Masyarakat masih tetap terpolarisasi. Padahal ketika Prabowo bersedia menerima pinangan Jokowi untuk menjadi Menteri Pertahanan, sempat terpercik asa akan adanya rekonsiliasi nasional.
Asa itu juga timbul mengingat keberadaan KH. Ma'ruf Amin sebagai wakil presiden. Sebagai ulama senior, tokoh panutan yang dihormati kawan disegani lawan, KH. Ma'ruf Amin diharapkan bisa merangkul pihak-pihak yang dulu berseberangan.
Namun, dalam 100 hari kerja kabinet yang baru ini, peran KH. Ma'ruf Amin tidak terlihat di permukaan. Apakah lantaran beliau memilih bekerja dalam senyap, yang jelas banyak pihak menilai KH. Ma'ruf Amin hanya dijadikan pajangan saja.
Kegaduhan demi kegaduhan juga tak bisa lepas dari peran media itu sendiri. Media, yang semestinya bisa berperan aktif dengan narasi berita yang sejuk malah kerap ikut memanas-manasi.
Satu sisi mereka sering menyanjung Jokowi dan tokoh dari partai penguasa, satu sisi mereka masih kerap "menyerang" tokoh-tokoh yang berseberangan yang berpotensi menjadi pemimpin masa depan. Narasi perpecahan yang dibawa media inilah yang membuat pelita rekonsiliasi ini semakin meredup.
Media, sebagai pilar keempat demokrasi sangat diharapkan bisa menjadi penengah di tengah perpecahan yang terjadi. Karena bagaimanapun juga, narasi mereka lah yang bisa membentuk opini masyarakat.