Mohon tunggu...
Wiwiek Prihandini
Wiwiek Prihandini Mohon Tunggu... Dosen Akuntansi pada Perbanas Institute

Meminati masalah keuangan berkelanjutan, akuntansi lingkungan, perbankan, teknologi finansial, dan digital currency.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Infrastruktur Digital sebagai Fondasi EKONOMI DIGITAL Indonesia

26 Mei 2025   11:13 Diperbarui: 26 Mei 2025   11:13 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Digital generate.

Infrastruktur Digital sebagai Fondasi EKONOMI DIGITAL Indonesia.

Ekonomi digital telah menjadi motor baru pertumbuhan ekonomi nasional di banyak negara, termasuk Indonesia. Fenomena ini tidak hanya mengubah wajah sektor perdagangan dan jasa, tetapi juga mendorong transformasi mendalam dalam tata kelola pemerintahan, pendidikan, kesehatan, serta sistem keuangan. Namun, di balik semua kemajuan tersebut, ada prasyarat utama yang tidak harus ada, yaitu infrastruktur digital yang kuat, merata hingga seluruh wilayah, dan berkelanjutan.

Cakupan infrastruktur digital ini merupakan keseluruhan sistem yang memungkinkan aktivitas digital terjadi. Mulai dari jaringan telekomunikasi (fiber optic, BTS, satelit), koneksi pita lebar (broadband), pusat data, komputasi awan, serta sistem pendukung seperti sistem pembayaran digital dan arsitektur keamanan siber. Sebagaimana ditegaskan oleh Bukht dan Heeks (2018, h. 6), No digital economy can emerge or thrive without digital infrastructure. It is the very substrate upon which digital economic interactions are built. Di Indonesia, kebutuhan akan infrastruktur digital menjadi sangat krusial mengingat luasnya wilayah, tantangan geografis, dan ketimpangan pembangunan antar daerah.

Kebutuhan Infrastruktur Digital

Pertumbuhan ekonomi digital Indonesia sangat pesat. Laporan Google, Temasek, dan Bain & Company tahun 2023 mencatat bahwa nilai ekonomi digital Indonesia mencapai US$82 miliar, dengan proyeksi mencapai US$130 miliar atau sekitar Rp2.080 triliun pada 2025. Sektor yang paling dominan adalah e-commerce, transportasi daring, layanan keuangan digital, dan layanan berbasis konten. Namun, sayangnya pertumbuhan ini masih sangat terkonsentrasi di wilayah perkotaan, terutama di Pulau Jawa.

Di sinilah persoalan mendasarnya, yaitu tentang ketimpangan infrastruktur digital yang dapat menghambat pemerataan manfaat ekonomi digital. Masyarakat di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) belum dapat menikmati akses internet berkualitas, apalagi berpartisipasi dalam ekonomi digital. Padahal, seperti disampaikan Kominfo (2023), "akses terhadap internet yang cepat, aman, dan stabil bukan lagi kebutuhan tersier, tetapi prasyarat utama bagi transformasi ekonomi dan pemerataan pembangunan."

Menjawab tantangan tersebut, pemerintah Indonesia telah merancang dan merealisasikan proyek strategis Palapa Ring, yang dijuluki sebagai "tol langit". Palapa Ring merupakan pembangunan jaringan serat optik sepanjang lebih dari 35.000 km, yang menghubungkan seluruh ibu kota kabupaten dan kota di Indonesia. Proyek ini terdiri dari tiga paket wilayah, yaitu Barat, Tengah, dan Timur. Palapa Ring tidak hanya bertujuan menyediakan konektivitas, tetapi juga menjadi infrastruktur dasar untuk pembangunan layanan publik berbasis digital termasuk ekonomi digital (Kominfo, 2020).

Namun, keberadaan backbone saja tidak cukup. Banyak wilayah yang telah dilewati Palapa Ring tetapi masyarakatnya belum dapat mengakses internet karena terbatasnya infrastruktur BTS (Base Transceiver Station) yang berfungsi sebagai perantara. Oleh karena itulah, program BTS 4G dan proyek Satelit SATRIA-1 (Satelit Republik Indonesia) diluncurkan. Satelit ini memiliki kapasitas transmisi 150 Gbps, dan akan melayani lebih dari 150.000 titik layanan publik, termasuk sekolah, puskesmas, dan kantor desa di wilayah 3T (Kominfo, 2023).

Melalui kombinasi infrastruktur darat dan udara, pemerintah berharap konektivitas tidak hanya merata secara geografis, tetapi juga mendorong lahirnya ekosistem digital lokal yang mandiri.

 

Infrastruktur Pembayaran dan Sistem Keuangan Digital

Selain infrastruktur fisik, ekonomi digital juga memerlukan infrastruktur finansial digital, terutama sistem pembayaran nasional yang aman, cepat, dan inklusif. Bank Indonesia memainkan peran sentral melalui peluncuran QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard), BI-FAST, dan pengembangan Rupiah Digital sebagai Central Bank Digital Currency (CBDC) yang saat ini masih berlangsung.

QRIS (dan sekarang berkembang menjadi QRIS Tap) memungkinkan pelaku usaha mikro menerima pembayaran digital hanya dengan satu kode QR yang terstandar secara nasional. Hingga saat ini, pengguna QRIS telah mencapai 42,9 juta pengguna (Simamora, 2025) dengan didominasi oleh UMKM, dan dengan nilai pembayaran mencapai Rp1.701 triliun (Sinulingga, 2025). Sementara itu, BI-FAST menjadi infrastruktur pembayaran antarbank berbasis real-time dan berbiaya rendah.

Sebagai puncak dari transformasi sistem pembayaran ini adalah Rupiah Digital, yang saat ini masih dikembangkan melalui Project Garuda. Mata uang digital yang dikelola oleh bank sentral ini dirancang untuk menjadi simbol kedaulatan digital, memperluas inklusi keuangan, dan mendukung interkoneksi antar sistem digital. Namun, seperti ditegaskan BI (2023, hal. 17), "CBDC tidak dapat diimplementasikan secara efektif tanpa kesiapan infrastruktur digital nasional yang solid, dari segi konektivitas, interoperabilitas, dan perlindungan data."

Risiko Kesenjangan dan Eksklusi Digital

Salah satu risiko paling nyata dari pembangunan ekonomi digital tanpa fondasi infrastruktur yang kuat dan merata adalah munculnya eksklusi digital. Menurut data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia, penetrasi internet nasional telah mencapai 79.5%, tetapi disparitas antar wilayah masih tinggi. DKI Jakarta memiliki tingkat penetrasi di atas 95%, sementara beberapa wilayah di Papua dan NTT masih berada di bawah 60% (APJII, 2023).

Eksklusi digital tidak hanya berdampak pada kesenjangan informasi, tetapi juga memperkuat kesenjangan ekonomi. Pelaku usaha di daerah yang tidak terjangkau jaringan internet sulit mengakses platform digital, pembayaran elektronik, atau layanan perbankan daring. Hal ini pada gilirannya akan menghambat pertumbuhan ekonomi lokal dan memperlebar jurang ketimpangan nasional.

Sebagaimana disampaikan World Bank (2021, hal. 4), In digital development, the last mile is the longest. The promise of inclusive digital economies will remain elusive unless infrastructure reaches those most underserved. Dalam pengembangan digital, tahap terakhir adalah yang terpanjang. Janji ekonomi digital yang inklusif akan tetap sulit diraih kecuali infrastruktur menjangkau mereka yang paling kurang terlayani.

Melihat urgensi tersebut, pembangunan infrastruktur digital perlu diarahkan pada tiga poros strategis. Pertama, akses yang merata dan terjangkau, melalui percepatan pembangunan BTS dan ekspansi konektivitas satelit di seluruh wilayah. Kedua, penguatan pusat data dan jaringan domestik, agar data ekonomi dan sosial Indonesia tidak tergantung pada server asing. Ketiga, regulasi dan tata kelola digital nasional, terutama dalam hal interoperabilitas, perlindungan data pribadi, dan keamanan siber.

Pembangunan infrastruktur juga harus dibarengi dengan literasi digital, dukungan keuangan, dan kolaborasi multisektor. Pemerintah tidak cukup sekedar membangun jaringan. Masyarakat harus mampu memanfaatkannya secara produktif dan aman.

Penutup

Infrastruktur digital bukan hanya fondasi teknis, tetapi juga pilar strategis dalam mewujudkan ekonomi digital yang tangguh, inklusif, dan berdaulat. Indonesia memiliki potensi untuk memimpin transformasi digital di kawasan Asia Tenggara. Namun, potensi tersebut hanya akan menjadi kenyataan jika infrastruktur digital dibangun sebagai proyek peradaban nasional, bukan sekadar program teknokratis. Masa depan ekonomi digital Indonesia bergantung pada keputusan hari ini: membangun infrastruktur yang adil, tangguh, dan menjangkau semua.

Daftar Pustaka

  • APJII. (2023). Laporan Survei Internet Indonesia 2023. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia.
  • Bank Indonesia. (2022). Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025. Jakarta: BI.
  • Bank Indonesia. (2023). Rupiah Digital: Konsep Desain dan Strategi Implementasi. Jakarta: BI.
  • Bukht, R., & Heeks, R. (2018). Defining, Conceptualising and Measuring the Digital Economy. Development Informatics Working Paper Series No. 68. University of Manchester.
  • Google, Temasek, & Bain & Company. (2023). e-Conomy SEA 2023: Reaching New Heights Amid Macro Uncertainty.
  • Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. (2020). Palapa Ring dan Pemerataan Infrastruktur Digital. Kominfo.go.id.
  • Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. (2023). Satelit Satria-1: Tonggak Transformasi Digital di Wilayah 3T. Siaran Pers Resmi Kominfo.
  • World Bank. (2021). The Digital Economy for Development: Opportunities and Risks. Washington, D.C.: World Bank Publications.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun