Mohon tunggu...
pratiwi ismi
pratiwi ismi Mohon Tunggu... Mahasiswa

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dakwah Radikal vs Dakwah Damai: Menimbang Pesan Islam di Media Sosial

13 Juni 2025   09:48 Diperbarui: 13 Juni 2025   10:17 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh: Syamsul Yakin dan Pratiwi Ismi Wardani (Dosen dan Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).


Dakwah, dalam bahasa Arab, berarti seruan atau ajakan. Secara praktis, dakwah adalah upaya menyampaikan pesan Islam kepada umat manusia, baik melalui lisan, tulisan, maupun tindakan. Namun, belakangan muncul istilah "dakwah radikal" yang kerap dipertentangkan dengan "dakwah damai". Apakah kedua istilah ini memang layak dibandingkan? Bagaimana seharusnya umat Islam menyikapi fenomena dakwah radikal di media sosial?
Menurut kajian ilmu dakwah, pesan dakwah bersumber dari Al-Qur'an, hadits, ijtihad ulama, serta kisah-kisah teladan. Metode penyampaiannya pun beragam, mulai dari ceramah, diskusi, hingga pemberdayaan masyarakat. Dakwah sejatinya bertujuan untuk menebar kebaikan, bukan memecah belah.

Namun, istilah "dakwah radikal" justru bertolak belakang dengan esensi dakwah itu sendiri. Radikalisme, secara etimologis, berarti sikap ekstrem yang menolak jalan tengah. Dalam konteks dakwah, radikalisme seringkali diwujudkan dengan cara-cara yang keras, seperti menghakimi, mengkafirkan, atau memprovokasi. Padahal, Islam mengajarkan dakwah dengan hikmah (kebijaksanaan) dan mau'idzah hasanah (nasihat yang baik).


Di era digital, media sosial menjadi sarana dakwah yang efektif. Sayangnya, platform ini juga dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk menyebarkan paham ekstrem. Mereka seringkali mengutip ayat Al-Qur'an dan hadits secara fragmentatif untuk membenarkan tindakan mereka. Sebagaimana dikatakan oleh John L. Esposito, kelompok ini "membajak Islam" untuk tujuan-tujuan yang tidak suci.

Menurut Bernard Lewis, kelompok radikal mengklaim diri sebagai representasi Islam paling murni. Mereka menolak pandangan ulama arus utama seperti Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah yang lebih mengedepankan pendekatan substantif dan transformatif. Klaim kebenaran sepihak inilah yang kemudian menimbulkan kesalahpahaman tentang konsep khilafah, jihad, dan hakimiyah.


Lantas, bagaimana melawan dakwah radikal di media sosial? Teori "jarum hipodermik" David K. Berlo menggambarkan pesan radikal seperti peluru yang menyusup ke pikiran khalayak. Untuk menangkalnya, diperlukan konten dakwah damai yang lebih menarik dan berbobot.

Teori "uses and gratifications" juga menegaskan bahwa khalayak media bersifat aktif. Mereka akan memilih konten yang memenuhi kebutuhan spiritual dan intelektual mereka. Oleh karena itu, para dai dan aktivis dakwah harus kreatif menghasilkan konten moderat, seperti dakwah akhlakul karimah, kisah inspiratif, atau kajian ilmiah yang mendalam.

Dakwah radikal bukanlah representasi Islam yang sebenarnya. Islam mengajarkan kedamaian, toleransi, dan kebijaksanaan. Di media sosial, umat Islam harus aktif menyebarkan konten-konten positif untuk melawan narasi radikal. Dengan begitu, khalayak akan memiliki pilihan yang lebih berimbang dan dapat mengambil keputusan berdasarkan pemahaman yang utuh.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun