Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Social Justice Warrior, Pejuang atau Pecundang?

11 November 2019   23:33 Diperbarui: 14 November 2019   23:02 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Social Justice Warrior (sumber foto: unsplash.com/@kymasm)

Di laman Facebook Radio Suara Surabaya, seorang warga melaporkan (baca: mengeluh) perihal ditutupnya jalan di sebuah kampung karena ada warganya yang sedang menggelar acara pernikahan.  Menurut si pelapor, jalan umum tidak seharusnya digunakan untuk kepentingan pribadi yang harus mengorbankan pengguna jalan lainnya.

Dari sekian ratus komentar yang menanggapi postingan tersebut, saya membaca hampir semuanya malah menyudutkan si pelapor.

"Lha mbok pikir iku dalane Mbahmu ta?" (Apa kamu pikir itu jalannya kakekmu?)

"Iki pasti wong sugih sing gak tau urip nang kampung." (Ini pasti orang kaya yang tak pernah hidup di kampung)

"Ngoco Mas, yo ngene iki sing jenenge teposeliro. Wong kampung gak iso nyewo gedung, dadine mantenane nang pinggir dalan. Gak koyok awakmu!" (Ngaca Mas, ya begini ini yang namanya toleransi. Orang kampung tidak bisa menyewa gedung, akhirnya acara pernikahan digelar di pinggir jalan. Tidak seperti dirimu!)

Berbagai komentar sejenis itu menandakan bahwa alih-alih mendukung apa yang disampaikan pelapor, netizen malah menyalahkan si pelapor. Bahkan banyak netizen yang cenderung meng-insult pelapor.

Si pelapor, dalam kaidah fenomena terkini termasuk dalam kategori Social Justice Warrior (Pejuang Keadilan Sosial, selanjutnya disingkat SJW).  Apa yang dilaporkannya adalah sesuatu yang menurut pandangan pribadinya tidak adil.

Mengapa banyak yang mencerca SJW?

Masalahnya, mengapa dia malah mendapat cercaan yang menjurus pada penghinaan pribadi dari netizen non SJW?

Fenomena insulting terhadap SJW bukan hal yang baru lagi. Beberapa waktu lalu, netizen sempat adu argumen perihal tingkah beberapa warga saat baru pertama kali naik MRT di Jakarta.

Para SJW mengatakan kelakuan "udik" yang diperlihatkan warga yang baru pertama kali naik MRT itu adalah hal yang memalukan dan tidak seharusnya dipertontonkan.

Tak lama kemudian, banyak netizen non-SJW yang membalas bahwa perilaku "kampungan" itu adalah hal yang wajar.

Netizen yang kontra dengan SJW memberikan sanggahan dengan mengunggah suasana di Jepang, Inggris dan Amerika Serikat saat warganya pertama kali mencoba MRT. Pada akhirnya, para SJW pun menghilang dari linimasa media sosial.

Jika merunut pada singkatannya, SJW seharusnya menjadi pejuang. Dia memperjuangkan apa yang menurut keyakinannya merupakan suatu hal yang tidak adil. Kenyataannya, banyak SJW yang ketika tidak bisa berargumentasi mempertahankan pendapatnya malah terlihat seperti pecundang.

Hal ini karena sebagian besar SJW hanyalah pakar imajinasi. Ketika mereka belum pernah mengalami sendiri hal yang terjadi, maka semua imajinasi mereka adalah hal yang mereka yakini.

Contohnya seperti si pelapor di atas. Dia belum pernah mengalami hidup di kampung.

Maka, imajinasinya berkembang menjadi sebuah keyakinan bahwa semua jalan umum harus steril dari kepentingan pribadi. Keyakinannya tumbuh menjadi ilusi bahwa apa yang dilaporkannya adalah hal yang benar.

SJW, dari Pejuang Menjadi Pecundang

Ulah netizen non SJW yang sering mencerca para SJW sebagian besar didasarkan pada ketidakkonsistenan SJW, jika tidak mau disebut lebih kasar: hipokrit atau munafik. Para SJW dianggap hanya bisa melempar kritik dan menyalahkan, tanpa mau melihat realita yang ada.

Dari istilah yang semestinya positif (jika melihat arti harfiah dari kata yang membentuknya), SJW sekarang menjadi suatu istilah yang mengandung konotasi negatif. Pejuang menjadi Pecundang.

SJW telah menjadi istilah yang merendahkan bagi seseorang yang mempromosikan pandangan progresif sosial, khususnya, yang terkait dengan liberalisme sosial, inklusivitas budaya atau feminisme.

Tuduhan bahwa seseorang adalah seorang SJW membawa implikasi bahwa mereka hanya mengejar validasi pribadi dan pembenaran diri daripada keyakinan mendalam akan suatu kebaikan.

Kritik terhadap SJW memang perlu dilakukan, bukan atas dasar pandangan mereka. Melainkan atas ketidakkonsistenan mereka dalam menerapkan standar sebuah kebaikan.

Ketika SJW melemparkan kritik yang bertujuan untuk mengubah perilaku kita menjadi lebih baik, maka hal yang sama juga semestinya sudah mereka lakukan sendiri. Kritik mereka harus disandarkan pada pengalaman pribadi, bukan atas dasar imajinasi.

Di satu sisi, SJW itu memang sudah ditakdirkan ada, karena jika semua orang itu non SJW maka dunia ini akan monoton. SJW perkotaan, SJW plastik, SJW lingkungan, SJW binatang, SJW all item. Itu semua adalah bagian dari lini masa kehidupan yang akan selalu kita alami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun