Mohon tunggu...
Praviravara Jayawardhana
Praviravara Jayawardhana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya seorang praktisi Dharma

Semoga seluruh alam semesta berbahagia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jika Sudah Bersalah, Masih Bisakah Dimaafkan?

27 Juni 2016   14:29 Diperbarui: 27 Juni 2016   15:53 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika ketidakbajikan muncul secara tak terhindar dalam kehidupan kita, maka kita tidak boleh diam dan mengabaikannya. Kita tidak boleh membiarkan karma tersebut matang tanpa melakukan usaha-usaha untuk menegasi potensi-potensi akibat buruk yang akan terjadi nantinya. Secepat mungkin, ketika sebuah ketidakbajikan muncul, kita harus berusaha untuk menetralkan, melemahkan, dan  bahkan menghancurkan kekuatan dari karma buruk tersebut dengan karma-karma baru yang memiliki kekuatan berlawanan.

Di dalam Catur-dharma-nirdesa Sutra, Buddha mengajarkan secara langsung tentang empat kekuatan yang dapat digunakan untuk melemahkan ataupun bahkan menghancukan karma buruk yang telah dihimpun:

“Maitreya, ketika seorang bodhisattva, seorang makhluk agung, memiliki empat kekuatan ini, maka tindakan-tindakan tidak bajik yang telah dilakukan dan diakumulasi olehnya dapat diatasi. Apakah keempat kekuatan ini? Mereka adalah kekuatan penyesalan, kekuatan dari tindakan yang berlawanan (antidote), kekuatan dari tekad untuk tidak mengulang dan kekuatan dari basis yang melandasi.”

Analogi yang paling mudah untuk memahami ini adalah sebagai berikut. Ketika kita secara tidak sengaja telah meminum racun yang mematikan, apa yang dapat kita lakukan? Pertama, tentu kita merasakan penyesalan yang sangat mendalam karena telah meminum racun tersebut.  Dan dari rasa penyesalan tersebut, kemudian muncul sebuah niat untuk segera mencari obat penawar yang dapat melawan kekuatan dari racun tersebut. Setelah kita akhirnya berhasil sembuh, tentu kita tidak akan berani lagi dan bertekad untuk tidak mengulang meminum racun yang sama.  Dan semua ini dapat terjadi apabila kita memiliki sebuah basis berupa objek perlindungan di mana kita dapat bertumpu dan menggantungkan diri kepadanya, yaitu dokter yang memberikan obat penawar, hukum alam yang menyatakan bahwa racun ini dapat dilawan oleh obat penawar itu serta komunitas orang-orang yang sudah membuktikan keberhasilan metode ini. Dengan kata lain, basis perlindungan ini adalah Tiga Permata: Buddha, Dharma dan Sangha.

Secara logika, hal ini tidaklah mustahil. Kita mengetahui bahwa ada berbagai jenis akibat dari karma. Ada karma yang berbuah dalam bentuk melemparkan kita dalam berbagai alam kehidupan, ada pula karma yang berbuah dalam bentuk kondisi-kondisi pelengkap di dalam hidup tersebut. Seperti halnya, bibit yang dilempar ke sebuah lahan belum tentu akan langsung berbuah karena bergantung pada kondisi-kondisi pendukung lainnya seperti cuaca, kelembaban, pupuk, air dan sebagainya. Maka ketika kita misalkan melakukan sebuah karma buruk yang dapat melemparkan kita ke alam rendah, maka kita pun dapat menyiasati kemunculan buah tersebut dengan melakukan banyak hal untuk mencegah munculnya kondisi-kondisi pelengkap yang memungkinkan karma buruk tersebut untuk berbuah.

Seperti halnya bibit yang setelah dilempar ke tanah yang subur namun tidak jadi tumbuh akibat tidak diairi, demikian pula kita dapat menyiasati agar sebuah karma buruk tidak berbuah dengan cara memanfaatkan keempat jenis kekuatan yang diajarkan oleh Sang Buddha.

Tentu saja praktik empat kekuatan pemurnian ini tidaklah mudah, tidak seperti membersihkan dosa dengan percikan air. Sebaliknya, praktik ini justru mengimplementasikan prinsip kerja hukum karma secara sesubtil-subtilnya dan dengan cara inilah kamma-patisarano (berlindung kepada karmaku) seharusnya diterapkan. Telah banyak sekali teks yang sudah ditulis untuk menjelaskan tentang praktik ini:

  • bagaimana cara memeditasikan secara bertahap konsekuensi-konsekuensi dari karma buruk yang sangat berat yang akan melemparkan kita ke penderitaan di alam-alam rendah sehingga kita bisa membangkitkan rasa penyesalan yang benar-benar tulus sebagai kekuatan yang pertama,
  • apa saja yang dapat dilakukan sebagai sesuatu tindakan yang berlawanan (antidote) terhadap karma hitam yang telah kita lakukan, misalkan: mengandalkan sutra-sutra mendalam seperti Prajnaparamitra (Sutra Hati), memeditasikan sunyata, mengulang mantram, membuat dan memperbanyak rupa-rupa Buddha, stupa, lukisan, dsbnya, namaskara, membuat persembahan-persembahan murni kepada Triratna dan mengulang nama-nama Buddha,
  • bagaimana cara melatih pembangkitan tekad untuk bena-benar berpaling dari karma hitam yang telah dilakukan (renunciation), dan
  • bagaimana cara membangkitkan sikap batin yang sesungguhnya dalam berlindung kepada Sang Triratna.

Praktik seperti demikian juga dapat disaksikan dari sebuah kisah sejarah nyata yang dialami oleh Raja Ashoka Yang Agung (abad 2 SM) di mana beliau benar-benar menerapkan secara serius keempat kekuatan untuk mengimbangi dan melawan kekejian yang telah dilakukan  sebelum beliau  akhirnya menjadi sadar. Dan hasil dari himpunan kebajikan beliau pun masih dapat terasa sampai dengan sekarang.Karena bahkan seorang penulis berkebangsaan Inggris, H.G. Wells, menuliskan bahwa, "Dalam sejarah dunia, ada ribuan raja dan kaisar yang menyebut diri mereka sendiri ‘Yang Agung’, ‘Yang Mulia’ dan ‘Yang Sangat Mulia’ dan sebagainya. Mereka bersinar selama suatu waktu yang singkat, dan kemudian cepat menghilang. Tetapi Ashoka tetap bersinar dan bersinar cemerlang seperti sebuah bintang cemerlang bahkan sampai hari ini." Ini dipercaya adalah berkat kekuatan dari berbagai energi positif (kebajikan) yang telah dihimpun oleh Beliau selama masa hidupnya tersebut.

Silakan baca lengkap kisah tersebut dan kita pun bisa sedikit bernapak tilas mengikuti teladan Raja Ashoka melalui sebuah program yang khusus dibuat oleh Biara Indonesia Gaden Syedrub Nampar Gyelwei Ling bekerja sama dengan Yayasan Kita Bisa di link berikut.

Jadi bagaimana kesimpulannya? Jika sudah bersalah, apakah masih bisa dimaafkan? Jawabannya seharusnya bisa. There are still so much we can do, even after we have made mistakes!

Perlu disadari pula bahwa ajaran-ajaran Buddha tidak ada satupun yang saling bertentangan. Sebagaimana disampaikan dengan cantik oleh Dzongsar Jamyang Khyentse Rinpoche di dalam buku best seller nya yang berjudul What Makes You Not A Buddhist, dalam Buddhisme juga dikenal ajaran mengenai Dukkha, Anicca dan Anatta. Dengan pemahaman bahwa segala sesuatu yang terbentuk dari unsur-unsur yang saling bergantungan adalah tidak kekal dan dapat terus berubah, maka dengan pemahaman ini pulalah kita harus bisa menyadari bahwa karma buruk dan masalah-masalah yang dihadapi di dalam hidup juga adalah tersusun dari unsur-unsur yang saling bergantungan dan karena itulah mereka juga tidak kekal dan bisa diubah keberadaannya dengan cara menghimpun sesuatu yang kebalikannya, yaitu kebajikan dan energi positif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun