Dalam kenyataannya hutan produksi (hutan produksi yang dapat dikonversi dan hutan produksi tetap), luasannya masih memadai dibanding dengan hutan lindung.Â
Sementara itu, menurut KLHK Dalam RPP tentang Cipta Kerja bidang kehutanan pada bab III, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, pasal 19 ayat (2) menyatakan bahwa pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan: a) proyek strategis nasional (PSN); b) pemulihan ekonomi nasional (PEN); c) pengadaan ketahanan pangan (food estate) dan energi, dan d) pengadaan tanah obyek reforma agrarian (TORA). selain dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi juga dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi tetap.Â
Dari klausul atau pasal ini saja peraturan menteri LHK P. 24/2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate tidak konsisten dengan regulasi yang diatasnya (RPP/PP), karena pengadaan food estate hanya dapat menggunakan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) dan hutan produksi tetap (HPT) tanpa menyebut adanya penggunaan kawasan hutan lindung (HL).Â
Dalam kenyataannya hutan produksi (hutan produksi yang dapat dikonversi dan hutan produksi tetap), luasannya masih memadai dibanding dengan hutan lindung. Kondisi ini tidak selaras dan sinkron serta tidak konsisten dengan pasal 24, bab V tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan, kegiatan pemanfaatan kawasan hutan lindung pada RPP kehutanan diatas. Intervensi teknologi dengan menggunakan peralatan mekanis dan alat berat tidak diperbolehkan/diizinkan. Pengolahan tanah hanya dapat dilakukan secara terbatas.
Mungkinkah permisifisme regulasi kehutanan baik dalam tataran peraturan perundangan dan implementasi dilapangan terus berlanjut ? Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya.