Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Jangan Berhenti Menulis, Karena Kamu adalah Berlian yang Belum Terasah

13 Desember 2018   22:59 Diperbarui: 16 Desember 2018   12:30 2502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (unsplash.com/@bradneatherly)

Sebenarnya, artikel ini sudah saya siapkan draft-nya dan hendak saya beri judul "Tips mengatasi rasa kurang percaya diri saat mulai menulis". Namun, ketika menengok beranda Kompasiana, ada satu artikel utama  yang menarik perhatian saya.

Ditulis oleh Karla Wulayanati, yang menceritakan dirinya ingin berhenti menulis karena satu sebab utama: Kurang Percaya Diri. Benar tidak?

Saya tak akan berpanjang lebar mengulas detail tulisannya. Jadi, ijinkan saya langsung fokus pada masalahnya, yakni bagaimana mengatasi rasa kurang percaya diri saat mulai menulis.

Apa yang dialamai Karla sama persis dengan yang saya alami waktu pertama kali menulis di Kompasiana. Meski jauh sebelumnya saya memiliki sedikit pengalaman menulis. Berbekal ilmu yang didapat sewaktu aktif di Lembaga Pers Mahasiswa, sempat menjadi pimpinan redaksi dan editornya pula.

Tapi, menulis di majalah kampus tentu saja berbeda dengan menulis di platform blog bersama yang sudah punya nama. Basic tulisan saya adalah jurnalistik, dengan gaya bahasa mirip pembawa acara di televisi. Karena masa itu adalah masa-masa bahagia menjadi mahasiswa, tentu saja kosakata saya tak jauh dari diksi dan frasa yang ilmiah pula. Mengandung nilai filosofi dan idealisme ala mahasiswa yang tinggi.

Saya lalu masuk ke Kompasiana karena satu sebab. Saat itu (2012) sedang terjadi adu argumen dan adu artikel yang sangat ramai di kanal/rubrik Bola. Itu adalah masa-masa terjadinya perebutan kekuasaan di PSSI, antara Nurdin Halid dan kelompok reformis sepakbola.

Seperti yang dialami Karla, saya pun merasa tidak percaya diri untuk menuliskan argumen atau pendapat saya tentang sepakbola Indonesia. Apalagi saat membaca artikel-artikel dari Kompasianer yang sudah beberapa tahun terlebih dahulu eksis disini, dan sudah memiliki segudang pengalaman menulis serta segurun istilah-istilah sepakbola.

Tapi, saya coba saja menuliskan apa yang ingin saya kemukakan. Hasilnya? Amboi.....persis seperti anak TK yang sedang belajar mengarang indah.

Apakah saya lantas putus asa? Oh no, tentu saja tidak. Justru dari situlah timbul semacam passion, gairah untuk terus menulis. Dari sebuah awal yang buruk itulah saya belajar banyak.

Seperti yang Karla bilang, 

"Jangan berhenti belajar karena hidup tidak akan berhenti memberi pelajaran. Kegagalan akan menjadi keberhasilan jika kita belajar dari kegagalan."

That's the point! Itu intinya yang sudah dijelaskan dalam susunan kalimat yang indah oleh Karla.

Dari artikel pertama yang acak adut itu, saya lalu belajar untuk memperbaiki. Satu demi satu, pelan-pelan. Dimulai dari pemilihan diksi yang tepat. Kemudian memperbaiki struktur kalimat. Lantas mencoba menemukan tone/suara dan gaya bahasa yang khas, sesuai dengan kepribadian saya sendiri.

Lalu, satu demi satu pula artikel saya ditayangkan. Ada yang baik, namun masih banyak pula yang buruk. Ada yang jadi artikel utama, tapi tak sedikit pula yang sepertinya layak masuk tong sampah.

Hingga kemudian, berkat artikel-artikel sepakbola di Kompasiana, saya dikenal oleh banyak pentolan suporter sebagai salah satu analis, penulis spesialis PSSI. Secara perlahan pula, tulisan-tulisan saya mendapat tempat dan apresiasi tersendiri. Meskipun (dengan banyak merendahkan hati), menurut saya pribadi, tulisan saya belum layak diapresiasi seperti itu.

Ok, sudah cukup kiranya saya monolog tentang diri sendiri. Pertanyaan utamanya adalah, bagaimana cara mengatasi rasa kurang pede itu?

Cuma ada dua tips, untuk Karla, dan siapapun yang ingin mulai menulis.

1. You're the writer
Kamulah penulisnya. Terkadang komentar dari pembaca acap kali tidak berkenan di hati kita sebagai penulis. Tapi lihat berita baiknya; kau lah penulisnya, bukan mereka.

Tulislah apa yang menjadi fantasimu, bukan fantasi mereka. Tulislah tentang duniamu, bukan dunia mereka. Tulislah pengetahuanmu, bukan pengetahuan mereka.

2. You're a diamond (in the rough)
Kamu adalah berlian yang belum terasah sempurna. Jangan merasa minder dengan karya tulis orang lain (terutama penulis ternama). Saat mulai menulis, kita sadar bahwa kita bukan penulis profesional. Tapi dengan usaha keras, belajar dan berlatih serta memperbaiki setiap kesalahan, yakinlah bahwa kelak kita pun bisa menjadi salah satu dari mereka.

Ingatlah, tak ada batu mulia yang tercipta dari lembutnya perlakuan alam. Sebaliknya, mereka harus bermilyar-milyar kali merasakan tempaan kerasnya evolusi.

Sebuah pedang besi harus bekali-kali ditempa dengan api & besi pula agar dapat digunakan pemiliknya. Untuk menjadi seorang penulis ternama, dengan karya-karya masterpiece, kita harus berulang kali menulis, harus berani ditempa oleh kritik dan komentar-komentar pedas.

Last but not least, banyaklah membaca tulisan orang lain. Dalam tulisan mereka, mungkin ada ilmu yang bisa kita ambil. Lagipula, dengan membaca tulisan mereka, itu artinya kita sudah menghargai jerih payah mereka. Kelak, tulisan kita lah yang akan mereka baca. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun