Di tengah upaya memperbaiki tata kelola birokrasi dan memperkuat sistem merit dalam pengadaan Aparatur Sipil Negara (ASN), publik kembali dikejutkan oleh dugaan konflik kepentingan dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Maluku Utara. Kasus ini menyita perhatian karena menyeret nama istri pejabat BKD setempat yang dilaporkan lolos seleksi tanpa rekam jejak sebagai honorer. Meski begitu, kasus ini semestinya tidak dilihat sebagai sekadar isu personal, melainkan sebagai cermin dari lemahnya pengelolaan konflik kepentingan dalam sistem birokrasi kita.
Konflik Kepentingan dalam ASN: Bukan Isu Baru
Konflik kepentingan didefinisikan sebagai situasi di mana seseorang yang memiliki wewenang publik juga memiliki kepentingan pribadi yang berpotensi memengaruhi pengambilan keputusannya. Dalam konteks ASN, konflik kepentingan sangat krusial karena menyangkut integritas, netralitas, dan keadilan dalam pelayanan publik.
UU 20 Tahun 2023 tentang ASN secara tegas menyebutkan bahwa setiap ASN harus bebas dari intervensi politik dan kepentingan pribadi dalam menjalankan tugas. Pasal 24 ayat (1) huruf d menyatakan bawa ASN wajib menjaga netralitas. Sistem merit juga dilakukan untuk mencegah praktik nepotisme, kolusi, dan korupsi dalam pengadaan ASN.
Namun, dalam praktiknya, pelanggaran terhadap prinsip ini seringkali terjadi secara halus dan terselubung, terutama ketika pejabat publik tidak menonaktifkan diri dari proses yang berpotensi menyangkut anggota keluarganya. Inilah celah yang memunculkan ketidakadilan, baik secara administratif maupun moral.
Kasus Maluku Utara: Cermin dari Masalah yang Lebih Besar
Kasus Sri Wahyuni yang mencuat dalam seleksi PPPK Maluku Utara adalah contoh nyata yang menyoroti betapa lemah pengawasan terhadap potensi konflik kepentingan di daerah. Ia dilaporkan lolos seleksi meskipun tidak terdaftar sebagai tenaga honorer, dan lebih dari itu, ia adalah istri dari Sekretaris BKD lembaga yang bertanggung jawab atas proses rekrutmen itu sendiri.
Jika benar, situasi ini bukan hanya pelanggaran etika, tapi juga bentuk maladministrasi. Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman, maladministrasi mencakup penyalahgunaan wewenang, diskriminasi, dan pengabaian kewajiban hukum. Bahkan jika tidak ada pelanggaran hukum secara langsung, fakta bahwa pengelola rekrutmen memiliki hubungan keluarga dengan peserta seleksi sudah cukup menimbulkan persepsi tidak netral dan merusak legitimasi hasil seleksi.
Ketiadaan Sistem Pencegahan dan Pengawasan yang Tegas
Konflik kepentingan bisa dicegah jika ada sistem yang tegas dalam mendeteksi dan menanganinya. Sayangnya, banyak instansi pemerintah belum memiliki standar operasional prosedur (SOP) atau mekanisme yang mewajibkan pejabat mundur sementara dari proses yang menyangkut keluarga mereka.
PermenPAN-RB No. 17 Tahun 2024 tentang Pengadaan PPPK sebenarnya sudah menekankan pentingnya integritas dan netralitas dalam seluruh proses rekrutmen. Namun, lemahnya pelaksanaan dan pengawasan menyebabkan peraturan ini tidak cukup menjadi pagar pengaman. Panitia seleksi (pansel) juga seringkali tidak independen, bahkan berada di bawah tekanan struktural dari pejabat tinggi di instansi mereka.