Mohon tunggu...
Firman Prima Laras
Firman Prima Laras Mohon Tunggu... Pekerja dan Mahasiswa

Seorang pekerja yang sedang menempuh 2 program studi yaitu: Hubungan Internasional dan Ilmu Pemerintahan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kemacetan Jakarta: Ruang Kontemplasi di Tengah Asap Knalpot dan Bising Klakson

29 Mei 2025   18:48 Diperbarui: 29 Mei 2025   18:47 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kemacetan Jakarta (Sumber: Suara.com/Alfian Winanto)

Jakarta, kota megapolitan yang katanya tak pernah tidur, kini justru sering terjebak dalam tidur panjang di tengah lautan kendaraan. Jalanan macet seolah menjadi ritual harian, di mana mesin-mesin menggeram, klakson bersahut-sahutan, dan manusia terkurung di dalam mobil atau motor, memandangi lampu merah yang tak kunjung berubah.

Tapi, di balik hiruk pikuk itu, saya rasa ada ruang kontemplasi yang terbuka lebar. Macet bukan sekadar soal infrastruktur yang sempit atau tata kota yang tak memadai. Ia adalah simbol peradaban manusia modern: hasrat untuk bergerak cepat, namun justru terjebak oleh ciptaan tangannya sendiri.

Apakah ini bukan cermin dari filsafat eksistensialisme? Ketika manusia menciptakan teknologi, jalan, kendaraan, dan sistem, tetapi lupa bahwa setiap ciptaan membawa konsekuensi. Jean-Paul Sartre mungkin akan berkata: Man is condemned to be free. Kita bebas memilih tinggal di Jakarta, bebas membeli kendaraan, bebas berkontribusi pada polusi, tetapi kita juga harus menanggung beban eksistensi itu, kemacetan adalah harga yang harus kita bayar.

Di satu sisi, fenomena ini juga menyentil filsafat Stoikisme. Dalam keterjebakan di jalan, kita belajar menerima apa yang tidak dapat kita ubah, dan mengarahkan energi pada apa yang bisa kita kendalikan: sikap kita, emosi kita, cara kita merespons. Menyulut kemarahan karena terlambat mungkin hanya memperkeruh batin, sementara menarik napas panjang dan menerima realitas dapat membawa kita pada kedamaian.

Dari kacamata Martin Heidegger, macet di Jakarta ini adalah panggilan untuk kembali pada "Kehadiran" kita, Dasein. Dalam rutinitas macet, kita dihadapkan pada keterbatasan: waktu terbuang, produktivitas menurun, emosi terkuras. Namun justru di situlah, kita dipaksa untuk mengingat bahwa hidup bukan hanya tentang efisiensi, tetapi tentang kehadiran kita di dunia.

Namun, filsafat jalanan Jakarta tak berhenti di sana. Ekologi kota memberi kita perspektif yang lebih dalam: kemacetan adalah salah satu wajah dari krisis ekologis perkotaan. Polusi udara, hilangnya ruang hijau, meningkatnya emisi karbon, hingga kenaikan suhu mikro-klimat kota adalah akibat dari dominasi kendaraan bermotor yang memenuhi setiap jengkal ruang. Di balik kaca mobil ber-AC, kita mungkin merasa aman, tetapi bumi Jakarta perlahan panas dan sesak. Pertanyaannya: sampai kapan kita bisa bertahan dengan model pembangunan kota yang rakus ruang dan energi ini?

Dari sisi ekonomi, kemacetan Jakarta mencerminkan paradoks pembangunan. Di satu sisi, ia menjadi indikator pertumbuhan ekonomi: semakin banyak orang yang mampu membeli kendaraan, semakin banyak aktivitas ekonomi yang terjadi. Namun di sisi lain, kemacetan adalah biaya tersembunyi yang mahal: hilangnya waktu produktif, kerugian energi, peningkatan biaya kesehatan akibat polusi, hingga pemborosan subsidi bahan bakar. Dalam teori ekonomi klasik, ini disebut sebagai negative externalities, biaya yang ditanggung oleh masyarakat luas, bukan hanya oleh pemilik kendaraan. Siapa yang akhirnya diuntungkan dari semua ini? Apakah kita sedang membangun ekonomi untuk semua, atau hanya untuk sebagian kecil yang bisa menikmati mobilitas pribadi?

Lalu, kita juga tak boleh lupa dengan dimensi politik. Kemacetan Jakarta bukanlah takdir yang turun dari langit, melainkan hasil dari kebijakan---atau lebih tepatnya--- ketiadaan kebijakan yang visioner. Tata ruang yang tak terintegrasi, pembangunan yang terfokus di pusat kota tanpa pemerataan, lemahnya komitmen pada transportasi publik, dan kebijakan populis yang memanjakan pemilik kendaraan pribadi---semua ini adalah keputusan politik. Di sinilah muncul pertanyaan yang lebih dalam: Apakah kebijakan kota kita dibuat untuk kepentingan bersama, atau hanya untuk melayani elite ekonomi dan politik tertentu? Dalam filsafat politik, inilah kritik atas keadilan distributif: siapa yang berhak atas ruang kota, dan siapa yang harus menanggung beban kemacetan?

Mungkin, Jakarta yang macet ini adalah laboratorium filsafat yang hidup. Di tengah deru klakson dan panas aspal, kita belajar tentang keterbatasan, tentang pilihan, tentang kebebasan, dan tentang bagaimana menjadi manusia yang utuh di dunia yang penuh kontradiksi.

Maka, besok ketika macet lagi, jangan hanya mengumpat. Mari kita bertanya pada diri sendiri: Apa yang aku pikirkan ketika terjebak di sini? Apa yang aku rasakan? Apa yang bisa aku terima? Dan apa yang bisa aku ubah?

Karena filsafat, sesungguhnya, bukan hanya di ruang kuliah atau buku-buku tebal, tetapi juga di jalanan Jakarta yang macet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun