Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Penyerangan terhadap Wiranto, Sebuah Simbol dengan Narasi yang Menyudutkan Islam

11 Oktober 2019   11:03 Diperbarui: 11 Oktober 2019   21:25 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Sebagai Menkopolhukam, Wiranto adalah simbol kekuasaan. Dari sisi pemerintah, simbol itu diperlukan untuk meyakinkan masyarakat akan bahaya radikalisme, terutama yang dikaitkan dengan potensi keberadaan ISIS di Indonesia.

Harus diakui, narasi untuk memerangi radikalisme agama praktis menemui jalan buntu. Masyarakat, terutama dari kalangan Islam yang berseberangan dengan garis kebijakan pemerintah selalu bersikap apatis dan skeptis. Mereka menganggap isu bahaya radikalisme hanya akal-akalan pemerintah untuk membatasi gerak mereka, terutama dalam bidang politik.

Jujur saja, terlepas dari sikap oposisi saya terhadap pemerintah, saya ingin mempercayai bahwa insiden penyerangan itu adalah faktual, bukan settingan. Bahwa memang ada niat dari pelaku untuk melakukan teror dengan menyerang pejabat negara, yang "kebetulan" korbannya adalah Pak Wiranto.

Tapi, tetap saja di sudut hati terbersit keraguan. Apalagi di media sosial bertebaran berbagai macam teori konspirasi. Begitu pula dengan informasi yang disampaikan media massa, saling bertolak belakang. Entah mana yang benar, saya tidak tahu.

Maka, insiden penyerangan terhadap Wiranto ini seperti sebuah simbol "yang diciptakan" untuk memerangi radikalisme. Insiden penyerangan terhadap pejabat tinggi sekelas Menkopolhukam adalah momentum untuk menciptakan simbol yang bisa menyadarkan masyarakat akan bahaya radikalisme dan ISIS.

Di satu sisi, simbol-simbol yang diidentifikasikan ada pada pelaku terkesan sangat menyudutkan ajaran Islam. Narasi dari media seolah dibuat untuk menggiring opini agar masyarakat percaya bahwa muslim yang berjenggot, bercelana cingkrang dan kalau yang perempuan memakai cadar rentan terpapar radikalisme dan terorisme

Jelas ini adalah langkah kontradiktif dalam memerangi bahaya radikalisme itu sendiri. Semakin sering media (dan juga pemerintah) membuat narasi semacam ini, semakin tumbuh subur pula ketidaksukaan kelompok-kelompok tertentu terhadap pemerintah itu sendiri.

Berjenggot, bercelana cingkrang atau memakai cadar adalah bagian dari ajaran dan budaya Islam. Terlepas dari masalah khilafiyah pada sebagian golongan dalam Islam sendiri, tak semestinya media massa terus membuat narasi yang menyudutkan semacam ini. 

Tapi faktanya bisa kita baca sendiri, setiap kali ada kejadian terorisme, simbol-simbol yang ada selalu diiringi dengan narasi yang menyudutkan ajaran Islam.

Sudah waktunya media massa Indonesia bisa bersikap bijak dalam memberitakan aksi teror pada masyarakat. Jangan membentuk narasi yang menyudutkan agama atau golongan tertentu, sekalipun pada diri pelaku ada simbol-simbol yang mengarah pada identitas agama atau golongan tersebut.

Tak ada agama apapun yang mengajarkan terorisme pada pemeluknya. Tak ada satu pun agama yang mengajarkan kekerasan pada masyarakat umum. Tak ada satu pun agama yang permisif terhadap segala bentuk tindakan yang menghadirkan kekacauan dalam masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun