Mohon tunggu...
Pipit Agustin
Pipit Agustin Mohon Tunggu... Wiraswasta

Seniman Tepung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyoal Bansos Berbasis KB

13 Mei 2025   15:54 Diperbarui: 13 Mei 2025   15:54 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: koleksi pribadi

Jawa Barat tengah disorot  setelah Gubernur Dedi Mulyadi pada akhir April lalu berencana meluncurkan program bantuan sosial (bansos) dengan syarat partisipasi dalam program Keluarga Berencana (KB), khususnya bagi pria. Vasektomi atau kontrasepsi permanen bagi laki-laki diusulkan oleh Dedi. Ia  yakin bahwa tingginya angka kemiskinan berkaitan erat dengan jumlah anak yang banyak pada keluarga prasejahtera. Ia mengatakan banyak warga miskin di Jawa Barat memiliki anak lebih dari dua.

Tak ayal, rencana Sang Gubernur pun menuai kritik dari beragam kalangan, termasuk Komnas HAM dan MUI. Alasannya, rencana tersebut dinilai tidak sensitif dan berpotensi melanggar hak asasi. Anggota Komisi XIII DPR RI Pangeran Khairul Saleh menyebut kebijakan mewajibkan vasektomi demi mendapatkan bansos tidak dapat dibenarkan dalam sistem demokrasi yang menjunjung tinggi HAM dan nilai-nilai Pancasila. Ia menegaskan bansos adalah hak konstitusional yang dijamin negara. (emedia.dpr.go.id/6/5/2025).

Menanggapi kritikan itu, Dedi lantas mengklarifikasi bahwa KB yang dimaksud tidak harus dilakukan melalui vasektomi, tetapi bisa dengan berbagai metode yang sesuai nilai-nilai masyarakat.

Kita patut khawatir jika rencana tersebut direalisasi. Bisa jadi kebijakan ini akan memberikan stigma pada kaum papa. Mereka seolah 'tertuduh' sebagai dalang kemiskinan yang terjadi. Asumsinya, kalau sudah miskin, jangan banyak anak. Asumsi senada juga sempat dilontarkan oleh wamen PPPA Veronica Tan, "Kalau mau banyak duit, jangan banyak anak". Nah lho!

Kita patut bertanya, adakah bukti statistik yang membenarkan statemen itu? Apa iya, penduduk negeri ini yang anaknya lebih dari dua, atau tiga atau empat lantas jadi miskin? Apa iya, mereka yang anaknya kurang dari dua atau bahkan tidak punya anak otomatis sejahtera hidupnya menurut kacamata ekonomi? Kalau benar, mana datanya?

Acapkali pejabat publik di negeri ini, statemennya asal njeplak. Kebijakannya mencederai hati khalayak. Masih jauh dari suasana berempati kepada rakyat sendiri. Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah KB itu pilihan yang sangat pribadi sifatnya, dan hak yang dilindungi oleh konstitusi. Sedangkan Bansos, sejatinya adalah kewajiban penguasa kepada rakyatnya, yang harus ditunaikan tanpa embel-embel apapun. Sebab, kewajiban penguasa itu adalah melayani kebutuhan Masyarakat.

Lebih jauh lagi, jika menelisik persoalan kemiskinan yang mewabah di negeri ini, bukan tersebab oleh jumlah anak. Bukan. Ada sebab utama yang lebih mendasar yakni problem kepemilikan harta dan problem distribusi harta. Keduanya dipengaruhi oleh sistem tata kelola ekonomi dan politik yang diterapkan oleh penguasa.

Diakui atau tidak, negeri ini mengadopsi sistem ekonomi kapitalisme sehingga berimbas pada kemiskinan struktural dan mewabah di mana-mana. Jumlah si miskin selangit, jumlah orang kaya hanya seuprit. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Center of Economic and Law Studies (Celios) yang dirilis septeber 2024 menunjukkan ketimpangan ekonomi di Indonesia yang sangat besar, di mana kekayaan 50 orang terkaya setara dengan kekayaan 50 juta masyarakat Indonesia. Kesenjangan ini semakin melebar, dengan kekayaan 50 orang terkaya meningkat tiga kali lipat dalam lima tahun terakhir, sementara upah pekerja hanya naik sekitar 15%. (celios.co.id/9/2024)

Perlu diketahui, salah satu prinsip yang menyebabkan kemiskinan structural adalah kebebasan dalam hal ini kebebasan kepemilikan harta (liberalisasi kepemilikan). Hal ini mewujud pada swastanisasi pengelolaan SDA. Dampaknya, monopoli SDA milik umum/rakyat oleh swasta. Akhirnya rakyat sebagai pemilik harus membeli bahkan dengan harga tinggi. Ini di satu sisi.

Di sisi lain, negara memalak rakyat dengan aneka pajak dan mengambil utang berbunga tinggi untuk membiayai operasinalnya. Sebut saja untuk tahun 2025, sebesar Rp. 552 Trilyun digunakan untuk membayar bunganya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun