Dengan daerah penyangga, pemerintah (BBKSDA) dan pemerintah daerah kabupaten Jayapura dapat melakukan pembinaan fungsi dengan kegiatan peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya, peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya; dan peningkatan produktivitas lahan.
Ini adalah salah satu  contoh kasus begitu mudahnya kawasan konservasi dilanggar secara hukum oleh masyarakat dan terkesan adanya pembiaran dari pihak-pihak yang berwenang. Masih banyak contoh lain tentang permisifisme regulasi kehutanan pada tataran implementasi dilapangan.Â
Praktek permisifisme regulasi kehutanan tidak hanya terjadi dalam tataran implementasi lapangan, tetapi yang lebih parah lagi terjadi pula pada tataran regulasi yang dibuat pada hirarkhi dibawahnya (dalam peraturan pemerintah (PP) maupun peraturan menteri (Permen)), bahkan regulasi setingkat UU kehutananpun dapat dirubah sewaktu waktu dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) hanya semata-mata untuk kepentingan ekonomis dan politis. Berikut ini contoh-contoh permisifisme regulasi dalam regulasi atau dibawah regulasi kehutanan yang ada.
Pertama, UU no. 41/1999 tentang kehutanan salah satu pasal ditambah dengan mekanisme Perpu. UU no.41/1999 yang dianggap cukup lengkap sebagai pengganti undang-undang no. 5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan, di zaman presiden Megawati Sukarnoputri telah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) Â izin tambang dihutan lindung.Â
Perpu no. 1/2004 tanggal 11 Maret 2004 untuk menyelesaikan kasus tumpang-tindih areal pertambangan dengan hutan lindung sekaligus mengakomodir izin tambang bagi 13 perusahaan untuk melanjutkan kegiatan produksinya. Keputusan mengeluarkan Perpu dalam rangka memberi kepastian kepada investor.
Ini berkaitan dengan penetapan tahun 2004 sebagai tahun investasi. Perpu tersebut menambah ketentuan baru dalam UU 41, terutama pasal 83a. Dalam pasal itu disebutkan semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya UU 41/1999, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut.
Kedua, Â PP tentang pemanfaatan dan jenis hutan produksi. PP tentang perencanaan hutan no. 44/2004, jenis hutan produksi terdiri dari hutan produksi biasa (HPB), hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Khusus untuk HPK dicadangkan dan disiapkan untuk kepentingan pembangunan diluar kehutanan (non kehutanan) seperti perkebunan, transmigrasi, pertanian dan sebagainya.Â
Dalam rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang peraturan pelaksanaan UU no. 11/2020 tentang Cipta Kerja bidang kehutanan  bab II perencanaan kehutanan pasal 24 ayat (1c), hutan produksi diubah menjadi 2 (dua) yaitu hutan produksi tetap (HPT) dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), sedangkan hutan produksi terbatas dihapus.Â
Penghapusan hutan produksi terbatas membawa implikasi pada proses perubahan fungsi hutan pada antar fungsi hutan produksi sebagaimana yang diatur dalam PP no. 104/2015.Â
Demikian juga dalam pemanfaatan fungsi hutan produksi untuk kegiatan pembangunan diluar kehutanan (non kehutanan), dalam RPP bab III tentang perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan pasal 19, khusus untuk kegiatan a) proyek strategis nasional (PSN); b) pemulihan ekonomi nasional (PEN); c) pengadaan ketahanan pangan (food estate) dan energi, dan d. pengadaan tanah obyek reforma agrarian (TORA) selain dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi juga dapat dilakukan pada Kawasan hutan produksi tetap.
Ketiga, peraturan menteri Kehutanan tentang restorasi hutan. Istilah hutan restorasi atau lebih dikenal dengan restorasi ekosistem tidak dikenal dalam UU no. 41/1999 dan baru dikenal setelah  Menteri Kehutanan (waktu itu) M. Prakosa pada tahun 2004, menginisiasi terbitnya peraturan tentang restorasi ekosistem no. 159 , tanggal 19 Oktober tahun 2004.Â