Mohon tunggu...
Andi Mirati Primasari
Andi Mirati Primasari Mohon Tunggu... Full Time Blogger - i love reading and writing.. thanks Kompasiana, sudah menjadi langkah awal saya untuk mulai ngeblog..

Lahir dan besar di Makassar, dan saat ini menetap di Jakarta menjalani kesibukan sebagai seorang istri merangkap karyawati swasta.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Kejelasan Status Hukum TPK Koja, Akankah Sekadar Angan?

16 November 2018   18:42 Diperbarui: 19 November 2018   12:16 2248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terminal Peti Kemas di Pelabuhan Tanjung Priok (sumber: SP JICT)

Ketika pertama kali membaca buku Konspirasi Global di Teluk Jakarta, karya Ahmad Khairul Fata, pikiran saya langsung tertarik pada halaman-halaman pertama buku ini yang membahas mengenai sejarah berdirinya pelabuhan Tanjung Priok, dilanjut cikal bakal lahirnya Pelindo II, hingga pembahasan mengenai kasus perpanjangan kontrak JICT-TPK Koja yang terindikasi ada kongkalikong pihak asing dengan Manajemen Pelindo II di baliknya.

Satu hal yang membekas di benak saya ketika kasus Pelindo II sedang heboh-hebohnya, adalah saat itu wajah Rieke Diah Pitaloka, ketua Pansus Pelindo II di DPR, sering sekali muncul di berbagai media. Bukan hanya untuk mengusut kasus ini secara tuntas, namun ia juga turut membela kaum pekerja di Pelindo II yang dikabarkan mengalami ketidakadilan, dimana sebagian mereka ada yang di-PHK karena digantikan oleh tenaga outsourcing.

Pelabuhan adalah aset bangsa yang wajib kita jaga. Pelabuhan merupakan gerbang dan pusat ekonomi nasional, di mana miliaran uang berputar di sana. Selain itu, lancar atau macetnya pelayanan di pelabuhan turut menentukan arus isu politik di negeri ini. 

Posisi pelabuhan yang sangat strategis dari segala aspek, termasuk ekonomi maupun politik, sudah pasti merupakan suatu aset yang sangat menggiurkan bagi banyak pihak, terutama yang memiliki kepentingan di baliknya.

Jika ditinjau dari segi kedaulatan, pelabuhan juga merupakan simbol otoritas bangsa dalam pengelolaan sumber daya suatu wilayah. Berbagai keuntungan tersebutlah yang membuat banyak orang ingin masuk dan menguasai pelabuhan. Peluang terbuka lebar ketika Pemerintah dan DPR mengesahkan UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang nampak liberal dari sisi kemungkinan masuknya investasi asing.

Namun bagaimanapun juga, negara kita masih memiliki UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang akan mematahkan statement bahwa aset bangsa bisa dijual dengan semena-mena ke pihak luar. Pasal tersebut menegaskan bahwa Indonesia memiliki otoritas penuh untuk mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.

Dikutip dari Kompas.com, Badan Pemeriksa Keuangan telah menyelesaikan seluruh audit investigatif terhadap PT Pelindo II yang diajukan Panitia Angket DPR. Dari audit itu, ditemukan kerugian negara mencapai Rp 14,68 triliun. Hal ini mengindikasikan bahwa pelabuhan benar-benar merupakan sebuah lahan yang sangat prospektif untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.

Keterlibatan pihak asing sedikit banyak telah mengecewakan para pekerja lokal yang menafkahkan diri di Tanjung Priok. Apalagi kenyataan bahwa pemilik modal bisa mengintervensi kebijakan ke level paling bawah, dampaknya luar biasa, karena bisa berakibat PHK kepada beberapa karyawan yang telah lama mengabdi pada perusahaan tersebut.

Terminal Peti Kemas di Pelabuhan Tanjung Priok (sumber: SP JICT)
Terminal Peti Kemas di Pelabuhan Tanjung Priok (sumber: SP JICT)
Selain JICT, Pelindo II juga mengelola KSO TPK Koja yang berkantor di Jalan Digul No.1 Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia. Terminal Peti Kemas ini didirikan pada 16 Agustus 1994. KSO TPK Koja dikelola dan dioperasikan oleh Pengelola TPK Koja yang terdiri dari General Manager, Deputi General Manager (DGM) Bidang Teknik dan Informasi, DGM Bidang Keuangan, DGM Bidang Sumber Daya Manusia dan Administrasi, DGM Bidang Operasional.

Saat awal berdiri sebagai terminal peti kemas baru, TPK Koja mampu membukukan prestasi gemilang. Dalam dua tahun beroperasi, arus peti kemas (Throughput) yang melalui TPK Koja pada tahun 1998 mengalami peningkatan sebesar 287.676 TEUs (109% ) dibanding tahun 1997 yang hanya sebesar 137.821 TEUs.

Dari tahun ke tahun, hingga pada tahun 2004, kapasitas pencapaian produksinya mampu melayani hingga 558.259 TEUs sehingga menghasilkan total laba bersih Rp.345.859.056.000 yang telah disetor ke negara pada tahun 2004 (Laporan BPK).

Berdasarkan angka perolehan di atas, TPK Koja tercatat mampu melampaui JICT lima kali lipat dalam hal deviden yang disetorkan untuk negara. Hal ini tak terlepas dari visi, misi, dan nilai yang diyakini (belief) oleh para pekerja akan masa depan TPK Koja di masa mendatang.

Namun, imbalan apa yang diterima oleh TPK Koja beserta pekerjanya selain masa depan yang tidak jelas?

Sekilas, perpanjangan kontrak HPH di TPK Koja memuat klausul yang boleh dianggap menguntungkan Pelindo II, memuat kewajiban Hutchison Port Holdings (HPH) selaku investor dari Hongkong untuk membayar rental fee setiap tahun sebesar US$ 35 juta. Kenyataanya, rental sebesar itu pun dibayar oleh TPK Koja sendiri, bukan oleh HPH.

Dari sini, HPH seakan tak melakukan investasi, melainkan berpesta pora. Besaran angka ini menimbulkan kecurigaan, apalagi penelitian yang dilakukan Pansus DPR-RI tentang Pelindo II, menyebutkan angka tersebut diduga tanpa valuasi sama sekali. HPH bukannya tidak tahu, tetapi mimpi memonopoli pelabuhan Tanjung Priok nampaknya menjadi objective goal untuk menyiapkan dana berapapun dan resiko apapun.

Selain itu, audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan terdapat kerugian Negara sebesar Rp. 1,08 triliun.

Karena itu, DPR RI mendesak pemerintah untuk membatalkan perpanjangan kontrak HPH karena terindikasi melanggar UU No. 17/2008 tentang Pelayaran dan merugikan keuangan Negara sesuai dengan hasil audit investigasi BPK.

Sesungguhnya berbagai torehan prestasi dan ide-ide brilian yang ditorehkan anak bangsa di perusahaan berkelas internasional seperti PT. JICT danTPK Koja semakin memberi bukti bahwa kemampuan SDM kita tak bisa dianggap remeh. 

Selama bertahun-tahun, para pekerja PT. JICT dan TPK Koja mengasah keahlian di perusahaan tempat mereka bekerja, hingga sangat ekspert menangani sistem yang paling sulit sekalipun. Inilah modal inti untuk berdikari.

Saat ini mungkin tak banyak lagi pejabat Pemerintahan bahkan publik yang ingat bahkan peduli dengan perusahaan yang bernama Kerjasama Operasional Terminal Petikemas Koja (KSO TPK Koja), apalagi  bila dibandingkan dengan perusahaan sejenis yang ada di sebelahnya yaitu PT.JICT.

Padahal sekitar tahun 1997, KSO TPK Koja pernah disebut-sebut sebagai Booming's Port untuk Asia Tenggara, mengingat berbagai fasilitas yang serba 'newest generation'pada waktu itu. Kenapa KSO TPK Koja tidak lagi bersinar seperti ketika pertama dilahirkan?

Pasalnya, direncanakan atau tidak berbagai upaya pengkerdilan KSO TPK Koja terus dilakukan baik dari sisi marketing communication ke publik maupun penyempitan lahan, baik karena disewakan oleh PT. Pelindo II kepada PT Graha Segara (depo petikemas) dan PT Aneka Kimia Raya untuk Instalasi Tanki Penyimpanan Bahan Bakar cair. Selain itu, yang lebih mengenaskan lagi adalah pengalihan lahan untuk perluasan Container Yard PT. JICT ke arah area TPK Koja.

Para pekerja juga menyayangkan status KSO TPK Koja yang hingga kini belum beralih juga menjadi Perseroan Terbatas (PT), berdampak ketidakjelasan status kepegawaian.

Status KSO ini sangat menguntungkan bagi pihak Hutchison, yang berarti akan menciptakan peluang monopoli, persaingan usaha yang tidak sehat di pelabuhan. Pembelian saham di KSO TPK Koja memang direncanakan agar tidak ada kompetitor di Pelabuhan, bukan untuk kemajuan TPK Koja itu sendiri. Buktinya sampai saat ini status KSO terus dibiarkan karena memang tidak penting.

Bagi TPK Koja, tak ada pilihan kecuali mencari orang tua angkat, karena PT. Pelindo II selaku orang tua kandung tidak berkenan memperjelas status serta peran TPK Koja secara signifikan yang bisa jadi karena intervensi dari HPH.

Atas hal ini, di tengah perjuangannya membela hak para karyawan, Serikat Pekerja JICT (SP JICT) dan TPK Koja bersama jaringan internasionalnya harus aktif mencari orang tua angkat, apabila pihak Pelindo II masih belum bertindak menentukan sikap positif untuk kejelasan TPK Koja.

Selain itu, pendekatan terhadap Kementerian dan lembaga terkait harus lebih diintensifkan, agar kasus penyimpangan privatisasi tak berlarut-larut dan semakin memperbesar kerugian bagi negara dan hajat hidup orang banyak.

***

Sumber: Sebagian dari Buku Konspirasi Global di Teluk Jakarta, Karya Ahmad Khoirul Fata

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun