Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama FEATURED

Bisakah Thermal Scanner Mendeteksi Individu yang Terinfeksi Virus Corona?

26 Januari 2020   23:42 Diperbarui: 2 Maret 2020   12:25 5608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semakin meluasnya penyebaran virus corona baru (2019 nCov) membuat beberapa negara mengambil langkah antisipasi dengan memasang alat thermal scanner di bandara dan pintu masuk lainnya. 

Di Indonesia, Kementerian Kesehatan sudah memasang 135 alat pemindai panas di bandara, pelabuhan dan beberapa pintu masuk wisatawan mancanegara lain.

Melalui alat tersebut, nantinya para penumpang bisa dideteksi sejak dini apakah ada potensi gejala terjangkit virus tertentu.

"Sudah saya cegat (hadang) di bandara, itu concern saya yang dari luar terutama yang dari Tiongkok maupun wabah dari negara mana, kita selalu detect lewat thermal scan, kalau pun tidak ada demamnya itu bisa terlihat apakah ada tanda-tanda flu, semua alat yang ada di bandara, pelabuhan dan jalan darat sudah siap 24 jam," kata Menkes Terawan.

Apa itu Thermal Scanner?

Thermal scanner adalah alat yang bisa memindai suhu tubuh seseorang. Alat ini dapat merekam suhu dengan warna-warna yang berbeda. Suhu yang lebih dingin diberi warna biru, ungu, atau hijau. Sedangkan suhu yang lebih hangat dapat diberi warna merah, oranye, atau kuning.

Pada dasarnya, suhu tubuh dapat diukur dengan beberapa cara. Secara tradisional, suhu tubuh diukur menggunakan termometer kontak yang diletakkan di dahi atau di mulut, telinga, ketiak atau dubur.

Seiring dengan mewabahnya penyakit yang dapat dengan mudah menular lewat kontak langsung, penggunaan termometer non-kontak juga semakin meningkat. 

Ada tiga jenis utama termometer non-kontak, yakni termometer inframerah non-kontak (Non Contact Infrared Thermometer/NCIT), termometer timpani (termometer digital telinga) dan pemindai termal (thermal scanner).

Manfaat Penggunaan Thermal Scanner

Manfaat utama dari penggunaan termometer non-kontak ini untuk mengurangi risiko penularan penyakit melalui kontak langsung antara pasien dengan dokter/perawat yang mengukur suhu tubuhnya.  

Kurangnya kontak juga berarti proses desinfeksi antara pasien untuk termometer menjadi berkurang atau bahkan tidak perlu sama sekali. 

Selain itu, termometer non-kontak juga dapat digunakan lebih mudah dan lebih cepat ketika menyaring sejumlah besar orang dalam pengaturan seperti bandara atau penyeberangan perbatasan.

Meski banyak digunakan untuk menyaring orang yang terkena demam dan dicurigai terinfeksi virus, penggunaan NCIT, termasuk di antaranya thermal scanner diragukan ketepatan deteksinya. 

Tidak semua orang yang terinfeksi atau tertular akan mengalami demam. Selain itu, demam dapat diturunkan dengan menggunakan obat antipiretik.

Karena itu, timbul pertanyaan bisakah thermal scanner mendeteksi orang yang terinfeksi virus corona?

Thermal Scanner Hanya Memindai Suhu Permukaan Tubuh

Dalam laporan penelitian tahun 2011 yang diterbitkan di Public Library of Science, para peneliti menemukan bahwa pemindai gambar termal inframerah (Infrared Thermal Image Scanner/ITIS) tidak efektif atau tidak dapat digunakan secara presisi untuk menentukan seseorang terinfeksi virus.

ITIS atau pemindai termal hanya mengukur suhu permukaan tubuh, bukan suhu inti tubuh. Dengan demikian, pengukuran suhu oleh alat ini tunduk pada pengaruh berbagai faktor manusia dan lingkungan.

Ini termasuk apakah seseorang kulitnya terbakar matahari, telah minum antipiretik atau memiliki masalah peredaran darah, dan juga suhu lingkungan dan kelembaban. Oleh karena itu penting bahwa hubungan antara suhu permukaan tubuh dan suhu inti tubuh dievaluasi dalam lingkungan di mana ITIS akan dioperasikan.

Penelitian tersebut dilakukan dengan memindai pelancong (termasuk awak kabin) dari tiga maskapai yang tengah bepergian dari Australia ke Christchurch, Selandia Baru. 

Sebelumnya, selama penerbangan awak kabin dan penumpang diberi kuesioner  untuk menentukan apakah mereka termasuk dalam kriteria pelancong dengan "gejala".

Pelancong 'Gejala' didefinisikan sebagai mereka yang melaporkan satu atau lebih dari gejala berikut: batuk, sakit tenggorokan, bersin, demam atau kedinginan, pilek atau tersumbat, sakit atau nyeri otot, umumnya merasa tidak enak badan, tidak nyaman di dada, atau kesulitan bernapas.

Selama 23 hari kerja dari 21 Agustus hingga 12 September 2008, suhu kulit dari para pelancong 'gejala' yang diundang untuk berpartisipasi diukur menggunakan ITIS (ThermaCAM E45, FLIR Systems, Swedia). 

Hasilnya, tidak satu pun dari 30 pelancong 'gejala' yang kemudian diidentifikasi sebagai terinfeksi influenza memiliki suhu 37,8 C. Ini adalah tingkat suhu yang digunakan oleh Centers for Disease Control (CDC) dalam mendefinisikan 'penyakit mirip influenza'.

Skrining Demam Bukan Strategi yang Efektif dalam Mendeteksi Individu yang Terinfeksi Virus

Dalam penelitian lain yang dilakukan Canadian Agency for Drugs and Technologies in Health pada 2014, diketahui bahwa penapisan demam (menyaring orang yang demam) di bandara internasional umumnya tidak efektif dalam mendeteksi H1N1-2009 (virus SARS) dan virus influenza lainnya, atau demam berdarah. 

Penelitian ini menyimpulkan bahwa alat thermal scanner seperti IRT (Infrared Thermography) tidak akan cocok sebagai alat penyaringan rutin karena tingginya jumlah positif palsu.

Petugas mengawasi thermal scanner di Bandara Internasional Ngurah Rai Bali (Antara/Fikri Yusuf)
Petugas mengawasi thermal scanner di Bandara Internasional Ngurah Rai Bali (Antara/Fikri Yusuf)

Alasan untuk hasil ini mungkin karena keterlambatan munculnya gejala demam untuk penyakit menular seperti influenza atau SARS. Infeksi yang berhubungan dengan virus influenza dimulai beberapa jam sebelum timbulnya gejala, dan viremia (keberadaan virus dalam darah) dari penyakit demam berdarah dimulai satu hari sebelum timbulnya gejala demam. 

Dengan kata lain, skrining demam bukanlah strategi yang sangat efektif dalam mendeteksi individu yang terinfeksi virus.

Karena itu, dalam sebuah makalah panduan yang dibuat oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (Centers for Disease Control/CDC) untuk petugas bandar udara dan kesehatan masyarakat, mereka mencantumkan apa yang mereka lihat sebagai masalah dengan perangkat thermal scanner. 

Termasuk diantaranya adalah biaya, kurangnya presisi, kebutuhan untuk kalibrasi dan pemeliharaan serta persyaratan pelatihan yang harus sering dilakukan. Menguji kemanjuran untuk menilai pemindai termal besar itu sulit karena banyaknya model yang tersedia.

Jika thermal scanner dianggap kurang efektif dalam menyaring orang yang benar-benar terkena virus, mengapa alat ini malah banyak digunakan pemerintah?

Thermal Scanner Sekedar Menimbulkan Efek Placebo

Dari sisi teknis, penggunaan thermal scanner difungsikan untuk mendeteksi dini orang yang terkena gejala terjangkit virus tertentu dilihat dari suhu tubuhnya. 

Dengan menyingkirkan suspect, setidaknya pemerintah sudah berusaha meminimalisir terjadinya penularan seandainya memang benar suspect tersebut terinfeksi virus.

Dari sisi psikologis, penyaringan demam seperti ini bisa menimbulkan efek placebo. 

Menurut peneliti dari Institut de Veille Sanitaire, "Efek meyakinkan psikologis pada publik dapat memengaruhi keputusan untuk menerapkan penyaringan semacam itu, seperti yang terjadi di Singapura dan Kanada. Para pembuat kebijakan mungkin merasakan tekanan untuk menggunakan (termometer inframerah non-kontak)."

Maksudnya, ada tekanan untuk meyakinkan masyarakat bahwa pemerintah sudah mengambil tindakan preventif, yakni dengan memasang thermal scanner di bandara dan pintu masuk lain. Sekalipun secara ilmiah alat semacam ini tidak efektif untuk mendeteksi individu yang terinfeksi.

"Tetapi negara-negara ini juga mengakui bahwa publik dapat kehilangan kepercayaan terhadap tindakan ini jika kasus yang tidak terdeteksi telah memasuki negara dan menghasilkan kasus sekunder," tegas studi yang sama dari Institut de Veille Sanitaire.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun