari akun-akun anonim yang memang bertujuan untuk "menyerang" pasangan calon yang bersangkutan. Kita sudah merasakannya sendiri saat pemilu raya 2014 dan 2019.

Begitu pula seandainya peserta pilkada menyelenggarakan pertemuan virtual lewat Zoom atau Google Meet. Karena undangannya disebar terbuka, siapa pun bisa mengikuti pertemuan tersebut. Berlindung di balik akun anonim, si pengacau ini bisa memutarbalikkan fakta hanya untuk memancing konfrontasi saat konferensi video berlangsung.

Berbeda dengan kampanye tatap muka secara langsung. Saat kampanye di lapangan, kehadiran pendukung dari pasangan calon yang lain bisa diminimalkan. Kemungkinan adanya oknum-oknum yang bermaksud mengacaukan jalannya kampanye juga sangat kecil. Hanya orang yang tidak waras yang berani menanggung risiko babak belur dihajar massa apabila dia nekat mengacaukan kampanye terbuka.

Tingkat Partisipasi Kampanye Virtual Sangat Kecil

Kekurangan lain dari kampanye virtual adalah tingkat partisipasi peserta. Memang, kampanye virtual bisa dihadiri siapa saja dan keterjangkauan pemirsa lebih luas. Tapi harus diingat, untuk menghadiri atau mengikuti kampanye virtual kita butuh modal. Minimal kita harus punya ponsel pintar dan kuota internet yang cukup.

Lagipula, jarang ada orang yang mau menghadiri pertemuan virtual dengan sukarela. Lihat saja webinar-webinar yang diselenggarakan perusahaan. Kalau tidak ada iming-iming fee berupa saldo Gopay atau Ovo, ditambah sertifikat kepesertaan, jumlah peserta yang hadir bisa minim sekali. Hanya orang yang benar-benar berminat dengan materi webinar yang mau hadir sukarela.

Begitu pula dengan kampanye virtual. Peserta pilkada harus mampu meyakinkan masyarakat untuk mengikuti kampanye mereka. Dan satu-satunya jalan pintas yang bisa ditempuh adalah dengan memberi imbalan sebagai bentuk terima kasih atas kehadiran mereka. Jika tidak begitu, hanya loyalis partai garis keras yang akan mengikuti kampanye virtual mereka. 

Lha wong untuk kampanye biasa saja masyarakat butuh hiburan musik dangdut untuk hadir, apalagi untuk kampanye virtual yang malah harus mengeluarkan modal kuota internet. Paling tidak harus ada imbal balik dari peserta pilkada agar kuota internet warga tidak habis sia-sia.

Menggunakan Jasa Buzzer dan Influencer untuk Menyampaikan Pesan Kampanye

Dengan berbagai kelemahan tersebut, mau tidak mau peserta pilkada harus menggunakan jasa buzzer atau influencer. Dengan jumlah pengikut yang mencapai ribuan, setiap pasangan calon tentu berharap pesan kampanye mereka bisa tersampaikan dengan baik, tepat sasaran dan punya jangkauan yang luas melalui jasa buzzer dan influencer.

Selain untuk menyampaikan program kampanye, beberapa peserta pilkada juga menyewa buzzer khusus untuk menanggapi atau meng-counter komentar-komentar miring di setiap konten yang mereka unggah di media sosial. Tujuannya jelas, agar pengikut atau peserta tidak sampai tergiring oleh opini pihak lain.

Jadi, musim kampanye virtual di pilkada 2020 yang sebentar lagi akan dimulai ini bisa memunculkan ladang bisnis sendiri. Buat warga yang menganggur dan mempunyai akun media sosial, tidak ada salahnya mencoba ikut melamar jadi buzzer atau influencer bagi peserta pilkada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun