Mohon tunggu...
Prayitno Ramelan
Prayitno Ramelan Mohon Tunggu... Tentara - Pengamat Intelijen, Mantan Anggota Kelompok Ahli BNPT

Pray, sejak 2002 menjadi purnawirawan, mulai Sept. 2008 menulis di Kompasiana, "Old Soldier Never Die, they just fade away".. Pada usia senja, terus menyumbangkan pemikiran yang sedikit diketahuinya Sumbangan ini kecil artinya dibandingkan mereka-mereka yang jauh lebih ahli. Yang penting, karya ini keluar dari hati yang bersih, jauh dari kekotoran sbg Indy blogger. Mencintai negara dengan segenap jiwa raga. Tulisannya "Intelijen Bertawaf" telah diterbitkan Kompas Grasindo menjadi buku. Website lainnya: www.ramalanintelijen.net

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pola Asuh Overprotektif dan Risikonya terhadap Kedewasaan Anak

24 Desember 2019   09:29 Diperbarui: 24 Desember 2019   09:33 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pola Asuh Overprotektif dan Risikonya terhadap Kedewasaan Anak (sumber: pixabay)

Kita sering mendengar kata protektif dan posesif. Protektif bersifat melindungi dan menjaga sesuatu yang disayanginya. Sifat ini sering dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya, pacar terhadap kekasihnya, dan dalam hubungan keluarga termasuk suami istri.

Posesif berkaitan dengan rasa kepemilikan yang berlebihan. Hal yang membedakan antara perilaku protektif dan posesif terletak dari masalah kepemilikan itu sendiri. Posesif hanya peduli pada fakta "siapa milik siapa" sehingga membuat seseorang jadi takut kehilangan.

Pada kesempatan ini Pray mencoba menulis sifat over protektif orang tua terhadap anaknya. Di Indonesia umumnya hal ini sangat kental, anak dan mantunya dilindungi sampai orang tua kembali menjadi angin. Keinginan untuk melindungi anak dari segala bahaya merupakan naluri alamiah orangtua.

Namun, perlindungan yang berlebihan kepada anak/mantu dapat memberikan dampak buruk. Pola asuh ini dikenal dengan istilah overprotektif atau helicopter parenting.

Faktor Budaya dan Dampak Buruk Overprotektif

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang atau negara dan diwariskan dari generasi ke generasi. Ukuran seseorang dewasa berbeda di dunia.

Misalnya, di Eropa, termasuk Siprus, Finlandia, Georgia, Latvia, Lithuania, Luksemburg, Belanda, Norwegia, dan Swiss ditetapkan anak dianggap dewasa dengan ukuran usia legal bercinta 16 tahun. Di Austria, Jerman, Portugal, dan Italia usia 14 tahun. Prancis, Republik Ceko, Denmark, dan Yunani pada usia 15 tahun.

Bahrain pemerintahnya mengatur bahwa wanita 21 tahun berhak menikah tanpa persetujuan ayahnya. Cina, usia persetujuan di sana ternyata 14 tahun, di Irak 18 tahun, sementara Jepang melegalkan warganya bercinta di usia 13 tahun.

Bagaimana di Indonesia? Para orangtua rata-rata memproteksi anaknya hingga dia menikah, dia juga kemudian akan memproteksi mantunya. Faktor budaya memang besar pengaruhnya di era kebebasan saat ini. Akan tetapi, bagi orang tua generasi lama cenderung memproteksi anak hingga ke cucu kalau bisa hingga tujuh turunan.

Kalau diperhatikan, orang tua jadul (jaman dulu) ada juga generasi yang agak modern di sini sifatnya overprotektif terhadap anak/mantu. Kalau punya rumah, inginnya anak-abak tinggal di sekitarnya. Belum lagi para orang tua ada yang mengarahkan anak/mantunya untuk jabatan tertentu. 

Umumnya bila si orang tua berpangkat/berduit. Si anak dalam bahasa Jawa akan di-"papanke". Bisa-bisa segala cara dia pakai, agar anak/mantunya jadi orang paling top.

Nah, apa dampak buruk bagi si anak/mantu yang masuk cengkeraman overprotektif tadi (sumber: hellosehat). Pertama, keterlibatan orang tua dalam segala hal yang dilakukan anak/mantu menjadikannya hidup dalam bayang-bayang orangtua. Akibatnya, si anak/mantu takut untuk melakukan hal-hal di luar pengawasan orang tuanya itu.

Kedua, besarnya faktor ketergantungan. Lauren Feiden, psikolog dari AS menyatakan over protective parenting merupakan masalah yang membuat anak/mantu memiliki ketergantungan kepada orang tua, tidak dapat menghadapi masalahnya sendiri.

Ketiga, karena tidak punya ruang gerak yang bebas, maka si anak/mantu akan mencari celah dan tidak jujur, harus berbohong, bisa jadi karena ilmu, wawasan serta kemampuannya jauh di bawah si orang tua. Keempat, meskipun tidak melakukan kesalahan apa pun, diawasi tanpa henti memang bisa membuat anak jadi cemas karena jadi takut melakukan kesalahan.

Kesimpulan

Menyayangi dan mencintai anak/mantu sebaiknya jangan overprotektif, pengaruhnya tidak baik bagi anak/mantu. Biarkan anak berkembang wajar agar anak/mantunya mempunyai jati diri, tidak tergantung kepada orang tuanya, bisa lebih bebas, dan bukan menjadi orang yg cemas dan takut berbuat salah.

Tidak terbayangkan apabila anak/mantu yang hidup dengan kondisi overprotektif, bila menjadi pimpinan sebuah organisasi. Keputusannya jelas bukan yang terbaik, mengingat dia bukan dirinya sendiri. Jelas, jenis ini akan lebih banyak merugikan organisasi yang dipimpinnya.

Seorang petarung dalam kehidupan bukanlah dia yg besar karena orang tua/mertuanya, tetapi dia yang berjuang dengan kemampuan dirinya sendiri. Mereka-mereka yang anak Papa atau mantu papa itu suatu saat akan mendapat cibiran di lingkungan kerjanya, kira-kira begitu. Awas anak si ini, awas mantu si ini...

Semoga ada manfaatnya bagi para orang tua yang overprotektif. Kalau di TNI jelas tidak ada. (PRAY)

Oleh: Marsda Pur Prayitno Wongsodidjojo Ramelan, dimuat juga di redaksiindonesia.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun