Mohon tunggu...
Asyarifh
Asyarifh Mohon Tunggu... Konsultan - suka kopi

aktif menulis di www.kopisayamana.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah Penempatan TKI dari Masa ke Masa

14 Oktober 2011   12:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:57 1765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejarah Penempatan TKI dari Masa ke Masa


Masa Pemerintah Hindia Belanda
Jauh sebelum kemerdekaan Indonesia dicapai, migrasi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri telah terjadi pada masa pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia melalui penempatan buruh kontrak ke Suriname, Amerika Selatan, yang juga merupakan wilayah koloni Belanda. Masa itu berlangsung sekitar 1890-1939 dengan total penempatan mencapai 32.986 orang menggunakan angkutan kapal laut dalam berbagai gelombang.
Kondisi pada masa-masa itu sejalan dengan gelombang globalisasi sumber daya manusia ke wilayah lain di dunia baru. Migrasi lebih banyak berorientasi pada perluasan daerah jajahan, termasuk yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap bangsa Indonesia.
Gelombang pertama pengiriman TKI diberangkatkan dari Batavia (Jakarta) pada 21 Mei 1890 dengan Kapal SS Koningin Emma. Pelayaran jarak jauh ini sempat singgah di negeri Belanda dan tiba di Suriname pada 9 Agustus 1890. Jumlah TKI dalam gelombang pertama sebanyak 94 orang terdiri atas 61 pria dewasa dan 31 perempuan, termasuk membawa dua anak-anak, yang dipekerjakan di perkebunan tebu dan pabrik gula Marienburg, Suriname. Hingga kini, tanggal kedatangan TKI pertama ke Suriname selalu dikenang serta diperingati sebagai momentum bersejarah oleh para penduduk Suriname utamanya asal Jawa.
Selanjutnya, TKI gelombang kedua sebanyak 582 orang tiba di Suriname tanggal 16 Juni 1894 dengan Kapal SS Voorwaarts. Karena muatan kapal kedua ini melebihi kapasitas, sebanyak 64 orang penumpang kapal meninggal dunia dan 85 orang harus dirawat di rumahsakit setibanya di pelabuhan Paramaribo, Suriname.
Kejadian yang menyedihkan itu rupanya tidak mendapat tanggapan dari pemerintah Belanda, bahkan begitu saja dilupakan. Pemerintah Kerajaan Belanda boleh jadi beranggapan yang meninggal itu hanya para pekerja miskin, sehingga tidak perlu ada tindakan dalam wujud apapun. Karena itu, pengiriman tenaga kerja asal Indonesia terus berjalan sepanjang waktu cukup lama sampai pengiriman terakhir sebanyak 990 orang yang tiba di Suriname pada 13 Desember 1939.
Dari tahun 1890-1914, rute pelayaran TKI ke Suriname selalu singgah di negeri Belanda dan sesudah itu tidak lagi dilakukan. Pengiriman para TKI selama kurun waktu itu menggunakan 77 buah kapal laut, dilaksanakan oleh perusahaan pelayaran swasta, De Nederlandsche Handel Maatschappij. Tetapi mulai 1897, pengiriman TKI dilaksanakan sendiri oleh pemerintah Hindia Belanda.
Pada masa sekitar itu pula, para kuli kontrak yang ditempatkan pemerintah Belanda umumnya berasal Pulau Jawa dan Madura. Namun demikian tak sedikit dari suku Sunda dan Batak diberangkatkan sekaligus dipekerjakan di sejumlah perkebunan Suriname.
Tujuan utamanya tak lain untuk mengganti tugas para budak asal Afrika yang mulai dibebaskan pada 1 Juli 1863, sebagai wujud dilaksanakannya penghapusan sistem politik perbudakan oleh beberapa negara yang juga mengimbas ke Suriname, hingga membuat para budak tersebut beralih profesi karena bebas memilih lapangan kerja yang dikehendaki. Dampak adanya pembebasan itu membuat perkebunan di Suriname terlantar dan mengakibatkan perekonomian Suriname yang bergantung dari hasil perkebunan turun drastis.
Pemerintah Belanda memilih TKI asal Jawa ke Suriname dengan mempertimbangkan rendahnya tingkat perekonomian penduduk pribumi (Jawa) akibat meletusnya Gunung Merapi (1872) dan padatnya jumlah penduduk di Pulau Jawa. Alasan meletusnya Gunung Merapi itu memang diakui telah menyebabkan pemerintah Belanda banyak mengirim TKI asal Jawa Tengah ke Suriname.Sementarakelebihan penduduk Jawa yang menjadi alasan tidaklah tepat untuk digunakan, kecuali terkait kemiskinan di wilayah Jawa selain adanya kepentingan pemilik perkebunan di Suriname yang kesulitan mendapatkan pekerja.
Sebetulnya, di Suriname sudah ada tenaga kerja yang mengawali sektor perkebunan, yaitu orang-orang Creole asal Afrika Barat yang dibawa ke Suriname pada awal abad 16 sebagai budak belian. Kemudian datang orang-orang Tionghoa yang dibawa ke Suriname pada 1853 dan orang-orang Hindustan asal Calcuta, India yang tiba di Suriname pada 4 Juni 1873.
Di kemudian hari, komunitas Creole yang tidak tahan bekerja sebagai budak belian banyak melarikan diri ke dalam hutan, sehingga dikenal istilah ”Creole Hutan” selain sebutan ”Creole Kota” untuk kelompok lainnya. Semula Creole Hutan ini juga disebut “Djoeka” tetapi sekarang mereka menamakan diri suku Marron dan jumlahnya menempati nomor urut ketiga setelah orang-orang Hindustan dan Creole yang bertahan dengan keturunan aslinya. Sedangkan penduduk asal Jawa di Suriname menempati urutan keempat dengan jumlah 71.879 orang dari 492.829 jiwa penduduk Suriname (2004).
Sampai tahun 1930 para TKI asal Jawa di Suriname bekerja hanya di perkebunan tebu, kakao (coklat), kopi, maupun pertambangan bauksit di bawah ”Poenale Sanctie”. Sesudah tahun itu mereka bekerja sebagai buruh merdeka, tetapi faktanya masih harus bekerja dengan syarat-syarat Poenale Sanctie, yakni peraturan yang menetapkan bila pekerja melarikan diri akan dicari serta ditangkap polisi untuk dikembalikan kepada mandor atau pengawasnya.
Di luar itu, para TKI laki-laki usia di atas 16 tahun yang bekerja di perusahaan perkebunan Suriname menerima gaji sebesar 60 sen sehari dan pekerja wanita usia di atas 10 tahun sebesar 40 sen sehari. Berdasarkan perjanjian, para tenaga kerja itu juga harus bekerja sesuai kontrak selama lima tahun dan dengan ketentuan bekerja untuk enam hari dalam satu minggu. Setiap harinya, mereka bekerja dalam delapan jam di perkebunan atau 10 jam di pabrik. Setelah masa kontrak berakhir mereka lantas diberi hak untuk pulang kembali ke Indonesia atas biaya pemerintah Belanda.
Masa Kemerdekaan dan Orde Baru
Pada 3 Juli 1947 menjadi tanggal bersejarah bagi lembaga Kementerian Perburuhan dalam era kemerdekaan Indonesia. Melalui Peraturan Pemerintah No 3/1947 dibentuk lembaga yang khusus mengurus masalah perburuhan di Indonesia dengan nama Kementerian Perburuhan dan mengangkat Soerarti Karma Trimurti sebagai Menteri Perburuhan untuk pertama kali. Akan tetapi, kisruh politik yang selalu mewarnai pemerintahan Orde Lama menyebabkan permasalahan TKI tidak diberi perhatian yang berarti, bahkan boleh dikata tidak ada sama sekali, hingga berganti pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Pada masa awal Orde Baru Kementerian Perburuhan diganti dengan Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi sampai berakhirnya Kabinet Pembangunan III (1983). Mulai Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) lembaga ini berubah menjadi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, sementara Koperasi membentuk Kementeriannya sendiri.
Selanjutnya dapat pula dikatakan, pada masa kemerdekaan Indonesia hingga akhir 1960-an, penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri belum melibatkan peran pemerintah, tetapi telah terjadi secara orang-perorang, berdasarkan hubungan agama dan ikatan kekerabatan, atau melalui pola tradisonal akibat adanya lintas batas antarnegara. Negara tujuan utamanya adalah Malaysia dan Arab Saudi.
Untuk Arab Saudi, para pekerja Indonesia pada umumnya dibawa oleh mereka yang mengurusi orang naik haji/umroh maupun oleh orang Indonesia yang sudah lama menetap di Arab Saudi. Dengan demikian, secara diam-diam sudah banyak perantauan asal Indonesia ke Timur Tengah khususnya Arab Saudi dengan tujuan selain bekerja juga bisa sekaligus menunaikan ibadah haji/umroh atau untuk keperluan menuntut ilmu.
Adapun warganegara Indonesia yang melancong ke Malaysia sebagian besar datang begitu saja tanpa membawa surat dokumen apa pun, karena memang sejak dahulu telah terjadi lintas batas tradisional antara dua negara tersebut. Hanya pada masa konfrontasi kedua negara di era Orde Lama (1962-1966) kegiatan pelintas batas asal Indonesia menurun, namun bukan berarti hilang sama sekali.
Penempatan TKI dengan Kebijakan Pemerintah
Penempatan TKI yang didasarkan pada kebijakan pemerintah Indonesia baru terjadi pada 1970 dan dilaksanakan oleh Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No 4/1970 melalui Program Antarkerja Antardaerah (AKAD) dan Antarkerja Antarnegara (AKAN). Sejak itu pula penempatan TKI ke luar negeri melibatkan pihak swasta (perusahaan jasa pengerah TKI atau Pelaksana Penempatan TKI Swasta) yang mulai didirikan oleh berbagai pihak di tanah air.
Munculnya geliat perusahaan jasa pengerah TKI pada era awal 1970-an itu tidak serta merta begitu saja. Pada saat itu di kawasan Timur Tengah terjadi masa keemasan minyak atau disebut booming minyak (oil boom), dengan ditemukannya cadangan minyak dalam jumlah tidak sedikit dan dilakukan ekplorasi besar-besaran, yang menjadikan negara-negara Arab di Timur Tengah utamanya Arab Saudi mendadak kaya raya. Fenomena ini semakin memperbanyak lahirnya orang-orang kaya di Arab Saudi, sehingga membuka lapangan kerja yang begitu luas untuk diisi berbagai pihak termasuk pada akhirnya mendorong arus pengiriman TKI ke Arab Saudi. Namun demikian, peluang tersebut ditangkap oleh perusahaan jasa pengerah TKI dengan hanya menempatkan TKI informal Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) untuk pengguna perseorangan.
Sementara itu, program AKAN yang telah dibentuk ditangani oleh pejabat setingkat eselon III serta kepala seksi di tingkat eselon IV dan bertanggungjawab langsung kepada Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penggunaan (Bina Guna). Program/Seksi AKAN membentuk Divisi atau Satuan Tugas Timur Tengah dan Satuan Tugas Asia Pasifik.
Untuk pelayanan penempatan TKI ke luar negeri di daerah dalam kaitan pelaksanaan program AKAN dilaksanakan oleh Kantor Wilayah Depnakertranskop tingkat provinsi dan Kantor Depnakertranskop Tingkat II kabupaten. Kegiatan yang dinaungi oleh Dirjen Bina Guna ini berlangsung hingga 1986.
Selanjutnya pada 1986 terjadi penggabungan dua Direktorat Jenderal yaitu Direktorat Jenderal Bina Guna dan Direktorat Jenderal Pembinaan dan Perlindungan (Bina Lindung) menjadi Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan (Binapenta).
Pada 1986 ini Seksi AKAN berubah menjadi "Pusat AKAN" yang berada di bawah Sekretariat Jenderal Depnakertrans. Pusat AKAN dipimpin oleh pejabat setingkat eselon II dan bertugas melaksanakan penempatan TKI ke luar negeri. Di daerah pada tingkat provinsi/Kanwil, kegiatan penempatan TKI dilaksanakan oleh "Balai AKAN."
Pada 1994 Pusat AKAN dibubarkan dan fungsinya diganti Direktorat Ekspor Jasa TKI (eselon II) di bawah Direktorat Jenderal Binapenta. Namun pada 1999 Direktorat Ekspor Jasa TKI diubah menjadi Direktorat Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (PTKLN).
Dalam upaya meningkatan kualitas penempatan dan keamanan perlindungan TKI telah dibentuk pula Badan Koordinasi Penempatan TKI (BKPTKI) pada 16 April 1999 melalui Keppres No 29/1999 yang keanggotannya terdiri sembilan instansi terkait lintas sektoral pelayanan TKI di tingkat pemerintah pusat. Badan ini sejak awal memang dirancang untuk meningkatkan program penempatan dan perlindungan tenaga kerja luar negeri sesuai lingkup tugas masing-masing. Sayang, badan ini tidak efektif di samping tidak terdengar keberadaannya.
Pada tahun 2001 Direktorat Jenderal Binapenta dibubarkan dengan menciptakan dua direktorat jenderal pengganti yaitu Direktorat Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri (P2TKDN) dan Direktorat Jenderal Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN) sekaligus membubarkan Direktorat PTKLN.
Direktorat Jenderal PPTKLN membentuk struktur Direktorat Sosialisasi dan Penempatan untuk pelayanan penempatan TKI ke luar negeri. Sejak kehadiran Direktorat Jenderal PPTKLN, pelayanan penempatan TKI di tingkat provinsi/kanwil dijalankan oleh BP2TKI (Balai Pelayanan dan Penempatan TKI).
Pada 2004 lahir Undang-undang No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang pada pasal 94 ayat (1) dan (2) mengamanatkan pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Kemudian disusul dengan lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) No 81/2006 tentang Pembentukan BNP2TKI yang struktur operasional kerjanya melibatkan unsur-unsur instansi pemerintah pusat terkait pelayanan TKI, antara lain Kemenlu, Kemenhub, Kemenakertrans, Kemendagri, Kemensos, Kemendiknas, Kemenkes, Imigrasi (Kemenhukam), Sesneg, serta Kepolisian.
Pada 2006 pemerintah mulai melaksanakan penempatan TKI program Government to Government (G to G) atau antarpemerintah ke Korea Selatan melalui Direktorat Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN) di bawah Direktorat Jenderal PPTKLN Depnakertrans.
Pada 2007 awal ditunjuk Moh Jumhur Hidayat sebagai Kepala BNP2TKI melalui Keppres No 02/2007 tertanggal 11 Januari 2007, yang kewenangannya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.
Tidak lama setelah Keppres pengangkatan itu yang disusul pelantikan Moh Jumhur Hidayat selaku Kepala BNP2TKI, dikeluarkan Peraturan Kepala BNP2TKI No 01/2007 tentang Struktur Organisasi BNP2TKI yang meliputi unsur-unsur intansi pemerintah tingkat pusat terkait pelayanan TKI. Dasar peraturan ini adalah Instruksi Presiden (Inpres) No 6/2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.
Dengan kehadiran BNP2TKI ini maka segala urusan kegiatan penempatan dan perlindungan TKI berada dalam otoritas BNP2TKI, yang dikoordinasi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi namun tanggung jawab tugasnya kepada presiden. Akibat kehadiran BNP2TKI pula, keberadaan Direktorat Jenderal PPTKLN otomatis bubar berikut Direktorat PPTKLN karena fungsinya telah beralih ke BNP2TKI. Dalam menjalankan tugasnya BNP2TKI juga membentuk keberadaan unit Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) di berbagai daerah utamanya di kota provinsi, selain Pos Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (P4TKI) di daerah kabupaten/kota tertentu, yang keduanya bersifat struktural dengan kelembagaan BNP2TKI.
Program penempatan TKI G to G ke Korea pun dilanjutkan oleh BNP2TKI, bahkan program tersebut diperluas BNP2TKI bekerjasama pemerintah Jepang untuk penempatan G to G TKI perawat pada 2008, baik untuk perawat rumahsakit maupun perawat lanjut usia. ***

Reply to: Reply to Mahmud Rakasima

Send

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun