Mohon tunggu...
Syarif Hidayat
Syarif Hidayat Mohon Tunggu... Dosen - Pegiat Kebudayaan

Pencinta Literasi

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Tantangan Pers di Zaman Millennial

8 Februari 2018   00:25 Diperbarui: 18 Februari 2018   18:50 1606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambheersamachar.com

SH-Undang-undang No 40 Tahun 1999 sudah mengatur tentang bagaimana kemuliaan pers yang memiliki kebebasan dalam berekspresi dan berdiri di atas kepentingan publik. Peranan pers memiliki dampak besar bagi peradaban manusia. Tak heran, banyak pakar yang mengatakan bahwa pers merupakan penguasa dunia karena merupakan kepanjangan dari kedaulatan rakyat untuk berdemokrasi.

Akan tetapi, kemulian pers kini mendapat tantang baru akibat dari derasnya arus globalisasi. Kemajuan teknologi pada abad 21 ini, menjadi kekhawatiran bagi peran pers yang selalu bersentuhan dengan publik setiap harinya.

Hadirnya media sosial seperti, Facebook, Instagram, Twitter serta Youtube membuat semua orang bisa melakukan pekerjaan seperti wartawan yang bertugas mencari dan menyuguhkan informasi pada publik. Kecepatan informasi yang muncul di media sosial, pun mampu merubah struktur peradaban manusia setiap waktunya.

Oleh karena itu, pers kini mendapat ujian terberat, karena harus berhadapan dengan informasi yang datang begitu cepat melalui jejaring media sosial. Salah satu tantanganya yaitu validasi data informasi yang didapatkan dari media sosial diprediksi akan menggantikan peran wartawan. Fenomena ini pun membuat berbagai spekulasi yang memprediksi tidak akan ada lagi wartawan yang melakukan peliputan setiap peristiwa.

Dicontohkan, dalam sebuah peristiwa bencana alam, kemiskinan, dan permasalahan sosial lainya, banyak media massa menggunakan data seperti audio visual, serta gambar viral di media sosial. Faktor persaingan media massa yang mengedepankan kecepatan tanpa melihat validitas data yang diperoleh dari jejaring media sosial boleh jadi salah satu indikator ketidakpercayaan terhadap wartawanya sendiri.

Seringkali kita diingatkan oleh peristiwa yang terjadi di negeri ini, seperti bencana di Pangandaran beberapa waktu lalu, beredar foto dahsyat yang menggambarkan keadaan peristiwa banjir dan longsor, itu beredar di media sosial. Dan sejumlah peristiwa lainya. 

Banyak perwarta foto mengaku, gambar hasil liputanya ditolak oleh meja redaksi. karena, menginginkan gambar yang viral di media sosial. Padahal foto dahsyat itu bukanlah keadaan sebenarnya alias hoax.

Kemudian, video viral angin puting beliung di beberapa tempat kejadian, tayang di televisi dan disusul dengan hasil peliputan wartawan media itu sendiri. Juga beberapa kejadian lainya yang bisa kita saksikan di media massa lain seperti online. 

Tantangan inilah yang diprediksi bahwa 5 tahun kemudian tidak akan ada lagi wartawan yang menyuguhkan informasi yang sehat kepada publik.

Menjamurnya media elektronik online yang tak bisa lagi terbendung selalu mengisi labirin-labirin akun media sosial. Sehingga Dewan Pers dengan tegas mengeluarkan regulasi untuk perusahaan pers dan wartawanya segera melakukan verifikasi faktual sebagai langkah pembenahan pers berkredibel dan sehat.

Namun, apakah saat ini redaksi pers masih akan tetap mengedapankan kepercayaan pada wartawan dalam pengambilan data serta pengolahan informasi yang dianggap sehat untuk kepentingan publik?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun