Mohon tunggu...
Prasetyo Adi
Prasetyo Adi Mohon Tunggu... Dosen - Learner

Orang nomaden. Tinggal di malang dan selebihnya tinggal di tempat lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Terdidik Alih-alih Merasa Mendidik

6 Juni 2021   00:19 Diperbarui: 27 Juni 2021   08:15 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oke, kembali kecerita anak itu. 

Siswa kami ini menyampaikan kepada sahabat saya bahwa dia merasa bersalah karena melakukan hal curang dalam proses belajarnya. Ini dia lakukan lantaran ingin mengejar ketuntasan seperti teman-temannya. Karena hal ini dia merasa bersalah. Bagi saya dia anak baik. Siswa kami ini menyempatkan kalimat ingin pindah sekolah kepada sahabat saya. Tapi dia tak berani mengatakan ini ke orang tuanya. Pasalnya, menurut dia pada waktu yang tidak saya ketahui ada salah satu guru mengatakan bahwa biaya sekolahnya ditanggung oleh orang yang memilki wewenang di sekolah ini. Akhirnya, dia merasa bersalah lagi, takut mengecewakan orang tersebut dan lain sebagainya. 

Siswa kami ini mengaku kendala bahasa menjadi masalah yang tak ada habisnya. Dia tak begitu paham pelajaran, juga mengaku tak bisa menulis dengan bahasanya sendiri. Akhirnya dia merasa tak cocok dengan sekolah ini. Lalu meminta bantuan kepada sahabat saya untuk menghubungi orang tuanya, supaya menanyakan "kapan tahun ajaran baru dimulai di sekolah yang berbahasa arab itu?"

Sampai disinilah ceritanya, sahabat saya berusaha menenangkan lalu memintanya untuk tidur. 

Sebenarnya saya tak pernah melihat dia sedih, lebih banyak terlihat ceria. Oke, sepertinya tak bijak jika kita mengatakan pembiayaan sekolah kepada anak-anak. Terlepas benar atau tidak informasi yang saya peroleh ini, membicarakan biaya sekolah kepada anak-anak bukan langkah yang tepat. Sekalipun niat kita adalah memberikan kesadaran kepada anak itu akan pengorbanan kita sebagai orang tua atau orang yang berwenang. Mungkin tujuan memberikan kesadaran tersebut adalah agar supaya anak ini lebih giat dalam belajarnya, lebih pantang menyerah, mungkin.

Untuk kasus siswa kami ini, saya mengakui dia pantang menyerah. Walaupun akhrinya menyerah juga. Oke ancaman-ancaman kepada anak-anak yang mungkin kita anggap sebagai hal sepele, yang kita anggap sebagai pemantik semangat ternyata bisa jadi boomerang buat kita. Boomerang untuk menyadarkan kita bahwa "Jangan merasa sudah mendidik, padahal belum terdidik." Karena sejatinya, yang disebut kebaikan itu adalah ketika tidak mengharapkan feedback. Atau lebih ekstreem lagi yaitu tidak sama sekali mengharap menerima ucapan terimakasih. 

Terakhir saya ingin mengutip pendapat seseorang yang mengomentari buku karya Michael Hynes berjudul staying grounded. Komentator ini dalam akun instagram bernama tonikush23. Dia bilang Putting the kid's needs first is something everyone needs to do. Extra recess and play time! Loving it!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun