Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Apakah Puasa Ramadan Bisa Membuat Saya Bertakwa?

6 Mei 2019   08:33 Diperbarui: 6 Mei 2019   08:41 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (dokumentasi Himam Miladi)

Apa harapan saya di bulan Ramadan ini?

Pertanyaan ini kesannya sederhana sekali. Namun ternyata jawabannya butuh pemikiran dan perenungan yang mendalam. Dalam menjawab pertanyaan tentang harapan di bulan Ramadan ini, saya memisahkannya antara dimensi pribadi dan dimensi sosial kemasyarakatan.

Jika dijawab dalam konteks menjalankan ibadah puasa, tentu kita, terutama saya pribadi berharap ibadah kita berjalan lancar dan khusyu' sehingga nanti bisa mencapai tujuan dari ibadah puasa itu sendiri, yakni La'allakum Tattaquun, menjadi orang yang bertakwa.

Dalam prosesnya, ibadah puasa kita bisa jadi lancar dan khusyu', terlaksana satu bulan penuh tanpa pernah absen. Baik itu puasanya sendiri, maupun ibadah-ibadah sunnah lain yang dianjurkan dan mengiringi ibadah puasa tersebut. Tapi untuk mencapai tujuannya, menjadi orang yang bertakwa ternyata tidak semudah mengucapkan kata-katanya.

Menghayati makna Takwa

Takwa, kata yang sudah diserap dengan baik oleh bahasa Indonesia tidak asing terdengar di telinga setiap muslim. Dari segi bahasa, kata taqwa memiliki arti "memelihara" atau "menghindari".

Menurut Quraish Shihab, dalam konteks agama, arti memelihara tersebut berkaitan dengan "diri atau keluarga", dan arti "menghindari" dikaitkan dengan siksa Allah di dunia ini dan di akhirat kelak. Berdasarkan etimologinya ini, para ulama kemudian mendefinisikan taqwa sebagai "melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya".

Apa saja perintah dan larangan Allah?

Al Quran menyebutkan perintah Allah dalam beragam gaya bahasa, beragam makhluk yang diperintah dan beragam pula masalah yang diperintahkan-Nya. Ada perintah yang ditujukan pada semua umat manusia, ada perintah yang ditujukan pada umat yang beriman saja, ada pula perintah yang ditujukan pada pada binatang dan alam semesta. Ada perintah Allah yang berkaitan dengan syariat agama, ada pula yang berkaitan dengan hukum-hukum alam dan hukum kemasyarakatan (sunnatullah). Begitu pula dengan larangan-Nya.

Apakah Puasa Ramadan bisa membuat saya bertakwa?

Puasa adalah salah satu perintah Allah yang berkaitan dengan syariat agama. Dalam bahasa Al Quran, puasa atau shiyam berarti "menahan diri". Apa yang harus ditahan? Hawa nafsu.

Naluri alami manusia, yakni memenuhi hawa nafsu khususnya kebutuhan jasmani (makan, minum dan hubungan seks) menempati urutan teratas dalam tingkatan segala macam kebutuhan manusia. Daya tariknya begitu kuat, sehingga tidak jarang manusia bisa terjerumus karenanya. 

Seseorang yang mampu mengendalikan kebutuhan paling dasar ini diharapkan mampu pula menahan dan mengendalikan dorongan naluriah atau hawa nafsu lain yang justru berada di peringkat bawah dibandingkan kebutuhan jasmani tadi. Itulah sebabnya mengapa syarat sahnya puasa dalam ajaran islam adalah "menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual."

Secara dhohir atau kasat mata, kita terlihat sudah menjalankan ibadah puasa. Kita mampu menahan diri untuk tidak makan, minum dan berhubungan seksual dalam batas waktu yang ditentukan syariat agama. Apakah dengan demikian kita sudah menjadi orang yang bertakwa?

Ternyata belum sepenuhnya. Kita memang sudah mampu menahan diri untuk tidak makan, minum dan berhubungan seksual. Tapi sebagian besar dari kita yang berpuasa tidak mampu untuk menahan diri dari nafsu-nafsu yang lain yang bahkan lebih kecil. Banyak muslim yang meskipun badannya puasa, tapi rohaninya tidak mampu menghindari larangan-larangan Allah yang lain.

Tidak boros dan tidak berlebihan, bentuk Takwa yang sederhana.

Contoh kecil dari ketidakmampuan kita untuk menahan diri dan menghindari larangan Allah yang lain,  yang sering kita lakukan sehari-hari meskipun kita sudah "puasa" adalah larangan Allah untuk tidak boros.  

"Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan." (QS. Al Isro': 26-27).

Bukalah lembar catatan puasa kita di bulan Ramadan tahun-tahun sebelumnya. Adakah kita tidak berlaku boros? Adakah pengeluaran kita di bulan Ramadan lebih hemat dibandingkan bulan-bulan yang lain?

Jujur saja, kita justru semakin boros di bulan Ramadan. Pengeluaran bulanan kita jauh lebih banyak di bulan Ramadan. Hamparan makanan dan minuman yang tersaji di meja makan kita jauh lebih beragam dan lebih melimpah dibandingkan bulan-bulan biasa.

Mengapa sampai terjadi kontradiksi, antara praktik fiqh puasa dengan praktik ekonomi selama Ramadan seperti ini? Mengapa kita menjadi lebih konsumtif di bulan Ramadan?

Karena pada dasarnya kita tidak memaknai arti puasa dengan sebenar-benarnya. Puasa kini kita artikan hanya sebatas ritual menahan lapar , dahaga dan dorongan seksual belaka dalam jangka waktu tertentu. Ketika waktu itu sudah selesai, kita pun melepas dorongan  kebutuhan jasmani yang sudah kita tahan hampir setengah hari itu sebebas-bebasnya. Beli ini beli itu secara berlebihan. Puasa kita adalah puasa balas dendam.

Jika untuk larangan Allah yang paling sederhana saja- "jangan boros/berlebih-lebihan"- kita sering melanggar dan tidak mempedulikan,  bagaimana kita bisa meraih gelar takwa? Bagaimana kita bisa mewujudkan harapan kita untuk menjadi manusia yang bertakwa?

Allah melalui Rasul-Nya melarang kita untuk berbuat boros dalam segala hal, kendatipun itu untuk keperluan berwudhu. "Tidak ada kebaikan di dalam pemborosan, tidak ada pula pemborosan (walau) dalam kebaikan. Meskipun berada di sungai, janganlah berwudhu secara berlebih-lebihan," demikian sabda Rasulullah.

Bagaimana caranya menghindari sikap boros? Bagaimana kita bisa membiasakan diri untuk tidak berlebihan, terutama di bulan Ramadan?

Mulailah dari lingkungan terkecil, dari hal-hal yang sederhana. Seperti yang disampaikan Allah dalam Al Qur'an, 

"Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan (QS. Al A'raf: 31).

Ingatkan anggota keluarga untuk tidak memasak atau membeli makanan secara berlebih. Seandainya berlebih, jangan biarkan makanan itu menjadi basi. Jika kita membeli karena kasihan pada penjualnya, sementara kita enggan memakannya, hadiahkan makanan itu pada orang lain, karena di luar sana masih banyak mulut yang menanti disuapi. Apalagi di bulan puasa, kita dianjurkan untuk banyak bersedekah.

Itulah hakikat dari harapan saya di bulan Ramadan dalam dimensi pribadi. Menghindari sikap boros dan berlebihan selama bulan Ramadan. Menghindari paradoks Ramadan yang sering jadi ironi dalam konteks ibadah puasa kita.

Bagaimana dengan harapan saya dalam dimensi sosial kemasyarakatan?

Masih berkaitan dengan sikap boros. Larangan untuk tidak boros ini berlaku dalam segala hal, bukan cuma untuk makan dan minum saja. Seandainya kita semua menyadari betapa bahayanya sikap boros ini, dan betapa bermanfaatnya apabila kita bisa menghindarinya, dampaknya akan terasa besar dalam dimensi sosial kemasyarakatan kita.

Contoh sederhananya adalah tidak boros waktu. Artinya, kita benar-benar memanfaatkan waktu yang ada ini untuk kebaikan semata. Tidak mempergunakannya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, apalagi untuk maksiat.

Kita manfaatkan waktu luang untuk membaca Al Quran, alih-alih menggunjingkan orang. Kita gunakan teknologi internet untuk mengisi waktu luang yang ada dalam rangka mencari ilmu. Bukan cuma sekedar berselancar di dunia maya dan membagikan berita-berita yang tidak jelas sumbernya yang mengarah pada fitnah.

Lihatlah betapa besar dampaknya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan kita. Suasana kondusif tercipta. Kerukunan antar umat dan golongan juga tetap terjaga. Terlebih kita baru saja dan masih dalam suasana kontestasi politik yang sangat menegangkan. Yang kita sadari sudah memecah belah kita, sudah mem-polarisasi kita dalam kutub-kutub perbedaan yang mengancam persatuan.

Dengan adanya Ramadan, bulan ibadah yang suci dan mulia ini, kita berharap hakekat dari ibadah puasa benar-benar bisa kita hayati sepenuhnya. "Menahan diri", tidak hanya untuk urusan kebutuhan jasmani saja, tapi juga dalam segala hal yang bisa merusak tatanan kehidupan sosial kita sehari-hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun